Sesat
Pikir Lokalisasi
Muhamad
Ilyasa ; Pemerhati
Masalah Sosial, Editor Penerbit Zikrul Hakim-Bestari
|
REPUBLIKA,
18 Juni 2014
Pemerintah Kota Surabaya
berencana menutup lokalisasi prostitusi Dolly hari ini. Seperti rencana penutupan
lokalisasi di manapun, selalu muncul kelompok kontra terhadap rencana ini.
Mereka adalah para wanita tunasusila (WTS), germo, dan masyarakat sekitar
lokalisasi yang banyak menangguk keuntungan dari bisnis ini, serta kalangan
LSM dan aktivis yang terkait dengan advokasi WTS.
Kelompok penentang penutupan
lokalisasi selalu mengemukakan argumen yang tampak "indah" tentang
keberadaan lokalisasi. Argumen ini banyak meracuni kalangan awam karena seperti
mengusung kebenaran. Padahal, kalau di kaji lebih dalam, sesungguhnya pandangan
kelompok ini hanya memperlihatkan kesesatan berpikir yang tidak didukung
fakta dan data yang valid.
Alasan yang sering dikemukakan
para pendukung keberadaan lokalisasi adalah untuk melokalisasi dan mengendalikan
pelacuran. Dengan lokalisasi, pelacuran bisa terlokalisir pada lokalisasi
yang bersangkutan dan pelacuran di luar lokalisasi menjadi terminimalisasi.
Sementara di dalam lokalisasi sendiri jumlah pelacur akan berkurang karena
mereka diarahkan kembali ke jalan yang benar melalui program rehabilitasi.
Kenyataannya, argumen ini tidak
pernah terbukti.
Mengapa?
Pendirian lokalisasi sama dengan
kegiatan yang dalam teori ekonomi disebut aglomerasi (pengumpulan atau pemusatan
di lokasi atau kawasan tertentu). Aglomerasi selalu meningkatkan volume jual beli
karena di sana terjadi supply dan demand yang besar. Contohnya, sentra
perdagangan sayur-mayur atau otomotif selalu meningkat kan volume perdagangan
sayur-mayur atau otomotif. Artinya, teori ini membuktikan bahwa pendirian
lokalisasi jus tru memperbesar pelacuran, bukan mengendalikannya. Lokalisasi
selalu menarik para calon WTS masuk ke dalamnya untuk menjadi WTS dan
mendorong para germo mencari WTS baru untuk menjaga supply (persediaan), semantara para lelaki hidung belang pun
terus berdatangan sehingga demand (permintaan)
tak pernah sepi. Supply dan demand yang stabil membuat harga
pelayanan WTS menjadi terjangkau dan pelacuran tetap hidup, bahkan terus
berkembang.
Program rehabilitasi yang
dijanjikan diadakan untuk mengembalikan para WTS ke jalan yang benar hanya
sebagai upaya menampilkan kesan baik lokalisasi dan menutupi keburukan
lokalisasi.
Tak pernah ada fakta dan data
yang memperlihatkan keberhasilan program ini. Bahkan, program ini tak jarang
menjadi jalan bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mencari keuntungan dengan
memanfaatkan dana rehabilitasi yang dikucurkan berbagai pihak. Ironisnya,
bukan rehabilitasi yang dilakukan, melainkan penggalakan seks
"sehat" dengan menggunakan kondom yang bisa diartikan membenarkan
pelacuran selama menggunakan kondom.
Fakta, data, dan kenyataan
empiris yang ada memang memperlihatkan lokalisasi tak pernah bisa
mengendalikan, apalagi menghentikan pelacuran. Lokalisasi Dolly yang sudah
ada sejak zaman Belanda, sampai kini tetap eksis. Bahkan, data terakhir terus
memperlihatkan peningkatan para pelakunya. Data pada Mei 2014 mencatat di
Dolly terdapat 1.187 WTS dengan 311 germo. Terjadi pelonjakan jika
dibandingan akhir 2012 yang terdapat 1.022 WTS dengan 292 germo.
Lokalisasi juga tak pernah bisa
meminimalisasi pelacuran di luar lokalisasi karena keberadaan lokalisasi
menjadi percontohan untuk para WTS dan germo melakukan hal yang sama.
Keberadaan lokalisasi menjadi pembenaran dan legalisasi pelacuran sehingga
mereka yang melakukan kegiatan yang sama di luar lokalisasi menjadi memiliki
alasan yang kuat untuk melakukan resistensi terha dap setiap upaya penertiban.
Aparat pun menjadi tak memiliki
alasan yang kuat untuk melakukan penertiban, apa lagi penindakan hukum.
Fakta konkretnya, ketika
lokalisasi Kramat Tunggak masih berdiri di Jakarta Utara, selama 28 tahun
lokalisasi tersebut ada tak pernah bisa menghentikan pelacuran liar di
sekitarnya, seperti di Cilincing, Ancol, dan Stasiun Tanjung Priok.
Jangankan menghentikan pelacuran
di seantero Jakarta, sebagaimana dijadikan alasan saat pendiriannya pada
1972, menghentikan pelacuran liar di lingkungan terdekatnya pun tak mampu.
Ini artinya, pendirian lokalisasi hanya mempersubur pelacuran karena pelacuran
di lokalisasi tetap hidup, sementara pelacuran liar di luar lokalisasi
semakin marak.
Sesat pikir kedua dari para
pendukung lokalisasi adalah pengabaian pelanggaran hukum yang nyata dari
keberadaan lokalisasi. Lokalisasi sejatinya adalah pelanggaran hukum yang
dilegalkan. Betapa tidak? Kendati hukum positif (Pasal 284 KUHP) tidak menggolongkan
semua hubungan seks di luar nikah sebagai perzinaan yang bisa dikenai sanksi
hukum, melainkan hanya hubungan seks di luar nikah yang dilakukan oleh salah
satu atau kedua pasangan yang telah beristri/bersuami, pelanggaran hukum
hampir dipastikan terjadi di lokalisasi.
Pasalnya, lelaki lacur yang menginginkan
layanan WTS di lokalisasi kebanyakan telah beristri. Begitupun WTS-nya,
banyak di antara mereka yang memiliki suami.
Belum lagi peraturan lain yang
dilanggar oleh keberadaan lokalisasi, seperti Dolly yang melanggar Perda Nomor
7 Tahun 1999 mengenai larangan bangunan atau rumah tinggal difungsikan
sebagai tempat melakukan tindak asusila. Juga pelanggaran terhadap Undang-Undang
Perdagangan Manusia (human trafficking)
karena lokalisasi identik dengan perdagangan manusia dengan berbagai
modusnya.
Sesat pikir berikutnya adalah
menempatkan pelacuran sebagai solusi atas persoalan kemiskinan. Cara berpikir
ini berupaya menutupi faktor-faktor lain yang mendorong terjadinya pelacuran
yang sesungguhnya lebih dominan. Kemiskinan dijadikan pembenaran praktik
pelacuran. Menurut penelitian Kartini Kartono (2005: 245), di samping
kemiskinan, ada motif-motif lain yang memungkinkan terjadinya pelacuran, di
antaranya, keinginan mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas, tidak merasa
puas mengadakan relasi seks dengan satu pasangan, aspirasi materiil yang tinggi
pada diri wanita, kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior, rasa ingin
tahu terhadap seks, banyaknya stimulasi seksual dari film, gambar, dan bacaan
porno, keluarga yang broken home,
dan mobilitas pekerja laki-laki yang tidak membawa keluarganya.
Jelas, faktor kemiskinan
sesungguhnya hanya bagian kecil dari faktor-faktor lain. Itu sebabnya tidak
semua wanita miskin menjadi pelacur. Dengan tidak menafikan latar belakang
kemiskinan, kemiskinan adalah masalah sosial yang harus diatasi dengan
cara-cara yang bermartabat, bukan dengan pelacuran.
Sesat pikir selanjutnya adalah
dengan mencari pembenaran dengan mengatakan pelacuran adalah bisnis tertua
umat manusia. Pelacuran sudah terjadi sepanjang sejarah manusia sehingga tidak
bisa dihapuskan. Pendapat ini sungguh keliru ketika upaya memberantas
pelacuran masih dilakukan setengah hati, bahkan cenderung dibiarkan, seperti
saat ini. Sebagai bangsa yang berketuhanan, upaya memberantas pelacuran harus
terus dilakukan karena pelacuran sangat merendahkan martabat manusia, khususnya
kaum wanita. Pelacuran harus ditekan sampai titik terendah, bahkan sampai
angka nol, sebagai tanggung jawab moral bangsa yang beradab.
Sebagai penutup tulisan ini,
kita bisa membuka kedok mereka yang menentang penutupan lokalisasi. Sesungguhnya
ada alasan yang selama ini ditutupi: pelacuran adalah bisnis yang menggiurkan!
Nilai transaksi pelacuran per bulan berkisar Rp 5,5 triliun dengan asumsi jumlah
WTS di Indonesia sekitar 193.000-272 ribu orang (Biro Riset Infobank, 2012).
Transaksi pelacuran selalu cash sehingga
bisnis laknat ini selalu menghasilkan dana segar. Karenanya, banyak pihak
yang berkepentingan untuk melanggengkannya. Nauzubillahi min zalik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar