Jumat, 13 Juni 2014

Tragedi Mei, antara Ada dan Tiada

Tragedi Mei, antara Ada dan Tiada

Limas Sutanto  ;   Psikiater Konsultan Psikoterapi, Tinggal di Malang
KOMPAS,  10 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BULAN Mei berlalu tanpa peringatan berarti atas tragedi kelam yang meluluhlantakkan sebagian Jakarta. Justru karena negara dan pemerintah menempatkan Tragedi Mei dalam kemuskilan, kita perlu mengingatnya dengan saksama.

Peristiwa mengerikan pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 itu, pada tingkat realistik, dapat diartikan sebagai kekerasan luar biasa karena meliputi pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, dan teror-horor fisik serta psikologik dengan latar belakang pergulatan kekuasaan.

Dalam peristiwa kekerasan terutama terhadap kaum minoritas, ihwal latar belakang bisa bergonta-ganti sebagai alasan langsung dan sesaat untuk meledakkan kekerasan terhadap kaum minoritas. Namun, sebenarnya ada alasan psikososiokultural yang hidup dalam keseharian bangsa Indonesia, yakni berupa tata pandang masyarakat yang menempatkan kaum minoritas secara luas pada posisi lebih rendah. Akibatnya, kekerasan luar biasa biadab seolah boleh berlangsung terhadap kaum minoritas (baca Frank Summers, The Psychoanalytic Vision:The Experiencing Subject, Transcendence, and the Therapeutic Process, 2013).

Pada masa Orde Baru, penguasa sengaja mengobyektivikasi etnik minoritas Tionghoa (baca Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Order Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, 2014) agar etnik minoritas itu dapat dijadikan kambing hitam saat diperlukan untuk kepentingan kekuasaan. Sikap Orde Baru itu berhasil mengondisikan masyarakat untuk tidak menempatkan kaum minoritas Tionghoa sebagai sesama subyek yang setara.

Yang sangat penting diperhatikan adalah kekerasan terhadap kaum minoritas tidak hanya terjadi pada konteks pergulatan kekuasaan. Selama masyarakat dihidupi oleh tata pandang obyektivikasi terhadap kaum minoritas, konteks-konteks pergulatan lain, seperti ekonomi, kebencian kolektif atau pribadi, dapat menjadi ajang perwujudan kekerasan terhadap kaum minoritas. Tragedi Mei adalahacting out (perwujudan dalam bentuk tindakan tak terkendali) dari tata pandang obyektivikasi terhadap kaum minoritas.

Negara dan pemerintah di negeri ini hingga kini masih menghidupi tata pandang yang melawan hak asasi manusia tersebut. Ini terbukti dari tidak pernah diungkap ataupun diakuinya Tragedi Mei secara gamblang oleh negara dan pemerintah. Tragedi itu ditempatkan pada posisi antara ada dan tiada. Disengaja atau tidak, negara dan pemerintah mengajari rakyat untuk melupakannya.

Maka, tragedi kekerasan terhadap kaum minoritas terus berlangsung di negeri kita. The Wahid Institute, misalnya, mencatat bahwa sepanjang tahun 2013 saja di negeri kita telah terjadi 245 peristiwa intoleransi terhadap kaum minoritas, dalam hal ini kaum minoritas keagamaan, antara lain Ahmadiyah dan Kristen
Lingkaran Survei Indonesia dan Yayasan Denny JA juga mencatat bahwa di Indonesia terdapat banyak peristiwa diskriminasi. Pada periode 1998-2004, jumlah peristiwa diskriminasi ada 150 kasus per tahun. Pada periode 2005-2012, jumlahnya meningkat menjadi 210 kasus per tahun. Pihak yang menjadi korban adalah kaum minoritas pada perspektif agama, etnik, status sosial, gender, dan orientasi seksual.

Hentikan kebiadaban

Obyektivikasi terhadap kaum minoritas adalah unsur penting kebiadaban. Kalau masyarakat dan bangsa kita hingga kini masih terus merengkuh tata pandang itu, berarti kita juga menghidupi kebiadaban. Ini adalah masalah negara dan pemerintah yang sangat serius.

Kepemimpinan baru dapat menghentikan tata pandang nir-kemanusiaan dan anti keberadaban itu, antara lain dengan memahami filsuf Perancis, Emmanuel Levinas (Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, 1969; Humanism of the Other, 2003). Levinas menegaskan, betapa di hadapan setiap orang, orang lain adalah ”liyan” (an other), yang ”berbeda mutlak” dari dirinya (absolutely different) dan keberadaannya ”sungguh melampaui sekadar pengetahuan lazim” (infinitely transcendent). Di hadapan setiap orang, liyan juga ”sungguh asing” (infinitely foreign, infinitely strange, dan irreducibly strange) dan ”sungguh berjarak” (infinitely distant), dari dirinya.

Itulah kenyataan hidup setiap manusia. Setiap orang akan sangat tidak mampu untuk mengerti setiap orang lain. Apa yang seseorang mengerti tentang orang lain amat sedikit dibandingkan dengan kenyataan sesungguhnya. Gampang menyatakan bahwa orang lain keliru atau sesat dan lantas menghukum orang lain itu, apalagi menganiaya dan membunuhnya, adalah suatu kebodohan karena semua itu hanya dilandasi oleh keserbasedikitan pengetahuan tentang orang lain.

Sikap yang benar adalah menerima dan menghargai setiap orang lain sebagai liyan yang setara dengan dirinya. Toh diri sendiri pun liyan bagi orang lain. Levinas menganjurkan perlunya setiap orang mengembangkan sikap tidak alergi terhadap orang lain yang berbeda dari dirinya.
Salah satu pekerjaan rumah yang penting bagi presiden dan pemerintahan baru yang akan dihasilkan melalui Pemilihan Umum 2014 adalah melawan tata pandang obyektivikasi terhadap kaum minoritas dan mengajarkan (meneladankan secara nyata) bahwa setiap orang di negeri ini adalah sesama subyek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar