Tele-Politics,
Kampanye Hitam dan Efek Elektoralnya
Buhanuddin
Muhtadi ; Dosen FISIP UIN Jakarta,
Direktur Eksekutif
Indikator Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juni 2014
JANGAN remehkan kekuatan
kata-kata. Napoleon Bonaparte lebih takut dengan kata-kata daripada moncong
senjata. Apalagi jika kata-kata tersebut dibalut dengan propaganda, niscaya dia
bisa menjadi selembut sutra atau setajam pedang kesatria. Jozef Goebbels, Menteri
Propaganda pada masa Adolf Hitler, pernah menyatakan, ‘’Kata-kata bohong yang diulang berkali-kali, maka akan menjadi kebenaran
dan dipercaya publik.’’
Dibanding pemilihan presiden
(pilpres) sebelumnya, Pilpres 2014 kali ini sayangnya lebih banyak diwarnai
propaganda dan kampanye hitam. Pada masa dahulu, propaganda dan ‘kampanye
hitam’ lebih dikenal sebagai whispering
campaign melalui mulut ke mulut. Namun, sekarang keduanya dibungkus
melalui media elektronik ataupun cetak yang memiliki jangkauan penetratif ke
pemilih.
Gejala tele-politics
Terlebih lagi sejak politik
elektoral kita diwarnai oleh gejala tele-politics, yakni peran partai politik
dalam memperantarai hubungan dengan pemilih makin berkurang dan digantikan
media massa, terutama televisi. Data survei longitudinal Indikator Politik
Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 90% pemilih memperoleh informasi
politik melalui televisi.
Michael Bauman (2007) pertama
kali memperkenalkan istilah tele-politics ketika
mengamati debat calon
presiden Amerika Serikat pada 26 September 1960. Inilah debat yang baru
pertama kali disiarkan televisi di ‘Negeri Paman Sam’ itu. John F Kennedy
maju sebagai calon presiden dari Partai Demokrat melawan Richard Nixon yang
saat itu menjadi wakil presiden petahana yang diusung Partai Republik.
Uniknya, Kennedy yang lebih
segar, muda, dan artikulatif justru ditahbiskan pemilih sebagai pemenang
debat menurut survei yang dilakukan kepada pemirsa televisi yang menonton
debat. Dalam acara tersebut, Nixon yang lebih tua memang kurang memperhatikan
penampilan. Namun, Nixon justru dinilai sebagai pemenang debat di kalangan
pendengar radio yang tentu tidak bisa melihat penampilan fisik para kandidat.
Yang disimak para pendengar
radio ialah substansi debat dan Nixon dianggap lebih menguasai persoalan dan
tahu apa yang harus dia lakukan jika memenangi pertarungan. Kita kemudian
tahu, pemenang debat menurut pemirsa televisi itulah yang membuat Kennedy
sukses melenggang ke Gedung Putih.
Sejak 2004, virus tele-politics menjangkiti politik
elektoral di Indonesia. Terlebih lagi bagi politisi yang memiliki sumber daya
media informasi, terutama televisi. Dahulu ada adagium lama, The camera never lies.
Yang sekarang terjadi justru
kebalikannya. Kamera menyulap citra menjadi seolah-olah realitas empirik.
Bauman menengarai televisi sebagai alat propaganda melalui apa yang dikenal sebagai
ilusi kehadiran (illusion of presence).
Televisi bisa menghadirkan panggung sandiwara.
Para kandidat presiden dan wakil
presiden serta tim sukses menyadari arti penting media. Pertarungan jelang
pilpres yang hanya tinggal menghitung pekan jelas membatasi para capres untuk
bisa menyapa ratusan juta pemilih secara langsung. Akibatnya media menjadi
instrumen penting untuk menyampaikan pesan kampanye dan sosok kandidat yang
dijual agar sampai ke publik. Pada titik ini, ajang kampanye Pilpres 2014 berubah
menjadi ajang pertarungan simbol, persepsi, dan citra ketimbang substansi.
Kampanye hitam
Menurut Kotler dan Roberto
(1989), kampanye politik didefinisikan sebagai an organized effort conducted by one group (the change agent) which
intends to persuade others (the target adopters), to accept, modify, or
abandon certain ideas, attitudes, practices, and behavior. Secara umum,
ada tiga jenis kampanye politik. Pertama, kampanye positif yang lebih
mengangkat sisi-sisi keunggulan calon. Kedua, kampanye negatif yang fokus
menguliti kelemahan lawan, tapi dengan argumen, data, dan fakta empirik. Ketiga,
kampanye hitam yang bertujuan untuk menghancurkan pihak lawan tanpa disertai
bukti-bukti autentik dan menjurus kepada fitnah.
Salah satu bentuk kampanye hitam
ialah melakukan labelling atau name calling, dengan menggelari orang dengan
nama-nama julukan yang buruk.
Contohnya ialah label yang
disematkan kepada Joko ‘Jokowi’ Widodo sebagai capres boneka. Dalam kampanye
hitam, fakta atau fiksi tidak penting. Yang penting ialah orang percaya atas
label yang diberikan kepada pihak lawan. Untuk mendukung operasi kampanye hitam
tersebut, publik dipaksa menelan framing mentah-mentah baik melalui media
sosial maupun konvensional plus ribuan eksemplar tabloid Obor Rakyat yang dikirim ke seluruh pelosok.
Selain itu, ada juga teknik
kampanye hitam dengan melakukan pemilihan fakta dan data yang bersifat
selektif atau apa yang dikenal sebagai card
stacking. Hal ini biasa dilakukan dengan memanfaatkan media yang partisan
yang hanya menampilkan sisi-sisi positif capres yang didukung serta
menekankan aspek-aspek negatif lawan.
Data dipilih yang menguntungkan
kandidatnya sambil membuang data-data yang tidak mendukung framing yang ingin dibangun (selective remembering, selective
forgetting). Coba simak media-media kita jelang pemilihan. Terlihat jelas
agenda setting dalam mendukung capres tertentu.
Teknik kampanye hitam tersebut kawin-mawin
dengan propaganda politik untuk meraih kemenangan. Ada yang memakai cara-cara
bandwagon dengan memunculkan kesan kandidat presiden yang dia dukung akan
tampil sebagai juara pemilu sehingga menarik orang untuk ikut rombongan
kereta pemenang.
Hal ini biasanya dilakukan
dengan melansir hasil-hasil survei yang ketika capres yang diusung menang,
maka data-data temuan akan diobral ke publik. Sebaliknya, jika capres yang
didukungnya kalah menurut survei, temuannya tidak dipublikasikan. Parahnya
lagi, ada yang merilis survei abal-abal sekadar untuk memengaruhi opini
publik ataupun elite pengusaha bahwa kandidat tertentu bakal memenangi
pertarungan secara mudah.
Teknik propaganda yang lain
ialah transfer asosiasi. Maksudnya ialah suatu teknik mengasosiasikan capres
yang didukung pada suatu citra yang dinilai positif. Pada saat yang sama berusaha
menempelkan imej capres lawan dengan sesuatu yang bermakna negatif atau buruk.
Jokowi, misalnya, dipandang
pendukungnya sebagai sosok yang jujur, merakyat, dan bersahaja. Sebaliknya,
Prabowo Subianto berulang kali dikatakan sebagai pemimpin yang tegas, berwibawa,
dan pintar. Bagi pendukung Prabowo, Jokowi dinilai figur yang suka
pencitraan, tapi miskin kerja. Sebaliknya di mata fans Jokowi, Prabowo bukan tegas,
tapi buas dengan merujuk
pada masa lalunya yang kelam.
Efek elektoral
Tujuan kampanye, baik yang
berbentuk positif, negatif maupun hitam, ialah menaikkan elektabilitas capres
yang diusungnya dan menurunkan tingkat keterpilihan lawan.
Untuk mengukur dampak elektoral dari
kampanye negatif atau hitam adalah dengan menanyakan awareness atau pengetahuan pemilih terhadap isu-isu negatif yang menimpa
para capres atau cawapres.
Bagi yang tahu kemudian ditanyakan
seberapa mereka percaya terhadap isu negatif tersebut. Terakhir ditabulasi silang
mereka yang tahu atau tidak tahu dengan pilihan mereka terhadap pasangan
capres dan cawapres.
Berdasarkan survei mutakhir Indikator pada 22–27 Mei 2014, ditemukan
bahwa pemilih yang mengetahui kabar Prabowo diduga melanggar HAM di Timtim
sebesar 27,4% dan hanya 26,6% yang tahu bahwa Prabowo pernah dituding
menculik para aktivis demokrasi. Anehnya, isu negatif ini tidak berpengaruh terhadap
dukungan kepada Prabowo-Hatta. Buktinya, elektabilitas Prabowo lebih tinggi secara
signifikan di kalangan pemilih yang tahu kasus masa lalu Prabowo dibanding
yang tidak tahu.
Sebaliknya, kampanye hitam yang
ditudingkan kepada Jokowi lebih berdampak secara elektoral. Semua isu
kampanye hitam kepada Jokowi, baik yang berdimensi SARA maupun bukan,
cenderung menurunkan dukungan kepada dirinya.
Karena itu wajar jika Jokowi
merespons dengan cepat setiap isu negatif yang ditembakkan oleh lawan. Isu
dirinya dibandari cukong, misalnya, direspons dengan cantik melalui pembukaan
rekening kampanye yang membuka kesempatan kepada para pemilih untuk turut
menyumbang. Jokowi-Jusuf Kalla dan tim pendukungnya juga aktif menanggapi
isu-isu SARA. Foto-foto Jokowi menjadi imam salat disebar dan Jokowi juga
fasih mengucapkan salam ala pesantren dan salawat Nabi di setiap mukadimah
pidatonya.
Di atas segalanya, Pilpres 2014
seyogianya tidak ditarik ke arah jual beli kampanye hitam. Kampanye hitam
justru menurunkan kualitas demokrasi dan keadaban publik. Sudah saatnya pemilih
kita dimanjakan dengan jual beli gagasan dan program masa depan yang
ditawarkan oleh kedua pasangan capres dan cawapres. Ini penting karena
Pilpres 2014 bukan hanya mempertaruhkan kedua pasangan capres dan cawapres,
tetapi juga menjadi pertaruhan nasib 250 juta rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar