Pileg
dan Serangan Fajar
Lampita Miftahul Jannah ; Peneliti pada Center
for Social Economic and Humanity Studies (CSEHS) Sosiologi UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
05 April 2014
Aksi penolakan terhadap praktik
politik uang (money politics) oleh
Gerakan Masyarakat Anti Politik Uang (Gemang) di Yogyakarta beberapa hari
lalu setidaknya patut diapresiasi. Mereka menyuarakan penolakan secara
lantang terhadap praktik money politics pada Pemilihan Umum Legislatif
(Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Pileg dan pilpres bagi mereka
sejatinya harus bersih dari praktik money
politics sebab itu akan mencederai proses demokratisasi di negeri ini.
Pesta pileg yang akan berlangsung pada 9 April nanti mau tidak mau harus kita
lindungi dan jaga bersama dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Sebab,
tidak menutup kemungkinan praktik money
politics dijadikan sebuah alternatif politik instan para kandidat untuk
memperebutkan suara di tengah sempitnya ruang dan menipisnya kuota.
Praktik terselubung ini sering
menjelma menjelang detik-detik euforia pelaksanaan pemungutan suara. Suara
massa dibeli dan dihargai dengan harga yang tak cukup menjanjikan bagi kehidupan
jangka panjang. Begitulah cara- cara hitam caleg mempermainkan suara rakyat
dengan kantong tebalnya.
Money
politics selalu dijadikan alternatif guna mendapatkan partisipasi publik dan
memobilisasi dukungan. Bahkan, lebih ironisnya lagi, mereka berani membagi-bagikan
uang menjelang pelaksanaan. Tindakan demikian yang sering kita sebut dengan
serangan fajar.
Serangan fajar
Istilah serang fajar kiranya
sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Ia merupakan sebuah
tindakan pendekatan terhadap pemilih yang dilakukan oleh caleg dan tim
suksesnya pada malam atau saat fajar menjelang pemungutan suara. Tindakan
demikian dilakukan dengan sembunyi-sembunyi mendekati konstituen.
Biasanya
dilakukan oleh golongan caleg bermental pragmatis yang frustrasi menghadapi
panasnya suasana politik karena saking banyaknya lawan tanding.
Sehingga, mereka berlomba-lomba
bukan dalam arti fastabiqul khairat
guna merumuskan program pemberdayaan bagi kualitas hidup masyarakat banyak,
tetapi berjuang demi memperebutkan tampuk kekuasaan dengan tindakan kejahatan
berupa pembelian suara.
Mereka menjadikan momentum pileg
ini sebagai pertarungan "pasar bebas" di tengah kursi yang sangat
terbatas. Keterbatasan kuota menjadikan mereka tidak percaya diri sehinggga
seakan-akan harus melakukan tindakan kriminal tak bermoral.
Banyaknya caleg yang memperebutkan
kuota sejatinya menjadi pemicu pembelian suara. Ia menjadi salah satu faktor
pendorong bagi kandidat untuk melakukan praktik money politics dengan serangan fajar yang mereka lakukan. Walaupun
secara bersamaan mereka paham bahwa praktik money politics sangat dilarang undang-undang dan tidak akan
menciptakan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik.
Selain termasuk
pelanggaran, money politics
sejatinya menghilangkan tujuan nilai dari uang. Uang akhirnya tidak bernilai,
sebab ia tidak dipergunakan membantu dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
Georg Simmel dalam karya Philosophy of Money memberikan
gambaran tentang uang dan bagaimana ia harus dipergunakan. Bagi Simmel, uang
tidak selamanya menciptakan totalitas kehidupan yang sempurna dan
membahagiakan seseorang, apalagi ia disalahgunakan, tetapi ia hanya sebagai
penopang bagi masa depan.
Apabila disalahgunakan, ia akan melahirkan sejumlah
efek negatif bagi individu dan sosial (Beilharz,1996).
Money politics adalah bagian dari
penyalahgunaan terhadap uang, ia termasuk pelanggaran hukum yang hanya
menciptakan kebahagiaan sementara, bukan perbaikan bagi kualitas nasib hidup
manusia.
Waspada
Mendekati pileg yang sudah di
depan mata, strategi-strategi politik pemenangan setidaknya semakin digenjot
habis-habisan oleh para kandidat dan tim suksessnya masing-masing. Maka,
tidak ada salahnya jika kita mewaspadai terhadap praktik money poltics dan praktik hitam lainnya, termasuk serangan fajar.
Sebab, suara kita sangat berarti demi mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera
dari pada hanya ditukar dengan uang Rp 50-100 ribu yang efeknya hanya
kenikmatan sementara.
Kewaspadaan itu harus kita
bangun bersama demi menjunjung kompetisi demokrasi yang lebih bermartabat. Masyarakat
yang paham mau tidak mau harus memberi pengertian bagi pemilih awam yang
kurang paham tentang politik, sebab menjelang pileg seperti sekarang ini,
strategi-strategi money politics
kian digenjot. Strategi money politics
tersebut setidaknya meliputi tiga aspek.
Pertama, dengan cara membeli
kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung caleg lain dengan harga yang
sangat mahal. Kedua, mengutus para tim sukses turun langsung ke tengah-tengah
masyarakat untuk mencairkan dana--yang menurut mereka sebagai ongkos transportasi
sekaligus uang saku dengan jumlah uang berbeda-beda. Strategi ini sering
dilakukan oleh tim sukses untuk mengelabui pemilih netral yang belum
menentukan pilihan dan pemilih potensial (berpengaruh).
Ketiga, serangan fajar. Strategi
ini merupakan cara paling terkenal dan sering dilakukan untuk memobilisasi
massa dengan menyodorkan uang saat fajar menyingsing hari pencoblosan atau
pemungutan suara. Sasarannya tidak hanya pemilih netral dan potensial melainkan
juga calon pemilih lawan dengan menyodorkan nominal yang sangat menggiurkan
dengan harapan pendukung lawan dapat berubah pikiran dan memberikan hak
suaranya pada mereka yang memberi uang.
Strategi-strategi "politik
hitam" ini yang sejatinya harus kita waspadai bersama. Kompetisi politik
2014 harus bersih dari praktik-praktik money
politics dan bebas dari intimidasi. Masyarakat harus diberi kesempatan
untuk memilih jagoan mereka, masing-masing untuk dijadikan pemimpin tanpa
harus diiming-imingi ongkos politik, uang saku, dan pemberian sembako gratis,
sebab semua itu hanya dapat dirasakan dan dinikmati sesaat bukan perbaikan
kesejahteraan bagi kehidupan jangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar