Harga
BBM dan Pengejaran Mafia Migas
Augustinus Simanjuntak ;
Dosen
Etika Bisnis di Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra
Surabaya
|
JAWA
POS, 15 September 2014
SUNGGUH
tidak adil memang, saat isu mafia minyak dan gas (migas) mengemuka
akhir-akhir ini, pemerintah seolah terpaksa menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) pada akhir Oktober nanti. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang
mengamanatkan sektor-sektor penting (seperti migas) dikuasai negara untuk
kemakmuran rakyat ternyata masih bisa dipermainkan para mafia. Publik hanya
bisa geram dan menduga bahwa mafia migaslah dalang minimnya stok BBM kita
hingga harganya pun bisa menambah derita rakyat kecil.
Di
Indonesia, ada dua jenis mafia migas. Pertama, mafia berkerah putih (white collar crime). Yaitu,
suap-menyuap antara oknum pejabat dan korporasi untuk mendapatkan rekomendasi
atau memenangkan tender. Mantan KepalaSKK MigasRudi Rubiandini telah divonis
tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena terbukti menerima uang dari
bos Kernel Oil Singapura Widodo Ratanachaitong dan PT Kernel Oil Private
Limited (KOPL) Indonesia sebesar USD 900.00 dan 200.000 dolar Singapura. Suap
ini terkait dengan pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan kondensat
bagian negara di SKK Migas.
Rudi
juga menerima uang dari Presiden PT Kaltim Parna Industri Artha Meris
Simbolon sebesar USD 522.500 supaya menyetujui penurunan formula harga gas
untuk korporasi itu. Bahkan, suap dari korporasi migas bisa mengalir ke oknum
anggota DPR dan pejabat di kementerian. Terkait kasus suap SKK Migas, KPK
sudah menetapkan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana sebagai tersangka
karena diduga menerima suap dari SKK Migas. Disusul penetapan Menteri ESDM Jero
Wacik sebagai tersangka setelah waktu lalu KPK menemukan uang USD 200.000
dari meja Sekjen ESDM Waryono Karno.
Pertanyaannya,
jika korporasi berani menyuap oknum pejabat dengan dana yang besar, lalu
berapa besar keuntungan yang diraih korporasi itu dari proyek-proyek migas?
Yang jelas, korporasi penyuap itu tidak akan mau untung sedikit.
Kedua,
pencurian migas secara langsung. Baru-baru ini terkuak rekening gendut
seorang PNS di Batam bernama Niwen Khairiah yang nilainya begitu fantastis,
yakni Rp 1,3 triliun. Diduga, uang tersebut merupakan hasil pencucian uang
dari pencurian minyak bekerja sama dengan pengusaha kapal bernama Ahmad
Mahbub. Modusnya, pelaku mengisi kapal melebihi pesanan (dibantu oknum
pejabat Pertamina), lalu kelebihannya itu disedot ke kapal Ahmad dan dijual
ke negara tetangga. Selain Niwen, Polri telah menahan seorang karyawan
Pertamina Region I Tanjung Uban.
Sebelumnya,
pada 2012 juga terbongkar kasus penjarahan (illegal tapping) pada jalur pipa milik PT Pertamina di Kelurahan
Sukajaya, Palembang, Sumatera Selatan. Modusnya, pelaku melubangi pipa
sehingga minyak mengalir ke permukiman warga. Warga pun berbondong-bondong
mengambil minyak dengan jeriken dan drum. Akibatnya, PT Pertamina pernah
mengklaim rugi Rp 220 miliar karena penjarahan di sepanjang jalur pipa Sumsel
(sejak 2009). Herannya, pencurian minyak secara sistematis itu seolah tidak
terusik aparat hukum selama bertahun-tahun.
Kejahatan
Transnasional
Karena
itu, kuat dugaan bahwa pencurian migas melibatkan oknum pejabat, oknum WNI,
dan korporasi asing. Artinya, migas hasil kejahatan tersebut dijual ke
penadah asing. Sebenarnya, pola mafia migas tidak hanya terjadi di Indonesia.
Di Nigeria, misalnya, pencurian minyak secara besar-besaran dan sistematis
juga telah berlangsung lama. Berdasar laporan investigasi Christina Katsouris
dan Aaron Sayne (2013), dinamika persaingan politik yang tinggi di Nigeria
justru mengarah pada persaingan dalam merebut sumber daya alam.
Tata
kelola pemerintahan yang lemah akhirnya memicu penyimpangan oleh kaum
oportunis di seputar perminyakan, sekaligus membuka pintu bagi kejahatan
migas terorganisasi. Bahkan, pencurian minyak telah terjadi pada level
industri. Sementara itu, hasil curian tersebut diekspor ke luar negeri. Lalu,
hasil penjualan minyak curian dikonversi lewat pencucian uang pada
pusat-pusat keuangan dunia. Selain sebagian diterima langsung, uang itu
digunakan untuk membeli aset-aset di luar negeri. Kejahatan migas di Nigeria
dilakukan secara terorganisasi oleh politisi, oknum militer, orang-orang di
industri migas, dan pedagang migas.
Modusnya,
misalnya, pencuri membuat saluran dan sarana eksplorasi tersembunyi di Negara
Bagian Bayelsa (Delta Niger). Kemudian, mereka memompa minyak ke kapal-kapal
tongkang dan kapal besar. Sebagian minyak curian disuling/dibersihkan di
tempat sebelum kapal-kapal yang lebih besar membawanya ke luar negeri. Tidak
heran jika Maret lalu Shell Petroleum Development Company (SPDC) menuduh
pencuri minyak di Nigeria sebagai penyebab tumpahan minyak yang terus terjadi
di wilayah Delta Niger.
Di
sekitar pangkalan operasinya, Shell harus memperbaiki 17 saluran pipa yang
rusak karena terlalu sering dipotong atau disabotase pencuri (Republika Online, 31/3). Jadi,
pengejaran mafia migas wajib menjadi salah satu prioritas pemerintah
mendatang. Bahkan, pengejaran mafia migas yang sudah tergolong kejahatan
transnasional ini perlu melibatkan aparat negara-negara tetangga. Lewat kerja
sama antarnegara, peran Interpol juga diminta dalam memberantas mafia migas.
Pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan aparat yang jumlahnya terbatas
dalam menutup pintu bagi penadah asing di wilayah perbatasan laut RI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar