Rabu, 04 Juni 2014

Tele-Politics, Kampanye Hitam dan Efek Elektoralnya

Tele-Politics, Kampanye Hitam dan Efek Elektoralnya

Buhanuddin Muhtadi ;   Dosen FISIP UIN Jakarta,
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
MEDIA INDONESIA,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
JANGAN remehkan kekuatan kata-kata. Napoleon Bonaparte lebih takut dengan kata-kata daripada moncong senjata. Apalagi jika kata-kata tersebut dibalut dengan propaganda, niscaya dia bisa menjadi selembut sutra atau setajam pedang kesatria. Jozef Goebbels, Menteri Propaganda pada masa Adolf Hitler, pernah menyatakan, ‘’Kata-kata bohong yang diulang berkali-kali, maka akan menjadi kebenaran dan dipercaya publik.’’

Dibanding pemilihan presiden (pilpres) sebelumnya, Pilpres 2014 kali ini sayangnya lebih banyak diwarnai propaganda dan kampanye hitam. Pada masa dahulu, propaganda dan ‘kampanye hitam’ lebih dikenal sebagai whispering campaign melalui mulut ke mulut. Namun, sekarang keduanya dibungkus melalui media elektronik ataupun cetak yang memiliki jangkauan penetratif ke pemilih.

Gejala tele-politics

Terlebih lagi sejak politik elektoral kita diwarnai oleh gejala tele-politics, yakni peran partai politik dalam memperantarai hubungan dengan pemilih makin berkurang dan digantikan media massa, terutama televisi. Data survei longitudinal Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 90% pemilih memperoleh informasi politik melalui televisi.

Michael Bauman (2007) pertama kali memperkenalkan istilah tele-politics ketika 
mengamati debat calon presiden Amerika Serikat pada 26 September 1960. Inilah debat yang baru pertama kali disiarkan televisi di ‘Negeri Paman Sam’ itu. John F Kennedy maju sebagai calon presiden dari Partai Demokrat melawan Richard Nixon yang saat itu menjadi wakil presiden petahana yang diusung Partai Republik.

Uniknya, Kennedy yang lebih segar, muda, dan artikulatif justru ditahbiskan pemilih sebagai pemenang debat menurut survei yang dilakukan kepada pemirsa televisi yang menonton debat. Dalam acara tersebut, Nixon yang lebih tua memang kurang memperhatikan penampilan. Namun, Nixon justru dinilai sebagai pemenang debat di kalangan pendengar radio yang tentu tidak bisa melihat penampilan fisik para kandidat.

Yang disimak para pendengar radio ialah substansi debat dan Nixon dianggap lebih menguasai persoalan dan tahu apa yang harus dia lakukan jika memenangi pertarungan. Kita kemudian tahu, pemenang debat menurut pemirsa televisi itulah yang membuat Kennedy sukses melenggang ke Gedung Putih.

Sejak 2004, virus tele-politics menjangkiti politik elektoral di Indonesia. Terlebih lagi bagi politisi yang memiliki sumber daya media informasi, terutama televisi. Dahulu ada adagium lama, The camera never lies.

Yang sekarang terjadi justru kebalikannya. Kamera menyulap citra menjadi seolah-olah realitas empirik. Bauman menengarai televisi sebagai alat propaganda melalui apa yang dikenal sebagai ilusi kehadiran (illusion of presence). Televisi bisa menghadirkan panggung sandiwara.

Para kandidat presiden dan wakil presiden serta tim sukses menyadari arti penting media. Pertarungan jelang pilpres yang hanya tinggal menghitung pekan jelas membatasi para capres untuk bisa menyapa ratusan juta pemilih secara langsung. Akibatnya media menjadi instrumen penting untuk menyampaikan pesan kampanye dan sosok kandidat yang dijual agar sampai ke publik. Pada titik ini, ajang kampanye Pilpres 2014 berubah menjadi ajang pertarungan simbol, persepsi, dan citra ketimbang substansi.

Kampanye hitam

Menurut Kotler dan Roberto (1989), kampanye politik didefinisikan sebagai an organized effort conducted by one group (the change agent) which intends to persuade others (the target adopters), to accept, modify, or abandon certain ideas, attitudes, practices, and behavior. Secara umum, ada tiga jenis kampanye politik. Pertama, kampanye positif yang lebih mengangkat sisi-sisi keunggulan calon. Kedua, kampanye negatif yang fokus menguliti kelemahan lawan, tapi dengan argumen, data, dan fakta empirik. Ketiga, kampanye hitam yang bertujuan untuk menghancurkan pihak lawan tanpa disertai bukti-bukti autentik dan menjurus kepada fitnah.

Salah satu bentuk kampanye hitam ialah melakukan labelling atau name calling, dengan menggelari orang dengan nama-nama julukan yang buruk.

Contohnya ialah label yang disematkan kepada Joko ‘Jokowi’ Widodo sebagai capres boneka. Dalam kampanye hitam, fakta atau fiksi tidak penting. Yang penting ialah orang percaya atas label yang diberikan kepada pihak lawan. Untuk mendukung operasi kampanye hitam tersebut, publik dipaksa menelan framing mentah-mentah baik melalui media sosial maupun konvensional plus ribuan eksemplar tabloid Obor Rakyat yang dikirim ke seluruh pelosok.

Selain itu, ada juga teknik kampanye hitam dengan melakukan pemilihan fakta dan data yang bersifat selektif atau apa yang dikenal sebagai card stacking. Hal ini biasa dilakukan dengan memanfaatkan media yang partisan yang hanya menampilkan sisi-sisi positif capres yang didukung serta menekankan aspek-aspek negatif lawan.

Data dipilih yang menguntungkan kandidatnya sambil membuang data-data yang tidak mendukung framing yang ingin dibangun (selective remembering, selective forgetting). Coba simak media-media kita jelang pemilihan. Terlihat jelas agenda setting dalam mendukung capres tertentu.

Teknik kampanye hitam tersebut kawin-mawin dengan propaganda politik untuk meraih kemenangan. Ada yang memakai cara-cara bandwagon dengan memunculkan kesan kandidat presiden yang dia dukung akan tampil sebagai juara pemilu sehingga menarik orang untuk ikut rombongan kereta pemenang.
Hal ini biasanya dilakukan dengan melansir hasil-hasil survei yang ketika capres yang diusung menang, maka data-data temuan akan diobral ke publik. Sebaliknya, jika capres yang didukungnya kalah menurut survei, temuannya tidak dipublikasikan. Parahnya lagi, ada yang merilis survei abal-abal sekadar untuk memengaruhi opini publik ataupun elite pengusaha bahwa kandidat tertentu bakal memenangi pertarungan secara mudah.

Teknik propaganda yang lain ialah transfer asosiasi. Maksudnya ialah suatu teknik mengasosiasikan capres yang didukung pada suatu citra yang dinilai positif. Pada saat yang sama berusaha menempelkan imej capres lawan dengan sesuatu yang bermakna negatif atau buruk.

Jokowi, misalnya, dipandang pendukungnya sebagai sosok yang jujur, merakyat, dan bersahaja. Sebaliknya, Prabowo Subianto berulang kali dikatakan sebagai pemimpin yang tegas, berwibawa, dan pintar. Bagi pendukung Prabowo, Jokowi dinilai figur yang suka pencitraan, tapi miskin kerja. Sebaliknya di mata fans Jokowi, Prabowo bukan tegas, tapi buas dengan merujuk
pada masa lalunya yang kelam.

Efek elektoral

Tujuan kampanye, baik yang berbentuk positif, negatif maupun hitam, ialah menaikkan elektabilitas capres yang diusungnya dan menurunkan tingkat keterpilihan lawan.

Untuk mengukur dampak elektoral dari kampanye negatif atau hitam adalah dengan menanyakan awareness atau pengetahuan pemilih terhadap isu-isu negatif yang menimpa para capres atau cawapres.

Bagi yang tahu kemudian ditanyakan seberapa mereka percaya terhadap isu negatif tersebut. Terakhir ditabulasi silang mereka yang tahu atau tidak tahu dengan pilihan mereka terhadap pasangan capres dan cawapres.

Berdasarkan survei mutakhir Indikator pada 22–27 Mei 2014, ditemukan bahwa pemilih yang mengetahui kabar Prabowo diduga melanggar HAM di Timtim sebesar 27,4% dan hanya 26,6% yang tahu bahwa Prabowo pernah dituding menculik para aktivis demokrasi. Anehnya, isu negatif ini tidak berpengaruh terhadap dukungan kepada Prabowo-Hatta. Buktinya, elektabilitas Prabowo lebih tinggi secara signifikan di kalangan pemilih yang tahu kasus masa lalu Prabowo dibanding yang tidak tahu.

Sebaliknya, kampanye hitam yang ditudingkan kepada Jokowi lebih berdampak secara elektoral. Semua isu kampanye hitam kepada Jokowi, baik yang berdimensi SARA maupun bukan, cenderung menurunkan dukungan kepada dirinya.

Karena itu wajar jika Jokowi merespons dengan cepat setiap isu negatif yang ditembakkan oleh lawan. Isu dirinya dibandari cukong, misalnya, direspons dengan cantik melalui pembukaan rekening kampanye yang membuka kesempatan kepada para pemilih untuk turut menyumbang. Jokowi-Jusuf Kalla dan tim pendukungnya juga aktif menanggapi isu-isu SARA. Foto-foto Jokowi menjadi imam salat disebar dan Jokowi juga fasih mengucapkan salam ala pesantren dan salawat Nabi di setiap mukadimah pidatonya.

Di atas segalanya, Pilpres 2014 seyogianya tidak ditarik ke arah jual beli kampanye hitam. Kampanye hitam justru menurunkan kualitas demokrasi dan keadaban publik. Sudah saatnya pemilih kita dimanjakan dengan jual beli gagasan dan program masa depan yang ditawarkan oleh kedua pasangan capres dan cawapres. Ini penting karena Pilpres 2014 bukan hanya mempertaruhkan kedua pasangan capres dan cawapres, tetapi juga menjadi pertaruhan nasib 250 juta rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar