Ketimpangan
yang Mencemaskan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Penggiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
|
KORAN
SINDO, 23 April 2014
Ketimpangan
kembali menjadi isu utama. Gemuruh pembangunan selama 10 tahun terakhir
selain banyak menyia-siakan kesempatan,
ternyata juga hanya menguntungkan segelintir pihak. Ketimpangan terjadi
karena kue pertumbuhan tidak terbagi merata (untuk semua pelaku ekonomi).
Kue
pertumbuhan ekonomi selama ini lebih banyak ditopang sektor modern (non-tradable) seperti sektor keuangan,
jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran.
Pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,78% ditopang oleh sektor non-tradeable
tersebut seperti sektor komunikasi (tumbuh 10,19%). Sektor ini tumbuh di atas
ratarata nasional. Sebaliknya, sektor riil (tradable) semacam sektor pertanian(3,5%), industri(5,6%), dan
pertambangan tumbuh rendah (1,34%) tumbuh rendah (BPS, 2014).
Ketimpangan
pertumbuhan sektor tradable vs
nontradable ini memiliki implikasi serius karena terkait pembagian
kuedansurplusekonomi. Sektor non-tradable
bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir.
Sebaliknya, sektor tradable padat
tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable jauh lebih kecil dari
sektor tradable. Ini tak hanya
berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibandingkan masa
Orde Baru misalnya, tetapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh, tapi
tidak (semuanya) sejahtera. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional
pada 2013 hanya 14,4%.
Padahal,
sektor ini menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibat itu, pertanian kian
involutif yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Lebih dari
itu, pertumbuhan justru memperlebar kesenjangan: yang kaya makin kaya yang
miskin kian miskin. Ini terlihat dari meroketnya Gini Rasio: dari 0,32 pada
2004 jadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin timpang) dan awet sampai
sekarang. Ini pertama kalinya Gini Rasio masuk ketimpangan menengah (di bawah
0,4 masuk ketimpangan rendah). Sejak gemuruh pembangunan dimulai sistematis
pada 1966 tak pernah angka Gini Rasio menembus 0,4.
Artinya,
pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi: kelas menengah ke atas.
Artinya, jika kemiskinan absolut menurun (perlahan), kemiskinan relatif
meningkat. Kesenjangan ekonomi yang melebar itu menandai defisit
kesejahteraan. Apa makna semua ini? Meskipun sudah 69 tahun Indonesia merdeka
dari belenggu penjajahan, sistem perekonomian negeri ini tetap bersifat
dualistik seperti dikenali oleh Prof Boeke dalam pidato pengukuhan sebagai
guru besar pada 1930 yang berjudul: “Dualistische
Economie.” Boeke mengemukakan pengenalan tentang ekonomi kolonial di
Hindia Belanda.
Intinya
adalah tajamnya pembagian ekonomi ke dalam sektor tradisional dan sektor
modern yang saat ini kira-kira sama dengan kondisi sektor tradable vs
non-tradable. Dua sektor ini hidup bersamaan tanpa mempunyai kaitan yang satu
dengan lainnya. Inilah dua wajah asli Indonesia. Teori trickle down effect bahwa yang besar akan mengangkat yang kecil
sama sekali tidak berlaku di Indonesia. Sebaliknya, yang besar akan
mengeksploitasi yang kecil, yang oleh Bung Karno diistilahkan dengan eploitation d’lhomme par l’homme. Dua
wajah Indonesia juga bisa dikenali dari data kemiskinan. Sejak dulu
kemiskinan terkonsentrasi di perdesaan.
Pada
1976 jumlah penduduk miskin di perdesaan 44,2 juta orang atau 81,5% dari
total penduduk miskin. Lebih 35 tahun kemudian, angka ini hanya sedikit
membaik. Jumlah penduduk miskin per September 2013 mencapai 28,55 juta
(11,47%). Secara agregat kemiskinan menurun, namun persentase jumlah orang
miskin di perdesaan tetap tinggi: mencapai 62,76% (17,92 juta) dari jumlah
warga miskin. Ini fakta getir karena pembangunan justru meminggirkan warga
perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata
kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa.
Dua
wajah Indonesia lebih mudah dikenali dari kesenjangan wilayah: antara wilayah
barat vs timur. Pada 1975 kawasan barat Indonesia(KBI) menguasai 84,6% PDB
nasional dengan Jawa yang hanya 9% dari luas wilayah menguasai 46,7% PDB
nasional dan jadi tempat bermukim 63,2% penduduk Indonesia. Lebih dari tiga
dekade kemudian, pada 2013 KBI (Jawa dan Sumatera) menguasai 82% PDB nasional
dengan meninggalkan kawasan timur Indonesia (KTI) yang hanya menguasai 18%.
Supremasi
Jawa atas non-Jawa terlihat jelas: pada 2013 Jawa menguasai 58% PDB nasional
dengan tiga provinsinya (DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat) menguasai 46%
PDB nasional. Inilah dua wajah asli Indonesia. Uraian ini menunjukkan
pembangunan ekonomi Indonesia gagal menghasilkan transformasi struktural.
Secara struktural, ekonomi di Indonesia bermasalah. Sektor pertanian masih
menyerap 41% dari total tenaga kerja, sementara sumbangan PDB hanya 14,4%.
Sektor industri yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja baru jauh panggang
dari api.
Transformasi
struktural ekonomi Indonesia hanya akan terjadi bila ada kemauan membalik
arah pembangunan: dari sektor non-tradableyang bersifat padat modal,
teknologi, dan pengetahuan ke sektor tradable yang padat tenaga kerja dan
berbasis lokal. Tanpa kemauan membalik arah pembangunan, pembangunan hanya
akan menciptakan kesenjangan kotadesa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi
ekonomi perdesaan dan pertanian. Ini wajah asli kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar