Dari
Suara Rakyat ke Populisme Pemimpin
Lambang
Trijono ; Dosen
Fisipol, Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
18 Juni 2014
Berkembangnya praktik politik
yang mengejar kepentingan pragmatis melalui koalisi telah mereduksi demokrasi
karena mengabaikan suara rakyat dan mengaburkan jalan menuju pemerintahan
yang transformatif. Dihadapkan fakta obyektif masih pluralnya partai politik,
dan aturan main yang mengharuskan partai memperoleh suara minimal 25 persen
atau 20 persen kursi di parlemen, pergerakan kekuatan politik partai belum
mampu menjadi kekuatan signifikan mengubah haluan politik di negeri ini.
Tidak ada yang salah dari masih
pluralnya partai politik itu, karena hal itu merupakan konsekuensi kebebasan
dalam demokrasi. Demikian pula tidak ada salahnya aturan main dan persyaratan
itu kalau hal tersebut dimaksudkan untuk menyeleksi kepemimpinan politik
terbaik untuk memimpin bangsa yang begitu besar dengan masalah yang begitu
kompleks dihadapi.
Namun, yang menjadi masalah
adalah kenyataan pahit yang harus diterima bangsa ini menghadapi fragmentasi
politik antar-kekuatan partai-partai politik. Oleh karena itu sulit bagi
bangsa untuk menyusun struktur bangunan politik kenegaraan yang kuat, baik di
tubuh parlemen maupun lembaga kepresidenan, demi penuntasan berbagai masalah
transisi menuju demokrasi.
Akibat benturan realitas atau
paradoks politik ini adalah semakin menggelembungnya pragmatisme politik
mengejar kepentingan taktis koalisi.
Dampaknya adalah menurunnya
kapasitas bersama sebagai bangsa dalam menyusun agenda pembangunan bangsa ke
depan. Di tengah-tengah kemandekan politik itu, satu- satunya yang tersisa
kini tinggal kemampuan politik berpusat pada kapasitas pemimpin untuk menggalang
kekuatan bersama.
Suara rakyat
Di tengah hambatan struktural
tersebut, kekuatan utama yang bisa didayagunakan pemimpin adalah menyuarakan
suara-suara rakyat yang telah disalurkan melalui pemilu. Suara-suara rakyat
disampaikan melalui kotak suara itu harus mendapatkan artikulasi dari
pemimpin sehingga membawa perubahan politik kehidupan bangsa ke depan.
Hanya masalahnya, seperti
terjadi dalam pemilu legislatif, pemilu kita hingga kini masih diwarnai
kecurangan mobilisasi suara menggunakan politik uang, bahkan kini diwarnai
cara-cara yang semakin brutal menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan
suara.
Sampai di sini, praktik
demokrasi kita masih terjebak pandangan sempit Schumpeterian yang menempatkan
demokrasi hanya sebagai manajemen hitung suara untuk memilih pemimpin, yang
ujung-ujungnya hanya bagi-bagi kekuasaan.
Jauh dari tindakan etis politik
untuk mendapatkan suara rakyat yang ideal penuh kebebasan mencapai keadilan,
sebagaimana ditekankan Habermasian dan Rawlsian, atau untuk mendorong
transformasi politik, seperti dikemukakan Mouffeian dan Laclauian.
Memperhatikan kemandekan politik
itu, maka munculnya tantangan dari kalangan aktivis bagi pemimpin yang akan
datang untuk lebih populis menyuarakan politik kerakyatan memberi arti
tersendiri. Seperti juga disuarakan kalangan intelektual kampus dan pemimpin
komunitas selama ini, tuntutan dibentuknya poros kerakyatan yang bebas dari
kepentingan taktis koalisi, dengan lebih menekankan politik kesejahteraan
berbasis hak-hak konstitusional warga negara, bisa dijadikan pintu masuk bagi
pemimpin untuk melakukan perubahan.
Untuk menghasilkan efek
perubahan yang lebih besar, suara-suara dari kalangan aktivis, intelektual
kampus, dan pemimpin komunitas itu perlu disambut kalangan partai dan calon
pemimpin bangsa. Di tengah kemandekan politik yang didominasi kepentingan
taktis koalisi yang menjebak kalangan politisi tersebut, sinergi di antara
kekuatan partai politik, kalangan aktivis, intelektual kampus, dan pemimpin
komunitas perlu digalang untuk menggulirkan agenda politik kerakyatan dalam
kepemimpinan bangsa ke depan.
Kepemimpinan populis
Gerak sinergis itu bisa
diharapkan melahirkan kepemimpinan populis dari kalangan politisi di masa
mendatang. Kepemimpinan populis di sini tidak harus diartikan semata sebagai
antitesis dari kepemimpinan elitis sebelumnya. Akan tetapi, lebih dimaknai
sebagai kepemimpinan produktif mampu membawa perubahan kehidupan bangsa yang
lebih baik ke depan.
Kepemimpinan populis yang hanya
didasarkan pada antitesis kepemimpinan sebelumnya akan mudah menemui
kegagalan, karena tidak mudahnya membangun basis perlawanan di tengah
kekuatan politik yang begitu terfragmentasi itu. Basis keberhasilan
kepemimpinan populis terutama terletak
pada kemampuan pemimpin dalam
mengelevasi kredibilitas suara-suara rakyat, baik yang pro maupun yang anti
pemerintah sebelumnya, demi kemajuan bangsa.
Kepemimpinan populis juga tidak
mengenal rumus dari mana berasal, bisa datang dari politik kanan liberal
ataupun dari kiri sosial-demokratik. Keduanya bisa melahirkan kepemimpinan
populis dengan caranya sendiri. Seperti Tony Blair di Inggris, yang berasal
dari partai buruh tetapi kemudian pindah ke kanan mendukung Thatcherism.
Atau, Jorg Haider di Austria, sebagai pemimpin populis ekstrem-kanan yang
mendapatkan popularitas karena runtuhnya kredibilitas koalisi elitis di
kalangan pemimpin kanan sebelumnya.
Kepemimpinan populis hanya bisa
menjadi produktif ketika pemimpin mampu menyuarakan suara-suara rakyat dan
menyatukannya demi kemajuan nation. Kemampuan menghadirkan kekuatan yang
bersifat menyatukan tanpa menghilangkan partikularisme suara-suara rakyat
yang ada di dalam, merupakan kunci keberhasilan pemimpin populis. Di tengah
kemandekan politik yang terjadi sekarang, kita berharap kepemimpinan populis
itu bisa dihasilkan pada pemilu presiden dan wakil presiden 9 Juli 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar