Mendampingi
Anak-Anak Dolly
Ainna
Amalia FN ; Dosen psikologi UIN Sunan Ampel, Pengurus LKK NU Jatim
|
JAWA
POS, 20 Juni 2014
PEPATAH
mengatakan, anak adalah tangan yang dengannya kita bisa memegang surga. Anak
bisa menjadi jalan bagi kebahagiaan orang tua. Karena itu, berilah ruang yang
baik untuk anak agar mereka leluasa belajar tentang moral dalam kehidupan.
Belajar tentang kebaikan dan kebajikan.
Bagi
anak, pekerjaan tersulit adalah belajar perilaku baik tanpa contoh dari
lingkungan. Sebab, perilaku anak pada hakikatnya merupakan hasil interaksi
antara anak dan lingkungan. Sikap serta pola perilaku anak dibentuk melalui
pembiasaan dan pengukuhan lingkungan (Walgito,
1981: 73-74).
Termasuk,
perilaku ribuan anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan prostitusi
Dolly. Pembentukan perilaku mereka didasarkan pada stimulus yang diterima
melalui pancaindranya. Selanjutnya, hal yang sudah mereka tangkap dari
lingkungan itu mereka beri arti dan makna berdasar pengetahuan, pengalaman,
serta keyakinan yang telah dimiliki.
Apa yang
dilihat, didengar, dan dirasakan anak-anak itu setiap hari dari lingkungan
Dolly secara tidak sadar akan disimpan dalam bawah sadar mereka. Lambat laun,
hal itu menjadi tabungan bagi pola kepribadian mereka kelak. Akal sehat kita
tentu bisa meraba bagaimana pola kepribadian anak-anak yang tumbuh dan
berkembang di lingkungan prostitusi seperti Dolly.
Karena
itu, sudah sangat tepat Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur menutup
lokalisasi Dolly kemarin malam (18/6). Nalar sehat kita, tentu tidak ingin
lingkungan yang menjual berahi itu terus memecundangi perkembangan moral
anak-anak. Nurani kita tidak rela jika perkembangan moral anak-anak di
sekitar lokalisasi Dolly terbonsai lingkungan yang kering nilai-nilai
moralitas.
Sebab,
moralitas merupakan kekuatan yang mendorong anak-anak untuk melakukan
tindakan-tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Di sana ada
kepekaan dalam pikiran, perasaan, serta tindakan untuk selalu mengikuti
prinsip-prinsip dan aturan-aturan.
Atkinson
(1969) menguatkan bahwa moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk,
benar dan salah, serta apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Karena itu,
perilaku tidak bermoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan
sosial dalam komunitas tertentu.
Padahal,
tumbuh dan berkembangnya potensi moral merupakan hak bagi anak-anak di
sekitar lokalisasi Dolly. Perkembangan moralitas anak-anak tersebut menjadi
tanggung jawab keluarga, sekolah, serta seluruh komponen masyarakat, termasuk
pemerintah sebagai regulator negara.
Karena
itu, seiring dengan penutupan Dolly, Pemkot Surabaya jangan hanya menghitung
kompensasi materi yang diberikan kepada PSK, mucikari, dan masyarakat yang
hidupnya bergantung pada praktik prostitusi. Namun, ada faktor yang tidak
kalah penting. Yaitu, kompensasi psikologis yang juga harus diberikan kepada
anak-anak yang selama ini hidup di lingkungan prostitusi tersebut. Sebab,
bukan hal mudah bagi anak-anak itu untuk menumbuhkan kembali moralitas yang
telah terbonsai oleh Dolly.
Pentingnya Terapi
Di
sinilah pentingnya pemerintah daerah memfasilitasi proses terapi bagi
anak-anak yang telanjur tumbuh dan berkembang dalam dunia prostitusi.
Anak-anak itu butuh didampingi agar potensi moral dalam dirinya bisa kembali
berkembang.
Beberapa
assessment atau perlakuan yang bisa dilakukan untuk anak-anak yang telanjur
tumbuh dan berkembang di lingkungan prostitusi Dolly, antara lain, pemberian
bimbingan mental, bimbingan pemecahan masalah, bimbingan sosial, bimbingan
keagamaan, bimbingan fisik, bimbingan keterampilan, dan bimbingan
kepribadian.
Selain
itu, ada beberapa pilihan metode yang bisa dipakai untuk mengembangkan dan
membentuk potensi moral mereka. Yaitu, penanaman normatif, logical discussion (diskusi logis), reward and punishment (penghargaan dan
hukuman), shock therapy (terapi
kejutan), motivasi sosial, motivasi pengembangan, dan masih banyak lagi
metode yang bisa digunakan dalam mendampingi mereka.
Usaha
pendampingan tersebut harus dilakukan secara terencana, terfokus, dan
komprehensif. Tujuannya, anak-anak Dolly tumbuh menjadi pribadi yang peka
terhadap aturan dan prinsip. Pendampingan tersebut butuh waktu lama dan
berkelanjutan. Karena itu, harus dibarengi penguatan di level keluarga.
Terutama penguatan peran orang tua dalam penanaman nilai moral kepada
anak-anak. Penguatan keluarga tersebut sangat penting karena lingkungan
pertama dan utama bagi anak-anak adalah keluarga.
Namun,
jika melalui keluarga belum memungkinkan, beri anak-anak Dolly lingkungan
primer baru yang lebih kondusif bagi perkembangan moral mereka. Misalnya,
pesantren atau kamp khusus yang memiliki iklim sehat bagi perkembangan moral
mereka.
Selain
itu, penguatan di level sekolah tidak kalah penting. Sebagai lembaga
pendidikan formal, sekolah bisa turut mendampingi anak-anak Dolly melalui
program bimbingan, pengajaran, dan latihan. Dengan demikian, aspek moralitas
anak-anak Dolly bersemi kembali.
Terakhir,
yang juga penting, masyarakat sekitar prostitusi Dolly diberi penyadaran
bahwa menjaga moral anak-anak merupakan tanggung jawab bersama. Tidak lagi
bersifat personal. Sebab, interaksi sosial anak-anak Dolly terhadap
lingkungan sosial menjadi keniscayaan. Standar nilai yang dianut lingkungan
akan mudah diinternalisasi anak-anak Dolly. Karena itu, agar moral anak-anak
Dolly berkembang baik, harus ada perubahan secara serentak dan simultan.
Dimulai dengan menerima dan mendukung penutupan lokalisasi Dolly!
Mengutip
tausiah KH Mutawakkil Alallah dalam deklarasi penutupan lokalisasi Dolly,
tidak akan berubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu berusaha mengubahnya
sendiri (Ar-Ra’d ayat 11). Tidak
akan menjadi baik moral anak-anak Dolly, kecuali kita sendiri yang
menciptakan lingkungan yang sehat untuk anak-anak. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar