Hilirisasi
dan Kutukan SDA
Rhenald
Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 19 Juni 2014
Gagasan
bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA) bukan berkah, melainkan musibah sudah
berkembang sejak tahun 1980-an. Ekonom Inggris Richard Auty melihat betapa
pertumbuhan ekonomi negara yang kaya SDA justru lebih lambat ketimbang
negara-negara yang miskin SDA.
Ada
banyak alasan yang menjelaskan fenomena tersebut. Misalnya, kekayaan SDA
justru kerap memicu terjadinya konflik internal di negara itu. Muncul
faksi-faksi yang pada akhirnya semua bertujuan menguasai kekayaan SDA
tersebut. Selain konflik internal, ada juga konflik dengan pihak eksternal.
Contohnya, Irak yang mencoba menginvasi Kuwait sehingga terjadilah Perang
Teluk pada 1990.
Atau
kalau Anda mau contoh aktual adalah ketegangan antara China dan Vietnam
akibat BUMN migas China, CNOOC, yang memasang anjungan minyak lepas di
kawasan perairan yang masih menjadi sengketa. Bagaimana konflik di Papua yang
tak kunjung reda? Itu pun tak lepas dari keberadaan tambang tembaga dan emas
terbesar di dunia tentunya. Penelitian yang lain juga menunjukkan negara-negara
yang kaya SDA cenderung lebih korup dan represif.
Perekonomian
negara-negara tersebut tidak dikelola secara benar sehingga kekayaan SDA tak
berimbas pada membaiknya kesejahteraan masyarakat. Ingat saat kita menikmati oil boom di tahun 1970-an, kita justru
mengalami krisis korupsi Pertamina di era mendiang Ibnu Sutowo. Jangan lupa
pula, krisis yang menimpa politisi yang menaungi sektor pertambangan setelah
ditangkapnya mantan Kepala SKK Migas oleh KPK belum lama ini.
Namun
benarkah mitos-mitos tersebut tak lagi terbantahkan? Sebetulnya tidak juga.
Kalau kita melihat negara-negara seperti Qatar atau Uni Emirat Arab, mereka
berhasil menggunakan kekayaan SDAnya sebagai modal untuk melakukan
transformasi perekonomian. UEA kini menjadi salah satu negara jasa terbesar
di dunia. Hanya saja, harap maklum, mereka harus menjadi anak baik dari induk
The Seven Sisters.
Posisi Tawar
Dalam
konteks ini, saya melihat program hilirisasi yang dilakukan pemerintah
harusnya bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi kutukan SDA tadi.
Program ini bukan hanya bertujuan meningkatkan nilai tambah SDA, tapi juga
untuk menciptakan banyak lapangan kerja. Kini program hilirisasi sudah
memasuki babak-babak yang menggembirakan.
Freeport
dan Newmont, dua raksasa dalam bisnis mineral dunia, sudah menyatakan
kesediaannya untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di sini. Padahal, semula
keduanya ngotot menolak. Bahkan, mereka mengancam bakal terjadi PHK
besar-besaran jika program hilirisasi dipaksakan. Sejak jauh-jauh hari saya
melihat ancaman tersebut tak mungkin mereka laksanakan.
Mengapa?
Melalui website keduanya, kita bisa membaca bahwa posisi Indonesia terlalu
penting bagi mereka. Sebanyak 27% cadangan tembaga dan 96% cadangan emas
Freeport ada di Indonesia. Untuk Newmont, 40% cadangan tembaganya juga ada di
sini. Jadi, posisi tawar kita dalam konteks negosiasi hilirisasi, kalau politik
kita berintegritas tinggi, sebetulnya sangat kuat. Saya pun percaya
hilirisasi juga akan memberikan banyak nilai tambah bagi kita.
Misalnya,
ada yang menyebut dalam rentang waktu 2017–2023, kita bakal memperoleh nilai
tambah USD268 miliar atau setara dengan Rp3.082 triliun. Ini berarti hampir
dua kali lipat dari nilai APBN 2014 yang Rp1.816triliun. Selain itu, program
ini juga bakal memicu kemunculan industri-industri turunannya (supply chain) dan usaha-usaha
pendukung lain. Misalnya makanan dan minuman, bahkan mungkin properti, dan
sebagainya.
Tentu
ada masalah lain, yaitu masalah sosial dan kurangnya pasokan listrik. Kalau
mereka dipaksa membangun smelterdan mereka menyedot listrik yang kita pakai
di pulau yang padat ini (Jawa), bisa Anda bayangkan apa jadinya Indonesia?
Bukankah anak-anak sekolah, rumah sakit, perdagangan dan pertokoan, serta
pabrikpabrik akan kena dampaknya? Manfaat lain dalam bentuk substitusi impor.
Ini
tentu bakal menghemat devisa. Kita setiap tahun terpaksa mengimpor alumina,
di antaranya dari China, sebanyak 500.000 ton. Padahal, bauksit sebagai bahan
baku pembuatan alumina aslinya didatangkan dari negara kita. Jadi, kita
mengekspor bauksit dan setelah diolah menjadi alumina kita impor kembali.
Fenomena ini tentu amat menyakitkan. Namun semua manfaat itu tak bakal kita
peroleh secara gratis. Bahkan kita harus melewati beberapa tahap yang
menyakitkan.
Misalnya,
menurut Badan Pusat Statistik (BPS), peran ekspor dari sektor pertambangan
untuk kuartal I 2014 turun menjadi 4,5%. Padahal, tahun sebelumnya masih
6,5%. Keberhasilan kita memetik manfaat akan sangat ditentukan dari kemampuan
kita bertahan dalam melewati tahap-tahap sulit, yang diperkirakan berlangsung
selama dua sampai empat tahun.
The Art of Deal
Donald
Trump dalam bukunya The Art of Deal
(2004) menekankan betul prinsip “lindungi yang di bawah, maka yang di atas
akan berjalan dengan sendirinya”. Maksudnya, dalam setiap negosiasi, kita juga
harus menghitung kemungkinan-kemungkinan terburuk. Jika kita mampu melewati
periode yang terburuk, hal-hal yang baik akan berjalan dengan sendirinya.
Contohnya,
ketika memulai bisnis kasino di Atlantic City, banyak masalah yang harus
Trump hadapi. Izin yang berbelit-belit, besarnya biaya, dan banyaknya orang
yang meninggalkan kota tersebut. Kondisi itu tidak membuat Trump menyerah.
Saat-saat sulit bagi mereka yang memiliki entrepreneurship
yang kuat sering kali malah menjadi bagus untuk bertransaksi. Itu dibuktikan
Trump.
Ia
membeli seluruh saham perusahaan kasino milik orang lain dengan harga murah.
Dengan cara seperti itu, perizinan tak lagi menjadi soal dan biaya konstruksi
pun menjadi murah karena banyak kontraktor yang tidak bekerja akibat situasi
yang memburuk. Trump berani menghadapi situasi terburuk dan berhasil
melewatinya. Kini, kasino Atlantic City menjadi salah kasino terbesar di
dunia.
Kembali
ke program hilirisasi, kita mungkin tengah berada di masa yang sulit. Tapi,
ini bukan alasan untuk mundur lagi. Setelah melewati masa-masa yang sulit,
kita akan menyongsong masa depan yang lebih baik. Setelah hujan akan ada
pelangi. Begitulah hukum alam. Hanya kita perlu menetapkan arah dari program
hilirisasi.
Dalam
konteks itulah saya jadi teringat ucapan Oliver Wendell Holmes, seorang hakim
Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Ia menulis begini, “Tragedi terbesar
Amerika bukanlah hancurnya SDA—meski ini juga tragedi. Tragedi yang benar-benar
hebat justru hancurnya SDM oleh kegagalan kita dalam memanfaatkan kemampuan
kita.”
Belajr
dari pengalaman Amerika Serikat, kita perlu memanfaatkan kekayaan SDA sebagai
modal untuk membangun SDM supaya suatu saat negara kita bisa seperti negara
sejahtera yang saya sebut di atas tadi, yang hidup dari tambang. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar