Jangan
Amputasi KPK
Adnan Pandu Praja ; Wakil Ketua KPK
|
KOMPAS,
22 April 2014
TELAH
banyak upaya melemahkan KPK sejak didirikan: kriminalisasi, mempersulit
kebutuhan anggaran pembangunan gedung, dan lain-lain.
Upaya
pelemahan paling sistemik tecermin dalam revisi KUHP dan KUHAP, antara lain
karena para perancang kedua revisi itu telah mengabaikan hal mendasar
berikut.
Undang-Undang
KPK (Nomor 30 Tahun 2002) mengamanatkan agar KPK jadi mekanisme pemicu, model
proses penegakan hukum bagi Kepolisian dan Kejaksaan di bidang pemberantasan
korupsi. Dalam 10 tahun usianya, KPK sudah memenjarakan 396 koruptor sampai
tingkat MA, 100 persen conviction rate.
Kisah sukses ini semestinya rujukan dalam merancang kedua revisi.
Pertama,
penyelidikan. Inilah fase paling menentukan dibandingkan dengan penyidikan
dan penuntutan karena KPK tidak bisa memberhentikan kasus pada tahap
penyidikan (SP3). Sebab utama ialah bahwa pada fase penyelidikan, KPK tak
dapat menggunakan upaya paksa seperti menahan dan menyita. Dibutuhkan
kolaborasi intensif antara auditor, penyidik, penuntut, dan profesi lain
menemukan dua alat bukti yang cukup.
Peran
auditor amat menonjol dalam memahami bisnis pengadaan maupun perizinan,
khususnya bila berkaitan dengan persoalan akuntansi. Pola kolaborasi ini tak
dimiliki penegak hukum lain. Tahap berikutnya, penyidikan, sesungguhnya hanya
untuk merangkai hubungan antara alat bukti, pelaku, dan saksi-saksi supaya menjadi
kisah utuh.
Kedua,
kewenangan menyadap sangat bermanfaat dalam operasi tangkap tangan kasus ikan
kakap, seperti suap-menyuap di MK, kasus Hambalang, dan kasus sapi
berjenggot. Tanpa penyadapan hampir mustahil patgulipat di pusat kekuasaan
dapat dibongkar habis.
Ketiga,
forum ekspose terbatas sebagai bentuk keterbukaan yang sangat dibutuhkan
dalam mencegah intervensi, penyimpangan proses pemeriksaan, dan forum
evaluasi agar kasus tidak jalan di tempat. Publik akan memantau perkembangan
penanganan kasus dan mengkritik ketika kasus berpotensi menyimpang.
Akibatnya, hakim akan sangat berhati- hati dalam menyidangkan dan memutus
kasus korupsi yang berasal dari KPK. Bandingkan dengan jalannya persidangan
dan putusan kasus korupsi yang bukan berasal dari KPK.
Audit kinerja oleh BPK
Pasal 20
(2) UU KPK mengamanatkan agar KPK diaudit keuangannya dan kinerjanya. Awal
Januari 2014 BPK sudah menye- rahkan kepada DPR Laporan Hasil Audit atas
Kepatuhan Kinerja Penindakan KPK terhadap SOP sebagai Penjabaran dari UU KPK
dan UU KUHAP. Kesimpulan audit BPK menyatakan bahwa penindakan KPK sejak
pengaduan sampai penuntutan telah tepat dan konsisten sesuai dengan prosedur.
Nyaris sempurna kendati terdapat beberapa rekomendasi yang harus dilaksanakan
KPK se- mata-mata karena keterbatasan SDM.
Hasil
audit BPK telah membuktikan kepada bangsa Indonesia bahwa independensi KPK
dari intervensi pemerintah, DPR, dan kekuatan mana pun membuat KPK selalu
berhasil menjebloskan koruptor ke tahanan. Kolaborasi auditor, penyidik, jaksa,
dan profesi lain adalah cara jitu membongkar kejahatan state capture corruption. Penyadapan adalah kewenangan yang
sangat bermanfaat untuk dapat mengungkap kasus besar di pucuk kekuasaan.
KPK
sebagai produk reformasi telah menjadi institusi yang solid dengan ritme
kerja yang konstan meski terjadi tiga kali pergantian pemimpin dan menghadapi
masa sulit, seperti kriminalisasi. Transparansi kinerja penindakan telah
menuai dukungan masyarakat luas yang menjadi garda penyelamat KPK di masa
sulit. Terbantahnya pandangan bahwa KPK tebang pilih dan menargetkan kelompok
tertentu saja.
Argumen
paling menonjol dalam merevisi KUHAP dan KUHP adalah perlindungan HAM
tersangka korupsi dari penyalahgunaan wewenang oleh KPK dengan merujuk pada
pola pemeriksaan di sejumlah negara maju. Para perumus revisi KUHAP dan KUHP
telah mengabaikan faktor instrumen, struktur, kultur, serta Indeks Persepsi
Korupsi negara tempat studi banding jauh lebih baik dari Indonesia. HAM
tersangka korupsi selalu berhadapan dengan HAM mayoritas masyarakat korban
korupsi. Perlindungan hak koruptor secara berlebihan mengakibatkan
terabaikannya hak mayoritas korban kejahatan korupsi berupa hak ekonomi,
sosial, dan budaya.
Korupsi
jadi kejahatan dunia dengan lahirnya Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC)
yang diratifikasi dengan UU No 7/2006. Indonesia baru merealisasi sepertiga
dari instrumen pemberantasan korupsi yang diatur dalam UNCAC
dengan
dibentuknya KPK, UU Tindak Pidana Korupsi, dan TPPU.
Kami
belum mengatur korupsi di sektor swasta dan lain-lain. Namun, KPK telah menginspirasi
dunia melalui Kusala Ramon Magsaysay dan jadi kebanggaan anggota DPR dan
presiden dalam forum internasional. Sangat kontradiktif dengan penghargaan
terhadap KPK di dalam negeri.
Boleh
dibilang KPK produk reformasi yang dapat diharapkan menyelamatkan Indonesia.
Mekanisme pemicu seharusnya dimaknai sebagai laboratorium pemberantasan
korupsi dengan menggunakan instrumen, struktur, dan kultur asli Indonesia.
Sepuluh
tahun cukup membuktikan bahwa kita dapat memberantas korupsi dengan cara
Indonesia, sebagaimana dibuktikan dengan seluruh putusan MA dalam perkara
tipikor yang berasal dari KPK dan Hasil Audit Kinerja BPK. Apa pun isi KUHP dan KUHAP yang mengabaikan MA dan BPK
sehingga KPK teramputasi diyakini akan dibatalkan oleh MK. Pendulum keadilan
ditentukan kemauan politik pemerintah dan DPR memberantas korupsi di pusat
kekuasaan. Mau kembali ke Orde
Baru? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar