Rabu, 18 Juni 2014

Capres dan Rezim Ekstraksi

Capres dan Rezim Ekstraksi

Siti Maemunah ;   Badan Pengurus Jatam dan Peneliti Sajogyo Institute
KOMPAS,  18 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PADA 2 Juni, di tengah hiruk-pikuk pengundian nomor urut capres, secarik surat dari Samarinda, Kalimantan Timur, dilayangkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat itu mengadukan kematian delapan anak usia belasan tahun di lubang tambang batubara di Samarinda dalam tiga tahun terakhir tanpa penyelesaian hukum. Belum ada tanggapan dari Presiden. Namun, sepertinya daftar korban itu masih akan bertambah jika capres yang menang Pilpres 2014 masih meletakkan sumber daya alam semata sumber ekstraksi dan komoditas global penghasil devisa.

Sejak Orde Baru berkuasa,  Indonesia jadi ruang akumulasi kapital yang menjadikan Tanah Air sebagai sumber ekstraksi bahan mentah bagi korporasi- korporasi raksasa dan bank-bank pendukungnya. Juga pasar raksasa (captive market) bagi  produk mereka, mulai dari produk pangan,  elektronik, hingga otomotif. Soeharto berkuasa selama 32 tahun ditopang rente dari ekstraksi ragam komoditas sumber daya alam, mulai dari ekstraksi hutan,  laut, hingga pertambangan.

Rezim ekstraksi

Booming kayu di Kaltim merupakan  jejak rezim ekstraksi 1967-1980. Sebanyak 25 persen total produksi kayu didapat dari menebang hutan tropis Kaltim yang memasok 50 persen ekspor kayu gelondongan pada 1970. Sekitar 30 persen dari 89 proyek investasi hutan berada di sini, yang sebagian pemiliknya adalah kroni Soeharto.

Sosiolog Paul K Gellert (2010) menyebut Indonesia kala itu dalam kekuasaan rezim ekstraktif hingga rezim Soeharto runtuh. Inilah sebuah rezim pemerintahan yang ditopang struktur elite-elite berwatak pemangsa (predatory) dan bekerja melalui ekstraksi beragam komoditas sumber daya alam.

Jatuhnya Soeharto pada 1998 mengubah sistem pemerintahan Indonesia yang sentralistik jadi desentralisasi, tapi tak sertamerta mengubah kuasa rezim ekstraksi. Desentralisasi hanya didominasi tuntutan pembagian wewenang dan keuntungan yang lebih besar ke daerah. Tuntutan pemulihan krisis ekologi dan sosial yang diakibatkan rezim ekstraksi masa Orde Baru yang disuarakan para korbannya sama sekali tak didengar.

Masa otonomi daerah membuat Indonesia dikenal sebagai negara yang lebih demokratis melalui pemilihan langsung para penguasa pusat dan daerah. Sistem politik yang semula dimonopoli Partai Golkar bergeser menjadi oligarki. Banyak partai baru, tetapi penguasanya tetap aktor-aktor lama.

Sistem politik dan beragam produk kebijakan yang dilahirkan kemudian terbukti terus menopang  menguatnya rezim ekstraksi. Termasuk amandemen UU Kehutanan tahun 1999, lebih tahun lalu, yang  melancarkan alih fungsi hutan lindung menjadi tambang terbuka.

Jika era Soeharto Kalimantan Timur jadi salah satu pusat ekstraksi kayu dan tambang emas,  kini setelah industri kayu runtuh dan minyak bumi mulai menipis daerah ini berganti menjadi pusat pengerukan batubara dan perluasan kebun sawit. Rezim ekstraksi yang berkuasa hanya mengganti jenis komoditas yang diekstraksi sesuai permintaan kapital dan pasar global.

Mereka mereorganisasi dirinya melalui kewenangan daerah mengeluarkan izin usaha, khususnya pertambangan. Total izin pertambangan meningkat 11 kali lipat, menjadi lebih dari 11.000 izin dalam 13 tahun terakhir.

Perizinan tak lagi jadi alat kontrol (regulate), tetapi menjadi alat transaksi, yang naik jumlahnya sebelum atau sesudah pemilu kepala daerah. Izin tambang di Kaltim yang jumlahnya di bawah angka 100 pada masa Soeharto kini mencapai 1.488 izin (Jatam Kaltim, 2014). Lahan-lahan produktif di kawasan perbukitan, termasuk hutan dan lahan pertanian pangan, dibongkar menjadi tambang batubara. Sementara lahan pertanian di bagian lebih rendah kurang produktif karena dihajar banjir akibat pertambangan.

Rezim ekstraksi ini disokong legitimasi ekonomi global yang berujung pada klaim ekstraksi itu memberi kesejahteraan kepada publik. Klaim yang sejak lama gagal mendapatkan pembenaran. Terbukti meski angka pertumbuhan ekonomi kita di atas 5 persen dan jumlah orang kaya dikabarkan naik, utang Indonesia terus membengkak. Jika ditotal dengan surat berharga negara, utang Indonesia kini mencapai Rp 2.422,87 triliun  dengan cicilan utang pagu 2014 mencapai Rp 368,981 triliun (Dekrit Rakyat, 2014).

Pangan kita makin bergantung  pada pangan impor. Jumlah petani dan nelayan berkurang karena beralih mata pencaharian informal, sementara  jumlah penduduk miskin juga naik.

Jalan baru

Sayangnya, visi-misi capres pada Pilpres 2014 sepertinya tak mau beranjak dari jejak kuasa rezim ekstraksi. Misalnya, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan memperbanyak jumlah pengusaha pertambangan nasional, sementara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akan mendorong pertambangan yang ramah lingkungan dan sosial.

Kedua capres ini gagal mengenali masalah dan mengabaikan watak pemangsa rezim ekstraksi  yang selama ini meninggalkan ongkos tak terhitung. Bukan itu saja, semua itu harus ditanggung penduduk lokal bersama rusaknya bentang lahan, hilangnya keragaman hayati, pencemaran lingkungan, dan konflik agraria berkepanjangan.

Nadia, murid perempuan kelas V SD di Samarinda—korban kedelapan yang meninggal karena tenggelam di lubang tambang batubara—adalah sebagian kecil ongkos tersebut. Kini ada 150 lubang tambang yang tak diurus bertebaran di ibu kota Kaltim itu sejak  71 persen wilayah kotanya menjadi konsesi pertambangan.

Pemerintahan ke depan mestinya mulai meninggalkan rezim ekstraksi ini dan  menempuh jalan baru. Jalan itu tak lain adalah memilih ekonomi yang lebih berkelanjutan, mandiri, dan mengutamakan keselamatan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar