Jumat, 20 Juni 2014

Mengarifi Keteladanan Sang Pujangga

Mengarifi Keteladanan Sang Pujangga

Marjohan  ;   Pemerhati Sosial-Budaya
HALUAN,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sekitar 1815 M, Belanda mengibarkan Kurt Handsarchief. Maksudnya? Apalagi kalau bukan untuk kepentingan Hindia Belanda (1816-1942). Dengan piawai, juragan Hand­sarchief Dr JA Vanderchijs, tak cuma menyelamatkan arsip Hindia Belanda, berupa: Vereeniying Oast Indische Compagnie (VOC), yaitu maskapai dagang Hindia Timur disikat habis. Dan sampai berakhirnya kekuasaan Belanda pada 1949, nyaris semua arsip tersebut diangkut ke negaranya. Negeri kincir angin ini memang dikenal gila dan rakus arsip.

Bayangkan! Kokinklijk Institut Voor Land Teal en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, mengoleksi tak kurang dari 500.000 judul buku, jurnal, koran, foto, gambar/post card, manuskrip dan arsip tentang Dunia Timur dan Dunia Barat. Yang membuat banyak orang terkesiap, tapi juga  berdecak kagum, lebih dari separoh koleksi berharga itu, justru tentang Indonesia.

Harap Maklum! Di  Tropen Museum Amsterdam, masih menyimpan benda bersejarah hal-ihwal Papua Nugini, Suriname, Karibia dan Indonesia. Tak terkecuali Minang­kabau secara kultural dan Sumatera Barat secara provinsial. Menurut Eka Nuzla (kini: mantan Kepala Badan Perpustakaan & Arsip Sumbar) ketika bertandang ke Belanda (2009): terbitan perdana Haluan (1948) serta buah tangan Hamka berupa novel klasik yang ditulis dengan huruf Arab Melayu (huruf Jawi), pada 1925 bertajuk: si Sabariah juga dihimpun Belanda.

Bertahta di Hati Umat

Mengacu sambutan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr M Din Syamsuddin, pada pembukaan Tanwir ‘Aisyiyah ke-2 (6 / 6), di Solo, Jawa Tengah: guna mendo­kumentasikan tikam jejak putra sulung Dr Haji Karim Amrullah (Dr Hamka) itu, MUI Pusat yang kini juga dibiduki Pak Din—begitu ia akrab disapa punya obsesi merancang-bangun filem hal-ihwal Hamka berjudul: Sang Pujangga.

Selain pada diri Hamka tersemat prediket ulama, budayawan, sastrawan—per­tautan ketiga unsur itu bisa disebut pujangga—tema ini terinspirasi dari filem Sang Pencerah (KHA Dahlan, pendiri Muhammadiyah, 1912) serta Sang Kiyai (KHA Hasyim ‘Asya’ri, pendiri NU, 1937). Kedua filem berorientasi historis-kulturalistik  ini dinilai sukses dan spektakuler. Bukti konkret, tidak hanya mendapat tempat dan ruang tersendiri bagi kalangan Muhammadiyah dan kaum Nahdhiyyin.

Akan tetapi juga diminati komunitas Islam lain di Tanah Air. Bahkan daya penetrasi Sang Pencerah menembus serta mengilhami tegak-berdirinya: Cabang Istimewa Muhammadiyah (CIM) di luar negeri. Sebut saja Mesir, Sudan, Maroko, Tunisia, Riyadh, Amsterdam, Korea, Malaysia, Singapura dan lain sebagainya. Diprediksi Sang Pujangga pun bakal diminati umat Islam di pelbagai belahan dunia. Soalnya, nama besar Hamka tak hanya menjamah Asia Tenggara dan Asia. Akan tetapi putra Sungai Batang, Maninjau, Luhak Agam tersebut—bertah­ta di hati umat Islam di seantero dunia.

Adapun tujuan esensial merakit filem sang pujangga, selain mendokumentasikan sepak-terjang Hamka yang nyaris menjamah semua dimensi kehidupan (agama, politik, ekonomi, sosial-budaya dan lainya)—yang lebih penting: kiranya pemuka agama kini mampu memosisikan pengarang produktif itu (sekitar 270-an judul, sejak 1925-1981)) sebagai tokoh panutan (qudwah-hasanah, QS al-Ahzab ayat 21 & Surat al-Qalam ayat 5).

Ulama Kharismatik & Multi-komplek

Meski tak tamat di Thawalib Padang Panjang (ditiang-pancangi Dr Haka & Abdul Hamid Hakim, 1921). Namun karena belajar gigih dan otodidak—akhirnya si pemegang nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Dt Indomo itu tercatat sebagai ulama besar, kharismatik dan substansialistik (hakimun wa al-faqihun). Paling tidak tercatat tiga metodologi dakwah / transformasi Islam yang digeluti tokoh Minangkabau kelahiran 17 Februari 1908 (1325 H) ini. (1), da’wahu bi al-lisan (dakwah lisan / verbal; (2), da’wahu bi al-hal (dakwah dengan contoh tauladan; dan (3), da’wahu bi al-kitabah (dakwah dengan media tulisan).

Khusus da’wahu bi al-hal—sampai akhir hayat beliau (24 Juli, 1981), pengarang novel Di Bawah Lindungan Ka’bah itu, tak pernah cacat secara moral. Walau pelbagai jabatan formal dan informal pernah digenggam pengagum ulama modernis dan reformis Timur Tengah Jamaluddin al-Afghany dan Moehammad Abduh ini. Sebut saja Wakil Ketua PP Muhammadiyah (1970-an); Ketua Muhammadiyah Sumatera Tengah (1940-an); Ketua Umum MUI Pusat (1975-1980); Ketua Front Pembebasan Rakyat (1940-1945), berkedudukan di Bukit Tinggi; dan banyak lagi yang lain.

Dan, yang membuat kita berdecak-kagum—Hamka tak pernah tergiur harta (hubbu al-mal). Ketika diminta Pemerintah (Menteri Agama RI, Prof Dr H Mukti Ali) menduduki posisi Ketua Umum MUI Pusat, Hamka mengajukan dua syarat berjalin-kelindan (tak digaji dan tak terima uang pensiun). Berbeda benar dengan segelintir tokoh agama (Rijalu ad-Din) kita di alam kapitalistik dan prag­matistik ini. Selain telah digaji negara dalam jumlah badagok-gadang (amat banyak)—masih saja terlibat KKN alias korupsi, kolusi dan nepotisme—dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Dan, yang membuat kening bergerinyit upaya mempergemuk pundi pribadi (self interest), keluarga dan meraup kepentingan kelompok (group interest) serta dinasti—direkayasa apik seolah tanpa merasa bersalah.  Aneh bin ajaib lagi, kurenah dan kakobeh (tipologi) menyikat-habis uang yang berasal dari cucur-keringat rakyat berupa pajak dan restribusi—tidak hanya disunat tokoh agama di habitus legislatif. Akan tetapi juga berkecambah di zona eksekutif. Dan, yang dibilang penggal akhir (eksekutif) mengacu catatan Indonesia Corruption Watch (ICW / 2010): satu departemen yang justru berge­limang dengan dunia spiritual, transendental, intelektual dan kultural—selain menempati peringkat atas dalam ber-KKN di negeri ini—petingginya yang nota bene berhabitat Parpol berazas Islam secara simbolistik / formalistik berurusan dengan aparat hukum.

Mirisnya pula seperti diberitakan mass media cetak dan elektronik al-fulus: memperkaya diri tersebut berasal dari dana sakralistik. Sebut saja dana: haji, zakat, masjid, NTR alias nikah, talak dan rujuk. Naudzubillahi min dzalik!

Langkah ke Depan

Supaya tokoh agama sejak level pusat sampai tingkat kabupaten / kota—bahkan kecamatan dan nagari tidak mengidap krisis keteladanan semisal yang jadi fenomena menggalaukan sekarang, tanpa berpretensi menggurui (karena saya bukanlah guru)—terhampar dua jalan (washilah) di pelupuk mata.

Pertama, berikhtiar gigih tidak terjerembab ke dalam kawah: ambivalen, hipokrit, hati mendua (baca:munafik / QS al-Baqarah ayat 14-15). Kedua, selain memosisikan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh-teladan—juga mengarifi sikap, kepribadian, sikap mental (mental attitude/akhlaqu al-karimah) yang bergelayut pada ulama tempo doeloe—tak terkecuali ulama besar / Sang Pujangga (Hamka) semisal disinggung di muka. Fa’tabiru ya uli al-abshar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar