Pilihan
Politik Warga NU
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
JAWA
POS, 22 April 2014
MOHAMMAD
Qodari dari Lembaga Survei Indo Barometer menyatakan bahwa dari sekitar 185
juta pemilih, 33 persen menyatakan diri sebagai warga NU dan 7-9 persen
menyatakan diri sebagai warga Muhammadiyah. Ini berarti warga NU yang memilih
PKB tidak sampai 30 persen.
Hal itu
wajar karena pada Pemilu 2009, angka untuk warga NU hampir 40 persen dan pada
sekitar 2002, menurut PPIM Ciputat, angka itu sekitar 42 persen. Berarti pada
Pemilu 1999 jumlah warga NU sekitar 42 persen dan yang memilih PKB 12,61
persen, sehingga warga NU yang memilih PKB sekitar 30 persen. Pada Pemilu
1955 pemilih partai NU mencapai angka di atas 18 persen. Kalau warga NU
sekitar 42 persen, warga NU yang memilih Partai NU pada 1955 sekitar 40
persen.
Pada
Pemilu 1971 partai NU mencapai jumlah pemilih sekitar 18,68 persen dan
(Parmusi) Partai Muslimin Indonesia mencapai jumlah suara 5,36 persen. Pada
1973 partai-partai Islam didorong untuk bergabung ke dalam PPP (Partai
Persatuan Pembangunan), yang unsur utamanya adalah NU. Setelah Muktamar NU
1984 menyatakan bahwa NU tidak punya hubungan organisatoris dengan partai apa
pun, banyak tokoh NU aktif dan menjadi caleg mewakili Golkar. Dengan
sendirinya, warga NU banyak yang memilih Golkar dan juga memilih PPP.
Data di
atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah umat Islam yang mengaku
sebagai warga NU: sekitar 42 persen pada 2002, mendekati 40 persen pada 2009
dan sekitar 33 persen pada 2014. Jumlah warga NU yang memilih partai NU dan
partai yang dianggap sebagai partainya NU juga mengalami pasang surut. Yang
terburuk adalah capaian pada Pemilu 2009 (4,95 persen) saat Gus Dur baru saja
keluar dari PKB dan ada istilah PKB Muhaimin dan PKB Gus Dur. Capaian 2014
adalah prestasi besar Muhaimin dkk ditambah dengan kembalinya warga PKNU,
kembalinya warga PKB Gus Dur, peran Rhoma Irama, Mahfud M.D., dan KH Hasyim
Muzadi, naik lebih dari 80 persen dibanding 2009.
Prestasi
itu tentu harus dipertahankan, bahkan kalau bisa ditingkatkan karena sebagian
besar warga NU sudah menerima kenyataan bahwa PKB adalah wadah penyaluran
aspirasi politik NU. Tentu harus diakui bahwa banyak warga dan tokoh NU masih
aktif dan memilih partai lain, seperti PPP, Partai Golkar, dan Partai
Demokrat.
Prestasi
puncak NU di bidang politik adalah saat menjadi partai NU dan menjadi
pemenang ketiga Pemilu 1955. Prestasi kedua adalah Pemilu 1999. PKB sebagai
partai yang didirikan tokoh-tokoh PB NU menjadi pemenang ketiga dan meraih
12,61 persen suara. Selain itu, PPP yang mempunyai banyak tokoh NU di
berbagai daerah memperoleh 10,71 persen jumlah suara. Prestasi terbesar 1999
adalah terpilihnya Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI.
Apakah
prestasi NU di bidang politik akan bisa terus meningkat di masa depan? Kalau
melihat capaian kini adalah separo dari prestasi pada 1955 dan juga masih di
bawah capaian pada 1999, jelas potensinya cukup besar. Tetapi, bukan hal yang
mudah untuk mewujudkannya. Partai politik itu rentan konflik. Contohnya
banyak sekali. Terakhir adalah konflik PPP yang seharusnya tidak perlu
terjadi kalau semua pihak mampu menahan diri. Konflik internal PKB pada 2005
dan 2008 belum selesai pemulihannya dan harus dicegah munculnya konflik baru.
Fakta
mutakhir menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia membutuhkan tokoh
untuk bisa berkembang. Partai Demokrat tidak akan menjadi pemenang pertama
Pemilu 2009 tanpa SBY. Partai Gerindra tidak akan mencapai prestasi seperti
saat ini kalau tidak ada Prabowo. PDI Perjuangan, walaupun mengusung nama
besar Bung Karno, tidak akan bisa menjadi pemenang Pemilu 2014 tanpa
keteguhan sikap Megawati. PKB mencapai puncaknya saat ada Gus Dur di
dalamnya.
Ada dua partai
politik di Indonesia yang mengandalkan organisasi bukan tokoh, yaitu Partai
Golkar dan PKS. Walau tokoh-tokoh Partai Golkar mendirikan partai baru,
partai tersebut tetap bagus hasilnya mulai Pemilu 1999 sampai Pemilu 2014.
Kalau kedua partai itu punya tokoh yang hebat, prestasi partai akan lebih
meningkat. PKB tidak punya pilihan lain kecuali mengandalkan sentimen
ke-NU-an dan banyak calegnya menjual nama Gus Dur walau ada protes dari
keluarga. Ideal sekali kalau Muhaimin bisa mendekati keluarga dan pengikut
Gus Dur. Untuk itu diperlukan mediator.
Kalau
ambang batas 3,5 persen jumlah suara pemilih sebagai syarat minimum
keberadaan partai di DPR dinaikkan sampai angka yang cukup tinggi, katakan
7,5 persen, jumlah partai akan berkurang, termasuk partai (berbasis massa)
Islam. Kalau memakai jumlah suara hasil quick-count
Pemilu 2014, cukup banyak partai yang tidak bisa bertahan: Partai Hanura,
PPP, Partai Nasdem, dan PKS. Tentu partai-partai tersebut tidak akan tinggal
diam dan berjuang untuk bertahan.
Tidak
banyak partai yang punya tokoh layak jual dalam pemilihan presiden. Karena
itu, muncul tokoh-tokoh dari luar partai. Terjadi pergeseran dalam mencari
calon presiden. Dalam Pilpres 1999, yang maju dalam pemilihan adalah ketua
umum partai (PDIP) dan ketua umum ormas Islam (PB NU). Pada 2004, para calon
yang tampil adalah ketua umum partai, jenderal purnawirawan, (mantan) tokoh
ormas Islam, dan pengusaha. Pada 2009 yang muncul adalah jenderal
purnawirawan, ketua umum partai, dan mantan menteri.
Tokoh ormas
(NU) yang pada 1999 dan 2004 tampil sebagai capres/cawapres, mulai 2009 tidak
lagi tampil. Artinya, posisi pimpinan ormas Islam hanya akan berarti dan
punya nilai jual kalau tokohnya diterima oleh masyarakat. Bukan jabatan di
dalam ormas terkenal yang dilihat masyarakat untuk bisa ditampilkan sebagai
capres/cawapres, tetapi siapa orangnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar