Menolak
Sengketa Pilkada
Bahrul Ilmi Yakup ;
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK);
Ketua Pusat Kajian BUMN
|
KOMPAS,
14 Juli 2014
BERBEDA dengan milieu
lembaga negara lain, seperti Komisi Yudisial atau Dewan Perwakilan Daerah
yang cenderung meminta perluasan wewenang, Mahkamah Konstitusi justru
mengamputasi wewenangnya untuk mengadili sengketa pemilihan umum kepala
daerah. Ini termaktub dalam putusan MK No 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan MK
tidak berwenang (lagi) mengadili sengketa pilkada masa mendatang. Mahkamah
Agung juga menolak mengadili hal itu dengan alasan MA sudah menanggung beban
berat.
Secara historis,
berdasarkan ketentuan Pasal 106 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, wewenang mengadili sengketa pilkada pernah
dipegang MA yang dilaksanakan oleh pengadilan tinggi untuk sengketa pilkada
kabupaten/kota dan oleh MA untuk sengketa pemilihan gubernur.
Kemudian, beralih menjadi
wewenang MK berdasarkan ketentuan Pasal 236C UU No 12/2008 tentang Perubahan
UU No 32/2004 yang diafirmasi oleh ketentuan UU No 48/2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Alasan utama DPR
mengalihkan wewenang mengadili sengketa pilkada dari MA ke MK ada tiga.
Pertama, aspek keamanan. Sengketa pilkada dianggap rawan keamanan sehingga
wewenang dialihkan ke MK dengan mekanisme pengamanan lebih baik. Kedudukan MK
di Jakarta dapat membatasi kekuatan massa yang akan dikerahkan.
Kedua, terkait dengan
kualitas putusan putusan hakim di jajaran MA dalam sengketa pilkada.
Selama diadili MA dan
jajarannya, hampir semua permohonan sengketa pilkada ditolak pengadilan
sehingga berkembang opini bahwa pengadilan di bawah MA gagal memeriksa
sengketa pilkada demi keadilan substantif para pihak.
Ketiga, sengketa pilkada
merupakan ranah sengketa pemilu sehingga harus diadili oleh MK sebagai
pemegang kewenangan mengadili sengketa pemilu. Maka, DPR memangkas wewenang
MA mengadili sengketa pilkada dan mengalihkannya ke MK.
Cacat
hukum
Sedari awal, pengalihan
tersebut memang cacat hukum sebab tidak mengubah wewenang MK yang diatur
Pasal 10 Ayat (1) UU No 24/2003.
Sayangnya, ketentuan Pasal
10 Ayat (1) tidak dibahas MK dalam mengadili pengujian Pasal 236C UU No/12
Tahun 2008, juga MK tidak membahas wewenangnya yang diatur Pasal 29 UU No
48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kecuali disinggung selintas dalam
pendapat berbeda Hakim Konstitusi Anwar Usman. Artinya, kualitas Putusan MK
semakin cenderung tidak komprehensif dan cermat dalam memberi pertimbangan.
Kendati tidak mengadili
sengketa pilkada dalam artian penghitungan suara, jajaran pengadilan di bawah
MA, yaitu PTUN dan pengadilan umum, masih berwenang mengadili keputusan dan
tindak pidana terkait proses pilkada.
Padahal, sebelumnya MA
sendiri bingung apakah keputusan Komisi Pemilihan Umum yang terkait dengan
proses pilkada menjadi wewenang PTUN atau tidak. Kebingungan itu diatasi MA
dengan menegaskan bahwa keputusan KPU terkait proses pilkada menjadi wewenang
PTUN.
Penolakan MA mengadili
sengketa pilkada secara yuridis keliru. Peradilan di bawah MA saat ini
berwenang mengadili sengketa yang terkait dengan proses pilkada.
Adapun penolakan MK
mengadili sengketa pilkada secara yuridis sah dan mengikat sebab sudah
diputuskan dalam putusan MK No 97/PUU-XI/2013 yang memangkas wewenang MK
untuk mengadili sengketa pilkada kendati putusan tersebut tidak diambil
secara bulat oleh sembilan hakim MK (HMK).
Ada tiga hakim MK yang
berpendapat beda, mengacu pada Pasal 236C sebagai
opened legal policyyang
merupakan wewenang DPR pembuat UU. Bukan wewenang MK dalam pengujian UU.
Adapun pendapat enam HMK
yang mengabulkan permohonan bahwa sengketa pilkada bukan wewenang MK
didasarkan pada putusan MK No 1-2/PUU-XII yang memisahkan pilkada dari pemilu
sehingga sengketa pilkada bukan merupakan sengketa pemilu yang menjadi
wewenang MK.
Terlepas dari kelemahan
yuridis atas sikap hukum MK dan MA yang menolak mengadili sengketa pilkada
(dalam arti perolehan suara), secara normatif sengketa pilkada memang tidak
lagi menjadi wewenang MK ataupun MA. Agar hukum tidak vakum, MK masih
berwenang mengadili sebelum lahir UU (baru) yang mengatur masalah tersebut.
Opsi
pengadilan
Sesuai ketentuan Pasal 24
Ayat (2) UUD 1945, opsi pengadilan yang mengadili sengketa pilkada sebetulnya
ada tiga, yaitu ditangani MA, MK, atau pengadilan khusus, yang dapat berada
di lingkungan MA atau MK. Maka, sikap MK dan MA yang menolak mengadili SP
merupakan sikap yang bertentangan dengan hukum dan konstitusi.
DPR dapat mempertimbangkan
opsi pengadilan khusus dengan pertimbangan, pertama, UU Pengadilan Sengketa
Pilkada (UUSP) harus membahas, mengintegrasi, dan mengharmonisasi norma hukum
yang dimaksud sengketa pilkada. Dengan demikian, tidak ada pemisahan proses
dengan perolehan suara.
Kedua, mendefinisikan
wewenang pengadilan sengketa pilkada secara tepat, jelas, dan limitatif.
Dengan demikian, tidak lagi ada ambiguitas kompetensi yang menyebabkan
pengadilan menjadi mahal dan bertele serta tidak memberi keadilan.
Ketiga, menciptakan sistem
dan menstrukturkan peradilan yang sederhana, cepat, murah, dengan memberi
akses pencari keadilan.
Keempat, mengintegrasikan
lembaga pengadilan yang saat ini mengadili sengketa pilkada. Dengan demikian,
tidak ada lagi sengketa pilkada yang diadili PTUN, peradilan umum, Bawaslu,
dan DKPP. Bawaslu dan DKPP sejatinya bukanlah lembaga pengadilan sehingga
secara yuridis-konstitusional Bawaslu dan DKPP tidak berwenang menghukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar