Jalanan
Kita
Bre
Redana ; Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
|
KOMPAS,
01 Juni 2014
Seperti
jalan-jalan di berbagai tempat di Indonesia yang saat ini rusak parah, begitu
pun jalanan di seputar tempat tinggal saya. Saya tinggal di Desa Cibedug,
yang dikenal sebagai penghasil pisang. Ia menyuplai kota-kota terdekat, Bogor
dan Jakarta.
Ya,
seperti Anda, dengan setengah frustrasi kami suka membanding-bandingkan: dari
Singapura ke kantor, dari Bangkok ke kantor, atau entah dari mana saja sesuai
pilihan imajinasi Anda, rasanya lebih cepat dibandingkan dari rumah ke
kantor.
Kerusakan
jalan telah memutus hubungan antara kota besar seperti Jakarta dengan
sekitarnya. Hanya saja, siapa peduli? Penguasa sibuk menjatuhkan pihak lain
demi jadi presiden. Masyarakat gembira-ria menjadi pemandu sorak. Tak ada
yang peduli jalan rusak. Orang hidup di balik cakrawala harapan: nanti jalan
diperbaiki kalau presiden sudah terpilih. Pret.
Kedaulatan
bangsa, kemandirian bangsa, kalau diusut ke akarnya, berada pada hubungan
kota besar dengan seluruh wilayah dan desa di sekitarnya. Bahkan sivilisasi
atau keberadaban bermula dari situ.
”Jalanan yang bagus, kanal-kanal, sungai-sungai
yang bisa dilayari, dengan berkurangnya ongkos angkutan, menjadikan desa-desa
terpencil berada hampir sejajar dengan kota. Berdasar kenyataan seperti itu,
bakal terjadi peningkatan luar biasa...,” Itu pendapat dari pemikir yang
dikenal oleh semua ekonom, penulis Wealth
of Nations, Adam Smith.
Nyatanya,
perkembangan yang terjadi bukanlah makin terpautnya desa-desa dengan kota
besar seperti diteorikan Smith sekitar seabad silam. Yang berlangsung
sekarang adalah saling mengait antara kota-kota besar dunia, yang
diistilahkan orang dengan globalisasi. Suplai buah-buahan di Jakarta bukan
dari Depok atau Pasar Minggu, melainkan dari China. Kopi mungkin bercap
Toraja atau Sumatera, tetapi setelah melalui pemrosesan yang berpusat di
Seattle. Dalam kemilau globalisasi seperti itu sekaligus pengabaian terhadap
jalan-jalan rusak di Tanah Air, kalau ada orang bicara soal kemandirian
ekonomi, sebaiknya Anda tidak percaya. Itu omong kosong besar.
Sejak
zaman Romawi kuno, dipercaya keterkaitan kuat antara suplai makanan dan
keberlangsungan kekuasaan. Sekali mata rantai suplai makanan putus, kekuasaan
akan bangkrut. Siapa pun yang berkuasa di Romawi pada zamannya tak akan lupa,
untuk melanggengkan kekuasaan, beri rakyat roti dan sport/hiburan.
Era
penyediaan makanan sebatas dari wilayah sekitar memang berakhir seiring
lahirnya zaman modern. Bersama dioperasikannya kereta api pada awal tahun
1800-an di Inggris, misalnya, keterpisahan posisi geografis desa dan kota
(dalam hal ini London waktu itu) tak jadi masalah. Dengan kereta api, bahan
makanan untuk menyuplai London bisa didatangkan dari mana saja. Dengan itu
pula, Inggris bisa membangun kota serupa London, seberapa pun ukurannya dan
di mana pun letaknya.
Betapa
pun, itu tak mengubah atau bahkan sebaliknya mengukuhkan kepercayaan
sebelumnya, bahwa sivilisasi berkembang sejalan dengan apa yang disantap atau
dikonsumsi manusia. Kultivasi atau pertanian dan sivilisasi (cultivation and civilization) dalam
mitos Yunani kuno dianggap dua hal tak terpisahkan. Menurut Homer, manusia
adalah ”pemakan roti”: makhluk yang ditransformasikan oleh pertanian dari
binatang buas menjadi manusia berakal budi, berbudaya.
Sebagaimana
masyarakat di desa-desa kita atau di mana pun, maka di situ terdapat
ritual-ritual pertanian serta festival-festival. Tanah, gunung, desa adalah
sumber peradaban. Tinggal di desa, dianggap sebagai wong ndeso, aku rapopo.
Semoga
perlombaan saling menjelek-jelekkan orang segera berakhir. Media bahkan telah
menjadi menyebalkan dikarenakan kondisi ini.
Saya
berharap para calon presiden dua-duanya menang. Kalau dua-duanya kalah, saya
khawatir jalan-jalan rusak tak ada yang memperbaiki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar