Kepemimpinan
Lingkungan
Budi
Widianarko ; Dosen Program Magister Lingkungan dan
Perkotaan,
Unika
Soegijapranata
|
KOMPAS,
11 Juni 2014
DARI
kacamata lingkungan, naskah visi, misi, dan program kedua pasangan
capres-cawapres yang masing-masing
setebal 41 halaman (Joko Widodo-Jusuf Kalla) dan sembilan halaman (Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa) hanya melahirkan pesimisme. Pasangan mana pun yang
terpilih nantinya tidak akan mampu memperbaiki perlindungan dan pelestarian
lingkungan di negeri ini. Selama restorasi lingkungan dibiarkan tersandera
oleh pertumbuhan ekonomi dan selama kelembagaan lingkungan masih belum
diberdayakan, maka kelestarian lingkungan adalah utopia belaka. Alih-alih
akan menyaksikan perubahan kondisi lingkungan yang nyata, ”perubahan” yang
paling realistis sangat boleh jadi hanya sejumlah proyek restorasi lingkungan
sebagai ”pemanis” pertumbuhan ekonomi.
Dokumen
visi, misi, dan program kedua pasangan capres-cawapres itu belum
merefleksikan kesadaran bahwa ekosistem sebagai pembatas sistemik bagi
kegiatan ekonomi. Meminjam istilah Redekop (2010) dalam buku Leadership for Environmental
Sustainability, kedua pasangan pemimpin itu masih mengidap defisit
wawasan masa depan. Kegagalan untuk memiliki sudut pandang jangka panjang
dalam menerawang masa depan adalah cerminan keterbatasan cakrawala waktu
kapitalisme yang memandang bahwa masa depan seolah merdeka dari keterbatasan
sehingga terus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dan industri.
Dewasa
ini yang diperlukan adalah kepemimpinan ekologis (ecological leadership) yang berani mengarungi cara berpikir
sistem, bukan sepenggal-sepenggal. Mengutip Simon Western (2008), dalam
paradigma kepemimpinan baru ini keutuhan, keterkaitan, spiritualitas, saling
ketergantungan dan keberlanjutan merupakan nilai-nilai utama. Ciri-ciri
paradigma kepemimpinan ini belum tampak dalam agenda lingkungan kedua
pasangan capres-cawapres. Keduanya masih berambisi menggenjot kegiatan
ekonomi yang berlangsung dalam ekosistem yang sudah penuh bopeng. Wawasan
mereka masih terperangkap dalam jebakan revolusi industri pertama ketika
manusia begitu yakin akan kedigdayaannya dalam menundukkan alam.
Agenda lingkungan
Pasangan
Prabowo-Hatta menempatkan isu lingkungan sebagai agenda tersendiri yang
terdiri atas delapan program plus beberapa program lingkungan yang termuat
dalam agenda ”Membangun Kembali
Kedaulatan Pangan, Energi dan Sumber Daya Alam”. Di pihak lain, pasangan
Jokowi-JK tidak menempatkan isu lingkungan sebagai agenda tersendiri, tetapi
termuat dalam agenda ”Berdikari dalam
Bidang Ekonomi” dan ”Berdaulat dalam Bidang Politik”.
Agenda
lingkungan Jokowi-JK memuat 23 butir gagasan, sedangkan milik Prabowo-Hatta
memuat 13 butir. Dari 23 dan 13 butir gagasan dari setiap pasangan ini
terdapat tujuh butir yang sama, yaitu menyangkut komponen status lingkungan: (1) hutan, (2)
pencemaran, (3) air, (4) pertambangan, (5) keanekaragaman hayati, (6) energi,
dan (7) perubahan iklim. Selain itu, Jokowi-JK juga mengangkat butir
rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan, sedangkan Prabowo-Hatta menonjolkan
butir rehabilitasi daerah aliran sungai.
Selebihnya Prabowo-Hatta mengemukakan empat butir lain menyangkut
strategi pendekatan lingkungan, yaitu (a) penegakan hukum, (b) instrumen
ekonomi, (c) teknologi, dan (d) kerja sama. Jokowi-JK juga mengangkat 15 butir menyangkut SPL yang bukan hanya
mencakup (a) penegakan hukum, (b) instrumen ekonomi, (c) teknologi, dan (d)
kerja sama, melainkan juga mengedepankan pendekatan perubahan gaya hidup.
Dalam
strategi pendekatan lingkungan itulah kedua pasangan ini berbeda. Jokowi-JK
menyodorkan pendekatan perubahan perilaku: penyadaran, keteladanan, dan
partisipasi sukarela. Untuk mendukung ketahanan energi dan mereduksi emisi
gas buang, misalnya, pasangan ini secara eksplisit mengusung program
transportasi massal dan berbasis energi lokal (meski implementasinya belum
terungkap secara jelas). Beberapa strategi lain yang diajukan adalah (1) penyadaran
tentang perlunya berperilaku ramah lingkungan (tak melakukan illegal logging,
fishing, dan mining) yang sekaligus disertai dengan penyediaan alternatif
bagi warga, (2) edukasi konsumen, dan (3) keteladanan oleh tokoh/pemimpin (role model) dalam perilaku peduli
lingkungan.
Pendekatan
hukum, atau disebut oleh mendiang Profesor Otto Soemarwoto sebagai strategi
atur dan awasi, tidak dapat berdiri sendiri. Dalam pergulatan panjang penyelesaian persoalan lingkungan
di Indonesia, sudah terbukti atur dan awasi tidak efektif. Usaha penindakan
secara hukum terhadap pelaku pencemar atau perusak lingkungan hingga saat ini
bisa dikatakan belum banyak membuahkan hasil. Singkatnya kerusakan dan
pencemaran lingkungan tidak cukup hanya ”diperangi” menggunakan aplikasi
teknologi dan hukum atau direduksi dengan insentif ekonomi. Perubahan
perilaku sukarela diyakini akan lebih efektif, tetapi untuk mewujudkannya
bukan perkara mudah.
Tantangan
Tantangannya
adalah bagaimana ”menggerakkan hati” warga. Pengetahuan bahwa lingkungan
harus dijaga untuk tidak dicemari atau dirusak sudah ada dalam pikiran warga.
Begitu pula mereka tahu bahwa ada tindakan hukum yang mengancam jika
perusakan dan pencemaran lingkungan dilakukan. Namun, ketergerakan hati tetap
diperlukan untuk menyatukan pengetahuan dan perilaku lingkungan. Pasangan
Jokowi-JK telah menuliskan program yang dimaksudkan untuk menggerakkan hati.
Untuk menggerakkan hati warga perlu kepemimpinan lingkungan. Pemimpin yang
bukan hanya paham tentang pentingnya isu lingkungan, melainkan juga mampu
menunjukkan visi dan otoritas untuk menggerakkan segenap sistem menuju
tindakan nyata.
Lebih
jauh, agenda lingkungan kedua pasangan capres-cawapres masih tertindas oleh
prioritas pertumbuhan ekonomi. Masalah lingkungan belum masuk dalam arus
utama pemerintahan mereka yang masih lebih bertitik berat pada pembangunan
ekonomi. Lingkungan masih sekadar ”pemanis” (accessory)—jika bukan ”pelayan” (servant)—pembangunan ekonomi. Dalam bangunan pemikiran yang
ditawarkan, kedua pasangan ini sangat jelas terbaca upaya perbaikan kondisi
(restorasi) lingkungan selalu dikaitkan dengan kemanfaatan ekonominya. Dengan
kata lain, restorasi lingkungan bukanlah demi keberlanjutan lingkungan,
melainkan demi melayani kebutuhan pertumbuhan ekonomi.
Lebih
jauh lagi, agenda lingkungan kedua pasangan tak secara eksplisit menyentuh
sejumlah tantangan lingkungan utama di negeri ini. Sebut saja masalah asap
yang terkait kebakaran/pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang
senantiasa menjadi pencoreng wajah Indonesia di Asia Tenggara. Begitu pula
faktor desentralisasi dan otonomi daerah yang nyata-nyata telah memicu
kerusakan dan pencemaran lingkungan tidak dapat sorotan khusus.
Kedua
pasangan sama sekali tak menyebut rencana penguatan kelembagaan lingkungan.
Kelembagaan lingkungan yang ada saat ini, mulai dari Kementerian Lingkungan
Hidup hingga segenap instansi subordinatnya di tingkat provinsi dan
kota/kabupaten, belum memiliki kewenangan memadai untuk mengatasi hambatan
lintas sektoral. Tanpa kemauan politik memperkuat posisi kelembagaan
lingkungan, sangat sulit mengarusutamakan lingkungan dalam pembangunan sarat
gairah ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar