Menjinakkan
Berahi Politik
J
Kristiadi ; Peneliti
CSIS
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Juni 2014
PEMILIHAN Presiden (Pilpres)
2014 bukan Perang Baratayuda, perang trah Barata antara Kurawa dan Pandawa
yang masing-masing mempresentasikan dunia hitam dan putih. Namun, untuk
menggambarkan sengitnya pertarungan antara kutub Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa (Prabowo-Hatta) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), mungkin tidak
terlalu keliru kalau pilpres kali ini disebut Baratayuda politik.
Pertarungan habis-habisan yang
sarat dengan idiom-idiom politik yang menjadikan politik menjadi hitam-putih,
mereka versus kita, menang atau kalah. Dalam bahasa Carl Schmitt di The Concept of The Political (1932),
politik diidentikkan dengan konflik, pertikaian, perteseruan, serta krisis.
Menegaskan lawan dan kawan serta meneguhkan situasi dalam keadaan darurat.
Dengan begitu, politik bukan lagi wilayah untuk membangun solidaritas,
kebersamaan, serta merawat keragaman dan harmoni. Padahal kompetisi
memberebutkan kekuasaan politik dalam kultur demokrasi justru harus
memuliakan kedua fenomena tersebut. Akibatnya, kemuliaan kekuasaan menjadi
luluh lantak diterjang oleh desakan yang menggebu berahi politik yang tidak
lagi dapat dikontrol.
Nafsu kekuasaan
Dengan pertarungan politik yang
disandera oleh berahi kekuasaan, standar kebenaran hanya diukur dari tingkat
dukungan publik kepada salah satu kubu. Bukan penalaran objektif yang
rasional. Nafsu kekuasaan telah menumpulkan nurani publik. Rekam jejak,
prestasi, dan niat baik tenggelam ditelan buasnya gelombang berahi fantasi,
sensasi, serta halusinasi nikmatnya kekuasaan. Perilaku bestial telah mencederai
esensi kehidupan manusia karena terbenam dalam hiruk gemuruh dan pekik-sorak
berasal dari para pemuja kekuasaan.
Para politikus terjebak dalam
upaya meyakinkan publik dengan beretorika, membakar emosi publik dengan
demagogi, serta mengumbar imagologi politik. Berahi politik telah menjadikan
alur pikir logika hanya melayani nafsu kekuasaan serta mengabdi kepada
kepentingan politik sehingga melabrak kewarasan kolektif publik.
Membiarkan nafsu kuasa
merajalela tanpa kendali akan menjebak publik membangun persepsi bahwa
masyarakat memerlukan tokoh yang mempunyai kapasitas ampuh untuk mengatasi
krisis dan mengakhiri `kedaruratan'. Sering kali masyarakat mengidolakan
tokoh semacam itu, sosok yang mempunyai kepiawaian berpidato sehingga memukau
publik, `macho', gagah, serta ciri-ciri simbolik senada lainnya. Penggiringan
preferensi publik dapat terjadi karena skenario politik atau karena gairah,
hasrat berahi politik yang eksesif.
Propaganda politik
Namun, apa pun pemicunya, pada
pilpres kali ini masyarakat dijejali oleh beberapa media dengan propaganda
politik yang merampas dan menghina nalar publik karena tidak cukup
menyediakan dialog yang dapat mengarah kepada pencarian kebenaran relatif.
Masyarakat dipaksa mengunyah hiperrealitas (kenyataan semu) serta didedah
dengan berita-berita yang mengaburkan antara palsu dan autentik. Pada hal
rakyat sangat memerlukan informasi yang lebih jernih dan objektif tentang
kelebihan dan kekurangan kedua pasangan calon, sehingga masyarakat memperoleh
pertimbangan rasional dalam menentukan pilihan.
Pertarungan mati-matian dalam
pilpres juga dipicu oleh ketakutan dan memicu analisis spekulatif yang
membuat publik miris. Misalnya, kasus kekerasan yang bermotif sentimen
primordial di Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sangat
mengejutkan.
Padahal beberapa minggu sebelumnya
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mendapat anugerah sebagai tokoh
pluralis dari Jaringan Antar-Iman Indonesia (JAII). Namun, justru di wilayah
yang dianggap kehidupan masyarakatnya harmonis dapat terjadi peristiwa yang
menyedihkan. Spekulasinya, peristiwa tersebut `alamiah' atau sebuah test case
dari sebuah skenario yang lebih besar. Kalau di DIY yang relatif hamonis
berhasil dilakukan, daerah lain pasti lebih mudah melakukan peristiwa
sejenis.
Cita-cita mulia
Mencermati pertarungan Prabowo-Hatta
dan Jokowi-JK berdasarkan visi-misi, ungkapan verbal, penampilan serta bahasa
tubuh mereka, secara simbolis Prabowo-Hatta dapat dianggap representasi dari
keinginan publik mewujudkan `negara digdaya'. Adapun pasangan Jokowi-JK
mewakili masyarakat yang memimpikan `masyarakat sejahtera'. Dari kedua
perspektif tersebut, kedua kubu mempunyai cita-cita yang mulia. Namun, kalau
berahi politik tidak dapat dijinakkan, membangun kedigdayaan negara dapat
mengultuskan negara. Negara menjadi penafsir tunggal dan sumber kebenaran.
Sementara itu, mewujudkan rakyat
sejahtera dapat terjebak kepada perangkap `middle
class trap'. Kemakmuran hanya dinikmati oleh kelas menengah. Ketimpangan
kaya-miskin dapat semakin melebar. Oleh sebab itu, secepatnya pertarungan
pilpres harus segera dapat dibebaskan dari amukan berahi politik.
Menjinakkan buasnya nafsu kuasa
dapat dimulai dengan media massa, khususnya media elektronik, lebih
proposional dan edukatif dalam mengemas kampanye dan berita politik.
Saling peluk antara Prabowo dan
Jokowi serta dukungan Prabowo terhadap sebagian program ekonomi Jokowi dalam
debat capres kemarin dapat dijadikan modal awal untuk menciptakan iklim
kompetisi yang lebih sejuk. Pilpres harus dapat menjadi tonggak untuk
meningkatkan praktik demokrasi prosedural-transaksional menjadi demokrasi
substansial-esensial yang semakin beradab. Mengenai pilihan, kodrat manusia
tidak sempurna.
Oleh sebab itu, preferensi dalam
memilih pasangan capres sebaiknya ditujukan kepada mereka yang lebih kecil
menyandang beban sosial, politik, dan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar