Pemimpin
Pembangunan Pertahanan
Fahmi Alfansi P Pane ; Tenaga Ahli DPR RI
|
REPUBLIKA,
05 April 2014
Indonesia memang kekurangan radar
militer, pesawat tempur, tank tempur utama, sistem rudal pertahanan udara,
kapal perang, kapal selam, perlengkapan pelindung personel, dan sebagainya.
Indonesia juga kekurangan radar sipil, pesawat komersial, kapal angkutan,
jalan, jembatan, jaringan telekomunikasi yang aman dan berkecepatan tinggi,
dan lain-lain. Tetapi, di banding sektor lain, masalah pertahanan lebih
kompleks, sehingga solusinya bukan sekadar meningkatkan anggaran.
Masalah pertahanan lebih pelik
karena perencanaan anggaran pertahanan bersifat lebih terbatas, bahkan pada
tingkat tertentu seharusnya digolongkan sebagai rahasia negara. Pada satu
sisi, ini baik karena melindungi informasi strategis. Tetapi pada sisi lain,
ada risiko pemanfaatan ketertutupan informasi untuk kepentingan pribadi.
Masalah lain yang lebih besar
adalah belanja alat utama sistem senjata (alutsista) dan instrumen
nonalutsista tidak semudah pembelian alat-alat sipil. Anggaran besar tidak
menjamin kita dapat, lebih tepatnya boleh, membeli alutsista sesuai kebutuhan
kita. Negara produsen mempunyai kebijakan politik dan keamanan tertentu yang
memengaruhi alutsista apa yang dapat dibeli, utamanya kapabilitasnya.
Rencana pembelian pesawat F-16
Blok 52 oleh suatu negara besar di Asia Tenggara misalnya, bisa jadi
dipandang meningkatkan risiko keamanan bagi Singapura yang mempunyai pesawat
berkapabilitas sama. Negara produsen pun berkeputusan menjual pesawat F-16
Blok 25 yang berkapabilitas lebih rendah. Jangankan Indonesia yang bukan anggota
aliansi pertahanan mana pun, bahkan negara sekutu pertahanan dari negara besar
juga tidak selalu memperoleh akses teknologi dan kapabilitas sesuai
kebutuhannya.
Sebagian alutsista juga tidak
tersedia di pasar (over the counter).
Karenanya, harus dibeli setelah serangkaian negosiasi tertutup, terutama
untuk berbagai sistem persenjataannya. Beberapa alutsista diproduksi bersama,
tetapi dalam banyak kasus terjadi penundaan penyelesaian bertahun-tahun,
ketidaktepatan komitmen semua pihak akan besar investasi, perubahan politik
luar negeri, dan lain-lain. Misalnya, produksi bersama pesawat F-35 oleh AS
dan beberapa sekutu NATO.
Rencana produksi bersama pesawat
tempur KFX/IFX oleh Indonesia dan Korea juga tertunda begitu Presiden Korea
Park Geun-hye berkuasa. Saat ini, ke dua negara sepakat memproduksi bersama
kapal selam. Tetapi, perubahan lingkungan strategis di Semenanjung Korea
akhir-akhir ini dapat kembali memengaruhi keputusan para pemimpin negara.
Karena itu, presiden mendatang
sebaiknya paham urusan pertahanan, luar negeri, dan keamanan nasional yang sangat
kompleks dan dinamis, penuh ketidakpastian, dan risikonya sangat tinggi.
Kepribadian dan integritasnya
juga harus baik. Ahli strategi, dan pandai memprediksi situasi sementara
informasi sangat terbatas. Dia juga harus berdeterminasi tinggi, dan tidak
mau visinya mem bangun pertahanan dikalahkan oleh kendala regulasi, birokrasi
dan politik. Terlebih, presiden mendatang harus mampu mereduksi
ketergantungan kita akan alutsista impor, yang menurut data Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2013 mencapai sekitar 86 persen untuk TNI, dan 87,5 persen
untuk Polri.
Adapun soal anggaran pembangunan
pertahanan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengupayakannya dan
memperbaiki implementasinya dari tahun ke tahun. Dari beberapa dokumen
pemerintah terlihat bahwa pada periode tahun fiskal 2005-2009, total
realisasi anggaran Kemenhan hanya mencapai sekitar Rp 141 triliun. Namun,
pada periode kedua pemerintahan SBY, total realisasi anggaran tahun 2010-
2013, ditambah anggaran tahun 2014 mencapai sekitar Rp 334 triliun. Salah
satu terobosan Presiden SBY adalah melahirkan Keppres No 35/2011 yang
mengalokasikan dana tambahan maksimal Rp 57 triliun khusus untuk alutsista.
Sungguh pun Presiden SBY sudah
melakukan perbaikan, namun kepemimpinannya terhambat regulasi, birokrasi, dan
politik. Riset tesis penulis (2013) menemukan bahwa pelaksanaan UU No 17/2003
tentang Keuangan Negara dan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional tidak dapat mengatasi masalah kesenjangan posisi,
kewenangan, dan informasi antara menkeu, menteri bappenas, menhan, panglima
TNI dan jajarannya.
Pertemuan trilateral, sidang
kabinet hingga rapat-rapat dengan DPR sering dilakukan, tetapi keputusan
akhir tetap di tangan Menkeu. Presiden mendatang sebaiknya mengarahkan
seluruh menteri dan pejabat terkait untuk mengambil keputusan pembangunan
pertahanan secara bersama. Kolaborasi itu menciptakan kepercayaan, sehingga
anggaran yang direncanakan dan dilaksanakan akan lebih besar.
Pemimpin mendatang juga perlu
mengonsolidasikan kapabilitas pertahanan untuk operasi kemanusiaan. Indonesia
adalah negeri rawan bencana (ring of
fire). Dalam berbagai bencana alam, TNI/Polri mampu memberikan bantuan
segera. Tetapi, kita butuh kapabilitas untuk menolong lebih cepat, lebih baik
dan di tempat yang lebih banyak secara simultan. Ini diselaraskan dengan operasi
kemanusiaan ke luar negeri, termasuk ke kawasan mayoritas Muslim yang lebih
mudah percaya dengan anggota TNI/Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar