Minggu, 22 Juni 2014

Hilirisasi dan Kutukan SDA

Hilirisasi dan Kutukan SDA

Rhenald Kasali ;   Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO,  19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Gagasan bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA) bukan berkah, melainkan musibah sudah berkembang sejak tahun 1980-an. Ekonom Inggris Richard Auty melihat betapa pertumbuhan ekonomi negara yang kaya SDA justru lebih lambat ketimbang negara-negara yang miskin SDA.

Ada banyak alasan yang menjelaskan fenomena tersebut. Misalnya, kekayaan SDA justru kerap memicu terjadinya konflik internal di negara itu. Muncul faksi-faksi yang pada akhirnya semua bertujuan menguasai kekayaan SDA tersebut. Selain konflik internal, ada juga konflik dengan pihak eksternal. Contohnya, Irak yang mencoba menginvasi Kuwait sehingga terjadilah Perang Teluk pada 1990.

Atau kalau Anda mau contoh aktual adalah ketegangan antara China dan Vietnam akibat BUMN migas China, CNOOC, yang memasang anjungan minyak lepas di kawasan perairan yang masih menjadi sengketa. Bagaimana konflik di Papua yang tak kunjung reda? Itu pun tak lepas dari keberadaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia tentunya. Penelitian yang lain juga menunjukkan negara-negara yang kaya SDA cenderung lebih korup dan represif.

Perekonomian negara-negara tersebut tidak dikelola secara benar sehingga kekayaan SDA tak berimbas pada membaiknya kesejahteraan masyarakat. Ingat saat kita menikmati oil boom di tahun 1970-an, kita justru mengalami krisis korupsi Pertamina di era mendiang Ibnu Sutowo. Jangan lupa pula, krisis yang menimpa politisi yang menaungi sektor pertambangan setelah ditangkapnya mantan Kepala SKK Migas oleh KPK belum lama ini.

Namun benarkah mitos-mitos tersebut tak lagi terbantahkan? Sebetulnya tidak juga. Kalau kita melihat negara-negara seperti Qatar atau Uni Emirat Arab, mereka berhasil menggunakan kekayaan SDAnya sebagai modal untuk melakukan transformasi perekonomian. UEA kini menjadi salah satu negara jasa terbesar di dunia. Hanya saja, harap maklum, mereka harus menjadi anak baik dari induk The Seven Sisters.

Posisi Tawar

Dalam konteks ini, saya melihat program hilirisasi yang dilakukan pemerintah harusnya bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi kutukan SDA tadi. Program ini bukan hanya bertujuan meningkatkan nilai tambah SDA, tapi juga untuk menciptakan banyak lapangan kerja. Kini program hilirisasi sudah memasuki babak-babak yang menggembirakan.

Freeport dan Newmont, dua raksasa dalam bisnis mineral dunia, sudah menyatakan kesediaannya untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di sini. Padahal, semula keduanya ngotot menolak. Bahkan, mereka mengancam bakal terjadi PHK besar-besaran jika program hilirisasi dipaksakan. Sejak jauh-jauh hari saya melihat ancaman tersebut tak mungkin mereka laksanakan.

Mengapa? Melalui website keduanya, kita bisa membaca bahwa posisi Indonesia terlalu penting bagi mereka. Sebanyak 27% cadangan tembaga dan 96% cadangan emas Freeport ada di Indonesia. Untuk Newmont, 40% cadangan tembaganya juga ada di sini. Jadi, posisi tawar kita dalam konteks negosiasi hilirisasi, kalau politik kita berintegritas tinggi, sebetulnya sangat kuat. Saya pun percaya hilirisasi juga akan memberikan banyak nilai tambah bagi kita.

Misalnya, ada yang menyebut dalam rentang waktu 2017–2023, kita bakal memperoleh nilai tambah USD268 miliar atau setara dengan Rp3.082 triliun. Ini berarti hampir dua kali lipat dari nilai APBN 2014 yang Rp1.816triliun. Selain itu, program ini juga bakal memicu kemunculan industri-industri turunannya (supply chain) dan usaha-usaha pendukung lain. Misalnya makanan dan minuman, bahkan mungkin properti, dan sebagainya.

Tentu ada masalah lain, yaitu masalah sosial dan kurangnya pasokan listrik. Kalau mereka dipaksa membangun smelterdan mereka menyedot listrik yang kita pakai di pulau yang padat ini (Jawa), bisa Anda bayangkan apa jadinya Indonesia? Bukankah anak-anak sekolah, rumah sakit, perdagangan dan pertokoan, serta pabrikpabrik akan kena dampaknya? Manfaat lain dalam bentuk substitusi impor.

Ini tentu bakal menghemat devisa. Kita setiap tahun terpaksa mengimpor alumina, di antaranya dari China, sebanyak 500.000 ton. Padahal, bauksit sebagai bahan baku pembuatan alumina aslinya didatangkan dari negara kita. Jadi, kita mengekspor bauksit dan setelah diolah menjadi alumina kita impor kembali. Fenomena ini tentu amat menyakitkan. Namun semua manfaat itu tak bakal kita peroleh secara gratis. Bahkan kita harus melewati beberapa tahap yang menyakitkan.

Misalnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), peran ekspor dari sektor pertambangan untuk kuartal I 2014 turun menjadi 4,5%. Padahal, tahun sebelumnya masih 6,5%. Keberhasilan kita memetik manfaat akan sangat ditentukan dari kemampuan kita bertahan dalam melewati tahap-tahap sulit, yang diperkirakan berlangsung selama dua sampai empat tahun.

The Art of Deal

Donald Trump dalam bukunya The Art of Deal (2004) menekankan betul prinsip “lindungi yang di bawah, maka yang di atas akan berjalan dengan sendirinya”. Maksudnya, dalam setiap negosiasi, kita juga harus menghitung kemungkinan-kemungkinan terburuk. Jika kita mampu melewati periode yang terburuk, hal-hal yang baik akan berjalan dengan sendirinya.

Contohnya, ketika memulai bisnis kasino di Atlantic City, banyak masalah yang harus Trump hadapi. Izin yang berbelit-belit, besarnya biaya, dan banyaknya orang yang meninggalkan kota tersebut. Kondisi itu tidak membuat Trump menyerah. Saat-saat sulit bagi mereka yang memiliki entrepreneurship yang kuat sering kali malah menjadi bagus untuk bertransaksi. Itu dibuktikan Trump.

Ia membeli seluruh saham perusahaan kasino milik orang lain dengan harga murah. Dengan cara seperti itu, perizinan tak lagi menjadi soal dan biaya konstruksi pun menjadi murah karena banyak kontraktor yang tidak bekerja akibat situasi yang memburuk. Trump berani menghadapi situasi terburuk dan berhasil melewatinya. Kini, kasino Atlantic City menjadi salah kasino terbesar di dunia.

Kembali ke program hilirisasi, kita mungkin tengah berada di masa yang sulit. Tapi, ini bukan alasan untuk mundur lagi. Setelah melewati masa-masa yang sulit, kita akan menyongsong masa depan yang lebih baik. Setelah hujan akan ada pelangi. Begitulah hukum alam. Hanya kita perlu menetapkan arah dari program hilirisasi.

Dalam konteks itulah saya jadi teringat ucapan Oliver Wendell Holmes, seorang hakim Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Ia menulis begini, “Tragedi terbesar Amerika bukanlah hancurnya SDA—meski ini juga tragedi. Tragedi yang benar-benar hebat justru hancurnya SDM oleh kegagalan kita dalam memanfaatkan kemampuan kita.”

Belajr dari pengalaman Amerika Serikat, kita perlu memanfaatkan kekayaan SDA sebagai modal untuk membangun SDM supaya suatu saat negara kita bisa seperti negara sejahtera yang saya sebut di atas tadi, yang hidup dari tambang. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar