Mendesak
Kementerian dan UU Kebudayaan
Yusuf
Susilo Hartono ; Jurnalis, Pelukis, Satrawan
|
KOMPAS,
01 Juni 2014
Di
tengah arus perubahan dewasa ini, dalam arti luas, media massa dengan fungsi
dan perannya yang ada, patut menjadi ujung tombak bangsa untuk terus-menerus
mendinamiskan kebudayaan. Secara lebih khusus dalam praktik perlindungan,
pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan nasional.
Oleh
karena itu, pada saat ini sangat diperlukan ”kemauan baik” kalangan pemilik
media dan atau pemilik modal untuk meningkatkan perhatian pada kebudayaan,
kompetensi wartawan dan redaktur kebudayaan. Sehingga media massa dapat
membawa kebudayaan Indonesia yang saat ini terpinggirkan ke tengah-tengah gelanggang
kehidupan nyata bangsa Indonesia, sebagai pusat segala gerak hidup dan
aktivitas sosial, politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pertahanan.
Itulah
salah satu jiwa dari lima butir rumusan Temu Redaktur Kebudayaan III/2014, di
Siak, Riau, 20-22 Mei 2014, kerja sama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Pusat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Pemerintah Kabupaten
Siak. Pelaksanaannya diiringi oleh gelaran perdana Festival Wartawan Seni
I/2012, 20-25 Mei. Pertemuan ini mengambil tema ”Pers, Politik Kebudayaan dan Kebudayaan Politik”.
Pilihan
tema itu didasari oleh rasa keprihatinan mendalam atas beberapa realitas yang
ada saat ini, antara lain 1) pers/media massa Tanah Air belum memberikan
perhatian dan peran yang memadai terhadap kebudayaan Indonesia, 2) Indonesia
belum memiliki strategi kebudayaan, yang bisa menjadi arah dan pedoman
bersama bagi pemerintah pusat hingga daerah, DPR-DPD RI, perguruan tinggi,
dan sejumlah elemen masyarakat, 3) perilaku bangsa Indonesia yang semakin
paradoks dan menjauhi nilai-nilai kearifan lokal maupun nasional. Misalnya,
kita beragama tapi tidak takut Tuhan sehingga marak praktik korupsi, hilang
rasa malu, hilang sifat dan sikap gotong royong, hilang kesantunan berbahasa
dan bertutur kata, lebih suka hidup dengan nilai-nilai dan produk-produk
asing daripada nilai-nilai dan produk bangsa sendiri.
Jiwa
butir kedua temu redaktur itu masih berkaitan dengan media. Tidak bisa
dimungkiri, di antara media umum berorientasi profit, tumbuh berbagai media
komunitas non-profit berbasis seni dan budaya, yang kebanyakan hidupnya
”Senin Kemis”, kalau tidak gulung tikar. Untuk itu, pemerintah sudah
seharusnya memfasilitasi agar media-media komunitas seni dan budaya tersebut
bisa hidup dan menjadi acuan para komunitas yang tersebar di Tanah Air.
Melek kebudayaan
Dalam
hal tanggung jawab memajukan kebudayaan Indonesia, butir ketiga ini sejalan
dengan pandangan bahwa tidak semata-mata berada di pundak pemerintah,
melainkan juga berada dalam tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Oleh
karena itu, kita memerlukan pemerintah pusat hingga pemerintah kabupaten kota
yang melek kebudayaan, keluarga Indonesia yang melek kebudayaan, dan
masyarakat Indonesia yang juga melek kebudayaan. Dengan kemelekan kebudayaan
itu, bangsa Indonesia diharapkan dapat hidup bebas, nyaman dan aman dengan
jati dirinya dan disiplin. Dapat berdiri tegak penuh percaya diri (tidak
minder) di antara kebudayaan-kebudayaan bangsa lain di dunia. Selain itu
dapat melanjutkan apa yang telah dilakukan nenek moyang dalam menyumbang
kepada kebudayaan dunia, sebagai bangsa yang menghargai dan menghormati
keberagaman dalam kesatuan.
Tidak
kalah penting, pada saat ini ”amat sangat” diperlukan perubahan pola pikir di
kalangan penyelenggara negara, terutama dalam hal politik anggaran
kebudayaan, supaya kebudayaan tidak terus-menerus terpinggirkan. Sistem
politik anggaran yang tidak pro-kebudayaan selama ini, telah mengakibatkan
penerimaan anggaran kebudayaan yang bersumber pada APBN dan APBD yang tidak
memadai jumlahnya. Di tingkat pusat, misalnya, jumlah anggaran kebudayaan
hanya Rp 1,2 triliun dari Rp 84 triliun penerimaan anggaran Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Jumlah anggaran yang ”kecil” itu, apalagi jika
aparatusnya tidak mau peduli kebudayaan, tentu saja sulit untuk melakukan
berbagai program perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan
nasional secara ideal. Oleh karena itu, sangat diharapkan pada pemerintah
baru nanti terjadi perbaikan cara pandang terhadap kebudayaan dalam ujud
politik anggaran yang pro-kebudayaan sehingga anggaran Rp 1,2 triliun bisa
naik, misalnya menjadi Rp 5 triliun, syukur lebih besar dari itu. Dan di
pemerintah kabupaten/kota, memang ada yang memberikan porsi anggaran yang
cukup memadai pada bidang kebudayaan, tetapi jumlahnya masih jauh lebih
banyak yang anggaran kebudayaannya kurang memadai.
Petisi Siak
Sebagai
solusi dari berbagai permasalahan kebudayaan yang ada selama ini, para
peserta temu redaktur kebudayaan mendesak agar segera disahkan Undang-Undang
Kebudayaan dan pengelolaan kebudayaan di tangan Departemen Kebudayaan. Butir
kelima ini, kemudian dijadikan dasar Petisi Siak 2014, yang ditandatangani
para peserta dari Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa
Tenggara, hingga Papua. Dan dalam waktu dekat, rumusan Temu Redaktur
Kebudayaan dan Petisi Siak 2014 ini akan diserahkan kepada pimpinan DPR RI
dan kedua pasangan capres/cawapres peserta Pilpres 2014.
Bunyi
Petisi Siak 2014 sebagai berikut: ”Dengan
nama Tuhan Yang Pengasih Penyayang. Perjuangan kebudayaan di media massa
maupun melalui media massa adalah perjuangan ideologis yang terus-menerus
untuk melindungi, merawat, memanfaatkan dan mengembangkan, sistem nilai,
ekspresi dan karya-karya seni dan budaya Indonesia selaras dengan tantangan
zaman. Untuk itu, kami, para redaktur/wartawan kebudayaan peserta Temu
Redaktur Kebudayaan III/2014 mendesak DPR-RI dan Pemerintahan Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II yang akan berakhir Oktober 2014, agar segera
mengesahkan UU Kebudayaan 2014, supaya dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah
yang baru. Selain itu supaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan, termasuk
di dalamnya industri kebudayaan (yang saat ini kita kenal dengan ekonomi
kreatif) maka sudah saatnya kebudayaan dikelola oleh kementerian tersendiri,
yaitu Kementerian Kebudayaan”.
Usulan
adanya Kementerian Kebudayaan yang disuarakan dalam petisi ini merupakan
sebuah aktualisasi dari usulan serupa yang diteriakkan oleh berbagai pihak,
dari sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga masa awal Reformasi, dalam
rentang waktu lebih dari setengah abad. Bahkan dalam Kongres Kebudayaan di
Yogyakarta, tahun 2013, usulan dan harapan itu masih ”nyaring bunyinya”.
Memang
tidak sedikit orang yang sudah putus asa mengharapkan lahirnya UU Kebudayaan
dan Kementerian Kebudayaan. Mengingat sudah banyak upaya yang mereka lakukan
sejak zaman Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden
Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudoyono, tapi selalu kandas di
tengah jalan.
Apakah
pada Pilpres 2014 kita akan memperoleh presiden yang juga tidak pro
kebudayaan? Semoga saja tidak. Sebab, kedua capres ini telah mengantongi
bekal kebudayaan. Capres Jokowi berbekal Trisakti warisan Bung Karno, yang di
dalamnya terdapat aspek ”berkepribadian
dalam kebudayaan”, di samping aspek kemandirian dalam ekonomi, dan
kedaulatan politik. Meskipun Jokowi belum pernah secara fasih menjabarkan
aspek ketiga Trisakti tersebut. Sementara capres Prabowo, dari berbagai sikap
dan gagasan nasionalismenya sudah bisa kita baca sebagai ”teks kebudayaan” itu sendiri.
Entah
Prabowo atau Jokowi yang bakal menerima amanah kedaulatan rakyat di negeri
ini, pastinya ia bertanggung jawab menata kembali manusia dan kebudayaan
Indonesia, yang sebagian di antaranya telah tercerabut dari akar budayanya.
Untuk itu, UU Kebudayaan dan Kementerian Kebudayaan dapat dijadikan wahana
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan nasional. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar