Orang
Nomor Satu
Taufik
Ikram Jamil ; Sastrawan
|
KOMPAS,
21 Juni 2014
TENTU
saja boleh bila kawan saya, Abdul Wahab yang bertempat tinggal nun jauh di
sebuah pulau dalam kawasan Selat Melaka sana, ikut merisaukan suasana
pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia tahun 2014 ini. Bukan karena
ejek-mengejek atau sudut-menyudut di antara mereka yang bersaing untuk kursi
kepresidenan sehingga dapat mengundang kerawanan sosial, tetapi ini berkaitan
dengan bahasa.
Apa
pasal? Rupanya kita sebagai masyarakat selalu disebut memilih orang nomor
satu di negeri ini. Ya, kan, presiden disebut sebagai orang nomor satu,
sedangkan wakil presiden disebut sebagai orang nomor dua. Lalu, orang nomor
tiga, nomor empat, dan seterusnya siapa serta dengan cara apa kita
menentukannya? Begitulah Wahab bertanya dalam SMS yang ia kirim kepada saya
melalui telepon genggam.
Setelah
membaca untaian SMS Wahab selanjutnya, tahulah saya bahwa kerisauan kawan
lama ini baru terungkap sekarang hanya disebabkan momen—maklumlah, bangsa ini
sedang sibuk memilih presiden dan wakil presiden.
Frase ”memilih orang nomor satu” itu
sebenarnya acap kali didengar di daerah, malahan berkali-kali setiap tahun
setelah Orde Baru tumbang. Seiringan dengan Reformasi, pemegang jabatan
gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, ketika
memilih gubernur, masyarakat pun disebut memilih orang nomor satu di provinsi
itu. Begitu juga memilih bupati dan wali kota disebut memilih orang nomor
satu di kabupaten maupun di kota bersangkutan. Sebutan ”orang nomor dua” diperuntukkan bagi wakil gubernur atau wakil
bupati maupun wakil wali kota, persis dengan gelar yang melekat pada wakil
presiden.
Meski
tidak asing dalam konvensi bahasa, sebutan ”orang nomor satu” merisaukan Wahab karena menyangkut nilai makna
yang terkandung dalam kumpulan kata tersebut. Disebut orang nomor satu di
Indonesia, hal itu bermakna sebagai pemegang urutan teratas dari sekitar 250
juta penduduk di negeri ini. ”Menjadi
pertanyaan, apakah mereka memang berada teratas dalam dimensi kemanusiaan
atau orang?” kata Wahab.
Wahab
menulis bahwa dimensi orang berkaitan dengan banyak hal seperti religiositas,
sosial, kesenian, bahasa, politik, dan ekonomi. Dengan sebutan ”mencari orang
nomor satu”, kesannya adalah bahwa mereka yang dicalonkan sebagai presiden
dan wakil presiden seperti dinobatkan melebihi orang lain dalam dimensi
mereka sebagai orang.
Dia
kemudian menulis, ”Kalau berkaitan
dengan posisi pemerintahan atau jabatan, kenapa tidak disebutkan bahwa kita
sedang mencari pemegang jabatan nomor satu di Indonesia untuk pemilihan
presiden, begitu seterusnya sampai ke daerah. Aku pikir sebutan pejabat nomor
satu lebih tepat karena ukurannya jelas, yakni pejabat atau pemegang jabatan.
Presiden, gubernur, bupati, wali kota itu kan nama-nama jabatan?”
Singkatnya
Wahab tidak berkenan bahwa presiden disebut sebagai orang nomor satu di
negeri ini. Begitu juga gubernur, bukan orang nomor satu di provinsi, dan
bupati atau wali kota bukanlah orang nomor satu di kabupaten serta di kota
tertentu. Mereka adalah pejabat nomor satu di sebuah negara bagi presiden,
pejabat nomor satu di provinsi untuk gubernur, dan seterusnya dan seterusnya.
Suai? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar