Mengarifi
Keteladanan Sang Pujangga
Marjohan
; Pemerhati
Sosial-Budaya
|
HALUAN,
20 Juni 2014
Sekitar
1815 M, Belanda mengibarkan Kurt
Handsarchief. Maksudnya? Apalagi kalau bukan untuk kepentingan Hindia
Belanda (1816-1942). Dengan piawai, juragan Handsarchief Dr JA Vanderchijs, tak cuma menyelamatkan arsip
Hindia Belanda, berupa: Vereeniying Oast
Indische Compagnie (VOC), yaitu maskapai dagang Hindia Timur disikat
habis. Dan sampai berakhirnya kekuasaan Belanda pada 1949, nyaris semua arsip
tersebut diangkut ke negaranya. Negeri kincir angin ini memang dikenal gila
dan rakus arsip.
Bayangkan!
Kokinklijk Institut Voor Land Teal en
Volkenkunde (KITLV) di Leiden, mengoleksi tak kurang dari 500.000 judul
buku, jurnal, koran, foto, gambar/post card, manuskrip dan arsip tentang
Dunia Timur dan Dunia Barat. Yang membuat banyak orang terkesiap, tapi
juga berdecak kagum, lebih dari
separoh koleksi berharga itu, justru tentang Indonesia.
Harap
Maklum! Di Tropen Museum Amsterdam,
masih menyimpan benda bersejarah hal-ihwal Papua Nugini, Suriname, Karibia
dan Indonesia. Tak terkecuali Minangkabau secara kultural dan Sumatera Barat
secara provinsial. Menurut Eka Nuzla (kini: mantan Kepala Badan Perpustakaan
& Arsip Sumbar) ketika bertandang ke Belanda (2009): terbitan perdana
Haluan (1948) serta buah tangan Hamka berupa novel klasik yang ditulis dengan
huruf Arab Melayu (huruf Jawi), pada 1925 bertajuk: si Sabariah juga dihimpun
Belanda.
Bertahta di Hati Umat
Mengacu
sambutan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr M Din Syamsuddin, pada pembukaan
Tanwir ‘Aisyiyah ke-2 (6 / 6), di Solo, Jawa Tengah: guna mendokumentasikan
tikam jejak putra sulung Dr Haji Karim Amrullah (Dr Hamka) itu, MUI Pusat
yang kini juga dibiduki Pak Din—begitu ia akrab disapa punya obsesi
merancang-bangun filem hal-ihwal Hamka berjudul: Sang Pujangga.
Selain
pada diri Hamka tersemat prediket ulama, budayawan, sastrawan—pertautan
ketiga unsur itu bisa disebut pujangga—tema ini terinspirasi dari filem Sang
Pencerah (KHA Dahlan, pendiri Muhammadiyah, 1912) serta Sang Kiyai (KHA
Hasyim ‘Asya’ri, pendiri NU, 1937). Kedua filem berorientasi
historis-kulturalistik ini dinilai
sukses dan spektakuler. Bukti konkret, tidak hanya mendapat tempat dan ruang
tersendiri bagi kalangan Muhammadiyah dan kaum Nahdhiyyin.
Akan
tetapi juga diminati komunitas Islam lain di Tanah Air. Bahkan daya penetrasi
Sang Pencerah menembus serta mengilhami tegak-berdirinya: Cabang Istimewa
Muhammadiyah (CIM) di luar negeri. Sebut saja Mesir, Sudan, Maroko, Tunisia,
Riyadh, Amsterdam, Korea, Malaysia, Singapura dan lain sebagainya. Diprediksi
Sang Pujangga pun bakal diminati umat Islam di pelbagai belahan dunia. Soalnya,
nama besar Hamka tak hanya menjamah Asia Tenggara dan Asia. Akan tetapi putra
Sungai Batang, Maninjau, Luhak Agam tersebut—bertahta di hati umat Islam di
seantero dunia.
Adapun
tujuan esensial merakit filem sang pujangga, selain mendokumentasikan
sepak-terjang Hamka yang nyaris menjamah semua dimensi kehidupan (agama,
politik, ekonomi, sosial-budaya dan lainya)—yang lebih penting: kiranya
pemuka agama kini mampu memosisikan pengarang produktif itu (sekitar 270-an judul, sejak 1925-1981))
sebagai tokoh panutan (qudwah-hasanah,
QS al-Ahzab ayat 21 & Surat al-Qalam ayat 5).
Ulama Kharismatik &
Multi-komplek
Meski
tak tamat di Thawalib Padang Panjang (ditiang-pancangi Dr Haka & Abdul
Hamid Hakim, 1921). Namun karena belajar gigih dan otodidak—akhirnya si pemegang
nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Dt Indomo itu tercatat
sebagai ulama besar, kharismatik dan substansialistik (hakimun wa al-faqihun). Paling tidak tercatat tiga metodologi
dakwah / transformasi Islam yang digeluti tokoh Minangkabau kelahiran 17
Februari 1908 (1325 H) ini. (1), da’wahu
bi al-lisan (dakwah lisan / verbal; (2), da’wahu bi al-hal (dakwah dengan contoh tauladan; dan (3), da’wahu bi al-kitabah (dakwah dengan
media tulisan).
Khusus da’wahu bi al-hal—sampai akhir hayat beliau
(24 Juli, 1981), pengarang novel Di Bawah Lindungan Ka’bah itu, tak pernah
cacat secara moral. Walau pelbagai jabatan formal dan informal pernah
digenggam pengagum ulama modernis dan reformis Timur Tengah Jamaluddin
al-Afghany dan Moehammad Abduh ini. Sebut saja Wakil Ketua PP Muhammadiyah
(1970-an); Ketua Muhammadiyah Sumatera Tengah (1940-an); Ketua Umum MUI Pusat
(1975-1980); Ketua Front Pembebasan Rakyat (1940-1945), berkedudukan di Bukit
Tinggi; dan banyak lagi yang lain.
Dan,
yang membuat kita berdecak-kagum—Hamka tak pernah tergiur harta (hubbu al-mal). Ketika diminta Pemerintah
(Menteri Agama RI, Prof Dr H Mukti Ali) menduduki posisi Ketua Umum MUI Pusat,
Hamka mengajukan dua syarat berjalin-kelindan (tak digaji dan tak terima uang
pensiun). Berbeda benar dengan segelintir tokoh agama (Rijalu ad-Din) kita di alam kapitalistik dan pragmatistik ini.
Selain telah digaji negara dalam jumlah badagok-gadang (amat banyak)—masih
saja terlibat KKN alias korupsi, kolusi dan nepotisme—dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Dan,
yang membuat kening bergerinyit upaya mempergemuk pundi pribadi (self interest), keluarga dan meraup
kepentingan kelompok (group interest)
serta dinasti—direkayasa apik seolah tanpa merasa bersalah. Aneh bin ajaib lagi, kurenah dan kakobeh
(tipologi) menyikat-habis uang yang berasal dari cucur-keringat rakyat berupa
pajak dan restribusi—tidak hanya disunat tokoh agama di habitus legislatif.
Akan tetapi juga berkecambah di zona eksekutif. Dan, yang dibilang penggal
akhir (eksekutif) mengacu catatan Indonesia
Corruption Watch (ICW / 2010): satu departemen yang justru bergelimang
dengan dunia spiritual, transendental, intelektual dan kultural—selain
menempati peringkat atas dalam ber-KKN di negeri ini—petingginya yang nota
bene berhabitat Parpol berazas Islam secara simbolistik / formalistik
berurusan dengan aparat hukum.
Mirisnya
pula seperti diberitakan mass media cetak dan elektronik al-fulus: memperkaya
diri tersebut berasal dari dana sakralistik. Sebut saja dana: haji, zakat,
masjid, NTR alias nikah, talak dan rujuk. Naudzubillahi
min dzalik!
Langkah ke Depan
Supaya
tokoh agama sejak level pusat sampai tingkat kabupaten / kota—bahkan
kecamatan dan nagari tidak mengidap krisis keteladanan semisal yang jadi
fenomena menggalaukan sekarang, tanpa berpretensi menggurui (karena saya
bukanlah guru)—terhampar dua jalan (washilah)
di pelupuk mata.
Pertama,
berikhtiar gigih tidak terjerembab ke dalam kawah: ambivalen, hipokrit, hati
mendua (baca:munafik / QS al-Baqarah ayat 14-15). Kedua, selain memosisikan
Nabi Muhammad SAW sebagai contoh-teladan—juga mengarifi sikap, kepribadian, sikap
mental (mental attitude/akhlaqu
al-karimah) yang bergelayut pada ulama tempo doeloe—tak terkecuali ulama
besar / Sang Pujangga (Hamka) semisal disinggung di muka. Fa’tabiru ya uli al-abshar! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar