Kamis, 19 Juni 2014

Menjinakkan Berahi Politik

Menjinakkan Berahi Politik

J Kristiadi  ;   Peneliti CSIS
MEDIA INDONESIA,  18 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2014 bukan Perang Baratayuda, perang trah Barata antara Kurawa dan Pandawa yang masing-masing mempresentasikan dunia hitam dan putih. Namun, untuk menggambarkan sengitnya pertarungan antara kutub Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), mungkin tidak terlalu keliru kalau pilpres kali ini disebut Baratayuda politik.

Pertarungan habis-habisan yang sarat dengan idiom-idiom politik yang menjadikan politik menjadi hitam-putih, mereka versus kita, menang atau kalah. Dalam bahasa Carl Schmitt di The Concept of The Political (1932), politik diidentikkan dengan konflik, pertikaian, perteseruan, serta krisis. Menegaskan lawan dan kawan serta meneguhkan situasi dalam keadaan darurat. Dengan begitu, politik bukan lagi wilayah untuk membangun solidaritas, kebersamaan, serta merawat keragaman dan harmoni. Padahal kompetisi memberebutkan kekuasaan politik dalam kultur demokrasi justru harus memuliakan kedua fenomena tersebut. Akibatnya, kemuliaan kekuasaan menjadi luluh lantak diterjang oleh desakan yang menggebu berahi politik yang tidak lagi dapat dikontrol.

Nafsu kekuasaan

Dengan pertarungan politik yang disandera oleh berahi kekuasaan, standar kebenaran hanya diukur dari tingkat dukungan publik kepada salah satu kubu. Bukan penalaran objektif yang rasional. Nafsu kekuasaan telah menumpulkan nurani publik. Rekam jejak, prestasi, dan niat baik tenggelam ditelan buasnya gelombang berahi fantasi, sensasi, serta halusinasi nikmatnya kekuasaan. Perilaku bestial telah mencederai esensi kehidupan manusia karena terbenam dalam hiruk gemuruh dan pekik-sorak berasal dari para pemuja kekuasaan.

Para politikus terjebak dalam upaya meyakinkan publik dengan beretorika, membakar emosi publik dengan demagogi, serta mengumbar imagologi politik. Berahi politik telah menjadikan alur pikir logika hanya melayani nafsu kekuasaan serta mengabdi kepada kepentingan politik sehingga melabrak kewarasan kolektif publik.

Membiarkan nafsu kuasa merajalela tanpa kendali akan menjebak publik membangun persepsi bahwa masyarakat memerlukan tokoh yang mempunyai kapasitas ampuh untuk mengatasi krisis dan mengakhiri `kedaruratan'. Sering kali masyarakat mengidolakan tokoh semacam itu, sosok yang mempunyai kepiawaian berpidato sehingga memukau publik, `macho', gagah, serta ciri-ciri simbolik senada lainnya. Penggiringan preferensi publik dapat terjadi karena skenario politik atau karena gairah, hasrat berahi politik yang eksesif.

Propaganda politik

Namun, apa pun pemicunya, pada pilpres kali ini masyarakat dijejali oleh beberapa media dengan propaganda politik yang merampas dan menghina nalar publik karena tidak cukup menyediakan dialog yang dapat mengarah kepada pencarian kebenaran relatif. Masyarakat dipaksa mengunyah hiperrealitas (kenyataan semu) serta didedah dengan berita-berita yang mengaburkan antara palsu dan autentik. Pada hal rakyat sangat memerlukan informasi yang lebih jernih dan objektif tentang kelebihan dan kekurangan kedua pasangan calon, sehingga masyarakat memperoleh pertimbangan rasional dalam menentukan pilihan.

Pertarungan mati-matian dalam pilpres juga dipicu oleh ketakutan dan memicu analisis spekulatif yang membuat publik miris. Misalnya, kasus kekerasan yang bermotif sentimen primordial di Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sangat mengejutkan.

Padahal beberapa minggu sebelumnya Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mendapat anugerah sebagai tokoh pluralis dari Jaringan Antar-Iman Indonesia (JAII). Namun, justru di wilayah yang dianggap kehidupan masyarakatnya harmonis dapat terjadi peristiwa yang menyedihkan. Spekulasinya, peristiwa tersebut `alamiah' atau sebuah test case dari sebuah skenario yang lebih besar. Kalau di DIY yang relatif hamonis berhasil dilakukan, daerah lain pasti lebih mudah melakukan peristiwa sejenis.

Cita-cita mulia

Mencermati pertarungan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK berdasarkan visi-misi, ungkapan verbal, penampilan serta bahasa tubuh mereka, secara simbolis Prabowo-Hatta dapat dianggap representasi dari keinginan publik mewujudkan `negara digdaya'. Adapun pasangan Jokowi-JK mewakili masyarakat yang memimpikan `masyarakat sejahtera'. Dari kedua perspektif tersebut, kedua kubu mempunyai cita-cita yang mulia. Namun, kalau berahi politik tidak dapat dijinakkan, membangun kedigdayaan negara dapat mengultuskan negara. Negara menjadi penafsir tunggal dan sumber kebenaran.

Sementara itu, mewujudkan rakyat sejahtera dapat terjebak kepada perangkap `middle class trap'. Kemakmuran hanya dinikmati oleh kelas menengah. Ketimpangan kaya-miskin dapat semakin melebar. Oleh sebab itu, secepatnya pertarungan pilpres harus segera dapat dibebaskan dari amukan berahi politik.
Menjinakkan buasnya nafsu kuasa dapat dimulai dengan media massa, khususnya media elektronik, lebih proposional dan edukatif dalam mengemas kampanye dan berita politik.

Saling peluk antara Prabowo dan Jokowi serta dukungan Prabowo terhadap sebagian program ekonomi Jokowi dalam debat capres kemarin dapat dijadikan modal awal untuk menciptakan iklim kompetisi yang lebih sejuk. Pilpres harus dapat menjadi tonggak untuk meningkatkan praktik demokrasi prosedural-transaksional menjadi demokrasi substansial-esensial yang semakin beradab. Mengenai pilihan, kodrat manusia tidak sempurna.

Oleh sebab itu, preferensi dalam memilih pasangan capres sebaiknya ditujukan kepada mereka yang lebih kecil menyandang beban sosial, politik, dan kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar