Kamis, 19 Juni 2014

Dari Suara Rakyat ke Populisme Pemimpin

Dari Suara Rakyat ke Populisme Pemimpin

Lambang Trijono  ;   Dosen Fisipol, Universitas Gadjah Mada
KOMPAS,  18 Juni 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Berkembangnya praktik politik yang mengejar kepentingan pragmatis melalui koalisi telah mereduksi demokrasi karena mengabaikan suara rakyat dan mengaburkan jalan menuju pemerintahan yang transformatif. Dihadapkan fakta obyektif masih pluralnya partai politik, dan aturan main yang mengharuskan partai memperoleh suara minimal 25 persen atau 20 persen kursi di parlemen, pergerakan kekuatan politik partai belum mampu menjadi kekuatan signifikan mengubah haluan politik di negeri ini.

Tidak ada yang salah dari masih pluralnya partai politik itu, karena hal itu merupakan konsekuensi kebebasan dalam demokrasi. Demikian pula tidak ada salahnya aturan main dan persyaratan itu kalau hal tersebut dimaksudkan untuk menyeleksi kepemimpinan politik terbaik untuk memimpin bangsa yang begitu besar dengan masalah yang begitu kompleks dihadapi.

Namun, yang menjadi masalah adalah kenyataan pahit yang harus diterima bangsa ini menghadapi fragmentasi politik antar-kekuatan partai-partai politik. Oleh karena itu sulit bagi bangsa untuk menyusun struktur bangunan politik kenegaraan yang kuat, baik di tubuh parlemen maupun lembaga kepresidenan, demi penuntasan berbagai masalah transisi menuju demokrasi.

Akibat benturan realitas atau paradoks politik ini adalah semakin menggelembungnya pragmatisme politik mengejar kepentingan taktis koalisi.
Dampaknya adalah menurunnya kapasitas bersama sebagai bangsa dalam menyusun agenda pembangunan bangsa ke depan. Di tengah-tengah kemandekan politik itu, satu- satunya yang tersisa kini tinggal kemampuan politik berpusat pada kapasitas pemimpin untuk menggalang kekuatan bersama.

Suara rakyat

Di tengah hambatan struktural tersebut, kekuatan utama yang bisa didayagunakan pemimpin adalah menyuarakan suara-suara rakyat yang telah disalurkan melalui pemilu. Suara-suara rakyat disampaikan melalui kotak suara itu harus mendapatkan artikulasi dari pemimpin sehingga membawa perubahan politik kehidupan bangsa ke depan.

Hanya masalahnya, seperti terjadi dalam pemilu legislatif, pemilu kita hingga kini masih diwarnai kecurangan mobilisasi suara menggunakan politik uang, bahkan kini diwarnai cara-cara yang semakin brutal menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan suara.

Sampai di sini, praktik demokrasi kita masih terjebak pandangan sempit Schumpeterian yang menempatkan demokrasi hanya sebagai manajemen hitung suara untuk memilih pemimpin, yang ujung-ujungnya hanya bagi-bagi kekuasaan.
Jauh dari tindakan etis politik untuk mendapatkan suara rakyat yang ideal penuh kebebasan mencapai keadilan, sebagaimana ditekankan Habermasian dan Rawlsian, atau untuk mendorong transformasi politik, seperti dikemukakan Mouffeian dan Laclauian.

Memperhatikan kemandekan politik itu, maka munculnya tantangan dari kalangan aktivis bagi pemimpin yang akan datang untuk lebih populis menyuarakan politik kerakyatan memberi arti tersendiri. Seperti juga disuarakan kalangan intelektual kampus dan pemimpin komunitas selama ini, tuntutan dibentuknya poros kerakyatan yang bebas dari kepentingan taktis koalisi, dengan lebih menekankan politik kesejahteraan berbasis hak-hak konstitusional warga negara, bisa dijadikan pintu masuk bagi pemimpin untuk melakukan perubahan.

Untuk menghasilkan efek perubahan yang lebih besar, suara-suara dari kalangan aktivis, intelektual kampus, dan pemimpin komunitas itu perlu disambut kalangan partai dan calon pemimpin bangsa. Di tengah kemandekan politik yang didominasi kepentingan taktis koalisi yang menjebak kalangan politisi tersebut, sinergi di antara kekuatan partai politik, kalangan aktivis, intelektual kampus, dan pemimpin komunitas perlu digalang untuk menggulirkan agenda politik kerakyatan dalam kepemimpinan bangsa ke depan.

Kepemimpinan populis

Gerak sinergis itu bisa diharapkan melahirkan kepemimpinan populis dari kalangan politisi di masa mendatang. Kepemimpinan populis di sini tidak harus diartikan semata sebagai antitesis dari kepemimpinan elitis sebelumnya. Akan tetapi, lebih dimaknai sebagai kepemimpinan produktif mampu membawa perubahan kehidupan bangsa yang lebih baik ke depan.

Kepemimpinan populis yang hanya didasarkan pada antitesis kepemimpinan sebelumnya akan mudah menemui kegagalan, karena tidak mudahnya membangun basis perlawanan di tengah kekuatan politik yang begitu terfragmentasi itu. Basis keberhasilan kepemimpinan populis terutama terletak
pada kemampuan pemimpin dalam mengelevasi kredibilitas suara-suara rakyat, baik yang pro maupun yang anti pemerintah sebelumnya, demi kemajuan bangsa.

Kepemimpinan populis juga tidak mengenal rumus dari mana berasal, bisa datang dari politik kanan liberal ataupun dari kiri sosial-demokratik. Keduanya bisa melahirkan kepemimpinan populis dengan caranya sendiri. Seperti Tony Blair di Inggris, yang berasal dari partai buruh tetapi kemudian pindah ke kanan mendukung Thatcherism. Atau, Jorg Haider di Austria, sebagai pemimpin populis ekstrem-kanan yang mendapatkan popularitas karena runtuhnya kredibilitas koalisi elitis di kalangan pemimpin kanan sebelumnya.

Kepemimpinan populis hanya bisa menjadi produktif ketika pemimpin mampu menyuarakan suara-suara rakyat dan menyatukannya demi kemajuan nation. Kemampuan menghadirkan kekuatan yang bersifat menyatukan tanpa menghilangkan partikularisme suara-suara rakyat yang ada di dalam, merupakan kunci keberhasilan pemimpin populis. Di tengah kemandekan politik yang terjadi sekarang, kita berharap kepemimpinan populis itu bisa dihasilkan pada pemilu presiden dan wakil presiden 9 Juli 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar