Inang
Baru Perguruan Tinggi Bukan Solusi
Budi
Widianarko ; Rektor Unika Soegijapranata
|
KOMPAS,
20 Juni 2014
Di tengah kerinduan sebagian
kalangan perguruan tinggi untuk memiliki inang baru pengganti Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, saya sepakat dengan rumusan hasil diskusi Forum
Rektor Indonesia bekerja sama dengan Kompas. ”...persoalannya bukan lagi sebatas perguruan tinggi di bawah
kementerian yang mana. Namun, lebih soal perumusan tata kelola yang
memampukan perguruan tinggi untuk lebih lentur dan lincah menjalankan
perannya dan menghadapi ragam tantangan tersebut. Tanpa kelincahan dan
fleksibilitas, perguruan tinggi akan terus menghadapi masalah serupa apa pun
kementeriannya”, (Kompas, 9/6/14).
Tuntutan inang baru hanya karena
perguruan tinggi (PT) menjalankan fungsi riset adalah argumen yang tidak
kokoh. Apalagi ketika dibandingkan dengan negara-negara lain. ”Sebagai
perbandingan, negara-negara yang maju industrinya memasangkan pendidikan
tinggi dengan riset teknologi dan inovasi dalam satu kementerian. Sebut saja,
Perancis dengan Ministry of Higher
Education and Science, Jerman dengan Federal
Ministry of Education and Research, serta Jepang dengan Ministry of Education, Culture, Sport,
Science, and Technology”, (Kompas,
9/6/2014).
Dari contoh yang ditampilkan,
hanya Perancis yang memiliki kementerian yang secara eksplisit menggunakan
frasa ”pendidikan tinggi”. Sisanya
tetap menggunakan kata ”pendidikan”
yang dilengkapi dengan unsur-unsur lain sesuai konteks masing-masing.
Dari penelusuran cepat di situs
web, penulis menemukan beberapa negara yang menggunakan frasa ”pendidikan tinggi” untuk nama
kementerian yang jadi inang PT, yaitu Malaysia, Sri Lanka, Afganistan, Uni
Emirat Arab, Mesir, Arab Saudi, Kenya—selain Perancis. Adapun sejumlah negara
yang maju dalam penelitian justru nama kementeriannya diawali dengan kata ”pendidikan”, seperti Amerika Serikat,
Kanada, Jerman, Italia, Belanda, Swedia, Denmark, Jepang, dan Korea Selatan.
Bahkan Finlandia, salah satu ”raksasa”
riset dan inovasi, menggunakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ministry of Education and Culture)
seperti Indonesia. Jadi jelaslah bahwa nama kementerian bukanlah isu utama.
Masalah utama PT kita adalah
pengaturan berlebihan yang mengunci kelincahan dan kelenturan. PT kita
disibukkan oleh perkara prosedural yang menyita energi, seperti pengisian
Pangkalan Data Perguruan Tinggi sebagai laporan semesteran, laporan kinerja
dosen, pengurusan jabatan akademik dosen, dan terakhir Sistem Informasi
Pengembangan Karir Dosen (SIPKD). Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara
demokrasi, rezim pendidikan tingginya dilanda ”jawatanisasi” menjadi
sentralistik dan otoriter.
Kisah PTS
”Jawatanisasi” (Satryo Soemantri Brodjonegoro, Kompas,
8/3/2013) bukan hanya melanda PT negeri (PTN). Meski bertolak belakang
dengan watak keswastaannya, PT swasta (PTS) juga larut dalam arus besar ”jawatanisasi”. Bagi PTN, otonomi
adalah harapan PTN, sedangkan bagi PTS itu hanya ilusi. Jangankan guru besar,
”sekadar” mengangkat asisten
ahli—jabatan fungsional akademik terendah—sekalipun, PTS tidak berwenang.
Dari perdebatan otonomi PT, PTS
memang cenderung terpinggirkan. Padahal, Elfindri (Kompas, 21/3/2013) menunjukkan 70 persen mahasiswa menuntut ilmu
di PTS. Ada kesan dengan kekuatan anggaran yang meraksasa, pemerintah
mengabaikan PTS. Padahal, PTS telah hadir sebagai penyedia akses pendidikan
tinggi ketika anggaran pendidikan masih sangat terbatas. Bahkan tidak sedikit
PTS yang lahir lebih dahulu ketimbang PTN dan menjadi lahan persemaian ilmu
pengetahuan hingga kini.
Menurut Elfindri, meningkatkan
akses dengan cara memperbesar daya tampung PTN (bukan menguatkan PTS) adalah
langkah yang sangat keliru. Pemerintah hanya mengandalkan asumsi bahwa PTS
yang lebih dari 3.000 itu biar beroperasi melalui mekanisme pasar. Pemerintah
menjalankan peran bak ”satpam” yang aktif dalam ”operasi” penertiban belaka.
Pengelompokan
Meskipun Satryo Soemantri
Brodjonegoro (Kompas, 8/3/1013)
yakin bahwa otonomi lembaga pendidikan tinggi dan otonomi profesi insan
kependidikan akan menghapus dikotomi lembaga pendidikan negeri dengan swasta,
terlalu naif jika otonomi sepenuh-penuhnya diberikan kepada semua PTS (lebih
dari 3.500) tanpa terkecuali.
Adalah terlalu naif pula jika
otonomi penuh diberikan kepada semua PTN tanpa memperhitungkan status
perkembangannya. Pemberian otonomi semestinya dilakukan berjenjang, sesuai
kondisi obyektif kinerja dan mutu PT. Ini memang tantangan berat, terutama
ketika faktor politis masih sering menjadi faktor pertimbangan pengambilan
keputusan.
Keragaman ukuran, kinerja, dan
mutu dari ribuan PTS dan hampir 100 PTN tentu saja harus disikapi oleh pemerintah
dengan strategi pengembangan yang jelas dan konsisten. Demi daya saing PT
Indonesia, terutama riset, pemerintah seharusnya berani mengelompokkan PT
berdasarkan kinerja dan mutu.
Tahun 2007, pemerintah berani
menetapkan ”50 promising Indonesian Universities”.
Tiga tahun sebelumnya Jerman menetapkan sembilan PT elite untuk menjadi
”pemain utama” pendidikan tinggi global, tentu saja melalui proses seleksi
yang rumit dan panjang (baca Barbara M Kehm, IHE-fall 2009). Yang berbeda
adalah, kesembilan PT lantas mendapat suntikan dana besar selama lima tahun
dari Federal Ministry of Education
(bukan Higher Education) and Research.
Di Indonesia, pengelompokan 50
PT tidak ditindaklanjuti dengan dukungan habis-habisan dari pemerintah berupa
sumber daya dan otonomi akademik. Padahal, hanya dengan pengelompokan kinerja
riset PT bisa dipacu, karena sungguh mustahil memacu ribuan PT sekaligus.
Tanpa keberanian meneruskan prakarsa pengelompokan lengkap dengan
peta-jalannya, daya saing PT kita tidak akan beranjak dari sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar