Isu
Babinsa di Pilpres
Kiki
Syahnakri ; Ketua Badan Pengkajian Persatuan
Purnawirawan Angkatan Darat
|
KOMPAS,
11 Juni 2014
Minggu
lalu, media nasional diramaikan berita teguran Presiden SBY kepada pimpinan
TNI-Polri karena ada indikasi keberpihakan anggota kedua institusi penting
itu dalam pemilihan presiden. Sehari kemudian, berawal dari laporan sebuah
media online, merebak isu bintara pembina desa (babinsa) melakukan pendataan
penduduk serta berusaha menggiring masyarakat untuk memilih pasangan
capres-cawapres tertentu. Jauh sebelumnya Presiden SBY ataupun pimpinan TNI
sudah berkali-kali menekankan agar TNI-Polri bersikap netral dalam pileg
maupun pilpres.
Secara
geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan sumber daya alam amat
melimpah. Secara demografis, selain berpenduduk besar (nomor empat terbesar
di dunia), juga memiliki keanekaragaman yang amat luas dalam berbagai dimensi
kehidupan seperti ras/etnik, agama, bahasa, adat istiadat, sosial, ekonomi,
dan lain-lain.
Dengan
ciri keindonesiaan seperti itu, ada dua pekerjaan rumah (PR) akbar yang harus
dilakukan bangsa Indonesia. Pertama, upaya mewujudkan ”integrasi internal”
agar dapat dicapai tingkat kohesivitas tinggi, ditandai oleh harmoni dalam
keanekaragaman. Kedua, upaya mewujudkan ”adaptasi eksternal” agar mampu
melakukan berbagai pembaruan dan modernisasi, serta membina hubungan
internasional yang damai, saling menghargai/ menguntungkan.
TNI
seharusnya jadi garda terdepan dalam upaya mewujudkan PR pertama serta turut
mengawal proses PR kedua, sesuai jiwa Saptamarga serta tugas pokoknya, yakni ”Menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia”.
Untuk
itu, TNI mutlak harus bersikap netral dalam politik praktis, melindungi semua
golongan politik dalam melakukan kewajiban politik sesuai UU. Sikap ini
sejalan pendapat Eliot Cohen bahwa peran ideal militer adalah melindungi orde
politik dan sosial tanpa masuk ke dalam ranah politik praktis. Pelanggaran
atas kaidah ini tak hanya mencederai institusi TNI, tapi juga membahayakan
keutuhan bangsa dan negara. Perlu pula jadi perhatian apa yang dikatakan
Samuel Finer bahwa yang membuat militer berbeda (dari institusi lain) adalah
organisasinya yang didesain sebagai kekuatan yang kokoh, solid, dan unggul
untuk bekerja seefisien mungkin kapan saja negara membutuhkan. Karena
kapasitasnya itu, militer tak jarang disalahgunakan demi kepentingan
tertentu, kelompok tertentu, untuk tujuan tertentu.
Posisi purnawirawan
Purnawirawan
TNI adalah warga sipil biasa sehingga hak politiknya tak beda dengan warga
sipil lain, halal untuk berkiprah dalam ranah politik praktis, bahkan jadi
pengurus atau penggiat parpol sekalipun. Namun, harus dipahami bahwa ketika
seorang prajurit TNI diwisudapurnawira, ia hanya pensiun dari anggota TNI
aktif, jiwa Saptamarga-nya (khusus marga pertama sampai keempat) tidak pernah
dilepas. Kredo TNI itu harus tetap melekat sebagai ”jiwa” dan kepribadiannya.
Kewajibannya sebagai bhayangkari negara dan bangsa baru berakhir ketika salvo
mengiringinya ke liang lahat.
Artinya,
kendati seorang purnawirawan sudah beralih fungsi jadi politisi dan jadi
pendukung salah satu capres-cawapres, kewajibannya untuk memelihara keutuhan
bangsa dan negara yang amat strategis tetap harus diusungnya, bahkan harus
lebih diprioritaskan ketimbang kewajiban untuk pemenangan pilihan politiknya
yang hanya merupakan kepentingan kelompok dan berjangka pendek.
Purnawirawan
dalam parpol harus jadi penggerak untuk berpolitik dengan beretika. Dalam
berkampanye harus memberikan contoh elegan, tak menyerang lawan politik
dengan menohok masalah pribadinya, tetapi seranglah yang jadi visi-misinya.
Isu babinsa
Harus
diakui, pada masa Orde Baru, babinsa telah jadi ujung tombak mesin politik
Golkar dalam jangka waktu yang cukup lama untuk kepentingan kekuasaan, bukan
untuk kepentingan pertahanan yang menjadi tugas aslinya. Karena itu, patut
dipahami kalau kecurigaan atas perilaku babinsa dalam Pilpres 2014 ini masih
belum juga hilang.
Namun, dalam kasus
ulah babinsa seperti yang santer diberitakan akhir-akhir ini, seyogianya
semua pihak hati-hati dan jangan keburu mengambil kesimpulan sepihak karena
masalah ini belum benar-benar jelas. Percayakan kepada Bawaslu dan TNI dalam
melakukan pengusutan, dengan syarat harus dibuka akses luas bagi perwakilan
kedua kubu pasangan capres-cawapres serta media untuk turut memantau jalannya
pengusutan.
Kapuspen TNI Mayjen Mochammad
Fuad Basya dalam wawancara di salah satu stasiun televisi, 7 Juni,
menjelaskan, babinsa yang dicurigai telah ditahan dan diinterogasi di Kodam
Jaya, tapi sejauh ini tak ada indikasi yang bersangkutan melakukan kegiatan
seperti dituduhkan. TNI berkeinginan mempertemukan babinsa itu dengan Mr X di
hadapan Bawaslu agar isu ini jadi jelas dan menenteramkan publik, tetapi
menurutnya Mr X sampai saat ini belum juga ditemukan.
Terdapat
beberapa kemungkinan tendensi munculnya isu babinsa ini. Pertama, memang
benar ada oknum babinsa yang melakukan kegiatan seperti dituduhkan, tetapi
tak mungkin oknum babinsa melakukan kegiatan itu tanpa perintah atasannya.
Kedua, isu sengaja diembuskan untuk mengacaukan keadaan. Jika kemungkinan
pertama yang terjadi, hemat saya tak mungkin perintah mengalir dari Panglima
TNI atau KSAD. Rasionalnya berhulu dari penggalan garis komando di bawah
pucuk pimpinan TNI. Di atas babinsa terdapat satuan atasan: koramil, kodim,
korem, dan kodam.
Jika
demikian, bisa saja perintah merupakan pesanan salah satu pasangan
capres-cawapres. Sikap tegas TNI AD yang memberikan sanksi kepada dua anggota
babinsa yang dianggap melakukan pelanggaran disiplin tugas dan wewenangnya
memang sudah sepantasnya diambil.
Apa pun
yang terjadi, Panglima TNI dan semua kepala staf angkatan harus bertanggung
jawab atas tegaknya netralitas TNI. Untuk itu, setiap perintah (sesuai
jenjang organisasi) harus diberikan dengan jelas dan tegas, harus diyakini
bahwa makna perintah tersebut dipahami dengan benar oleh semua prajurit.
Dalam tradisi militer (universal) setiap prajurit yang menerima perintah
harus mengulangi isi perintah tersebut untuk meyakinkan bahwa dia telah
memahaminya. Selain itu, fungsi kontrol harus dilakukan secara ketat. Dalam
melaksanakan tugas ini, adagium ”tidak
ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandan”, harus selalu
menjadi pegangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar