Jumat, 13 Juni 2014

Catatan tentang Distribusi Pendapatan

Catatan tentang Distribusi Pendapatan

Udi H Pungut  ;   Peneliti pada Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA)
KOMPAS,  11 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DISTRIBUSI pendapatan yang makin timpang menjadi catatan buruk perkembangan ekonomi selama era Reformasi. Headline Kompas (4/4/2014) mengingatkan kita akan hal itu. Pemerintah boleh jadi belum cukup melakukan fungsi redistribusi dan atau kebijakan yang dilakukan tidak terlihat dampaknya.
Selama era Reformasi telah terjadi peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan secara konsisten. Pada 2013, indeks Gini—ukuran ketimpangan distribusi¬—mencapai 0,41, tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia. Indeks Gini naik 10 poin dari 0,31 pada tahun 1999.

Kecenderungan itu tentu membuat miris, terlebih lagi itu terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak terlalu tinggi.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa pemerataan pendapatan itu penting. Pertama, seperti dilaporkan IMF (2014), ”ada bukti makin kuat bahwa ketimpangan pendapatan yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan stabilitas perekonomian”.

Kedua, ketimpangan yang terlalu tinggi memperbesar peluang terjadinya kriminalitas, kerusuhan sosial, dan ketidakstabilan politik. Ketiga, berkaitan dengan rasa keadilan: distribusi merata sempurna mustahil terjadi, tetapi ketimpangan yang membesar mengindikasikan perekonomian makin jauh dari keadilan.

Masalah pengukuran

Untuk dimaklumi, ketimpangan bersifat relatif dan hampir dipastikan akan selalu terjadi. Ketimpangan dapat saja naik walaupun pendapatan penduduk miskin naik pula. Sebaliknya, penurunan pendapatan penduduk miskin tidak selalu menyebabkan ketimpangan meningkat. Distribusi pendapatan yang makin timpang tidak serta-merta berarti telah terjadi proses pemiskinan atau kegagalan program keluar dari kemiskinan.

Mereka yang serius mengamati distribusi pendapatan akan menyadari bahwa metodologi yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur ketimpangan menimbulkan dua akibat penting. Pertama, ketimpangan yang dilaporkan cenderung rendah (underestimate). Kedua, perkembangan ketimpangan dapat menciptakan ”sinyal palsu”: subsidi bagi kelompok miskin tidak berguna bagi pemerataan.

Seperti diketahui, BPS mengukur indeks Gini berdasarkan pengeluaran rumah tangga. Data pengeluaran dianggap lebih akurat daripada data pendapatan, dan lebih andal (reliable) sebagai ukuran kesejahteraan rumah tangga.

Masalahnya, rasio tabungan pada umumnya naik sejalan dengan peningkatan pendapatan. Orang miskin cenderung mengeluarkan semua pendapatannya untuk konsumsi. Sementara pada orang kaya, makin besar pendapatan yang ditabung. Ini yang menyebabkan tingkat ketimpangan akan cenderung rendah.

Manfaat subsidi atas barang dan jasa tidak akan ”terlihat” pada distribusi pendapatan yang diukur dengan data pengeluaran. Subsidi yang dimaksudkan untuk mengurangi beban penduduk miskin tentu akan memperkecil pengeluaran mereka. Perluasan program beras miskin, pelayanan kesehatan, dan pendidikan gratis dapat mengakibatkan ketimpangan makin tinggi.

Catatan di atas tentu saja bukan pemaafan atas peningkatan ketimpangan yang terjadi selama ini. Patut diduga, balas jasa atas faktor produksi yang dimiliki orang kaya (aset keuangan dan modal) naik lebih cepat daripada kenaikan upah dan keuntungan usaha kecil dan informal.

Subsidi dan transfer yang diberikan kepada penduduk berpendapatan rendah tampaknya tidak dapat menutup kesenjangan itu.

Skema redistribusi

Ketimpangan pendapatan terjadi karena ketimpangan kepemilikan dan perbedaan harga faktor produksi. Reformasi agraria adalah satu bentuk pemerataan aset, dalam hal ini lahan pertanian.

Dengan redistribusi lahan, pendapatan petani menjadi lebih merata. Sayangnya, kebijakan itu dapat menimbulkan biaya efisiensi berupa penurunan produktivitas sektor pertanian secara keseluruhan.

Dari sisi harga faktor produksi, kenaikan upah minimum akan membuat distribusi pendapatan lebih merata. Risiko penurunan penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkannya mungkin tidak sebesar yang kita duga sehingga resistansi terhadap kebijakan upah minimum makin berkurang.

Dalam jangka panjang, pemerataan kualitas sumber daya manusia tentu lebih penting untuk pemerataan pendapatan. Itu dapat dilakukan melalui subsidi biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.

Jika perlu tindakan ”revolusioner”, yang dapat dilakukan adalah mencabut subsidi BBM dan mengalokasikannya untuk subsidi yang mempunyai dampak distributif. Pembangunan infrastruktur pertanian adalah di antaranya. Akankah pemerintah yang akan datang berani membuat kebijakan yang tidak populer itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar