Elegi
Demokrasi
Achmad M Akung ; Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Semarang
|
KORAN
SINDO, 23 April 2014
Bagi
para ilmuwan, baik ilmu alam maupun ilmu sosial humaniora, Indonesia adalah
laboratorium raksasa yang menjadi “surga” riset. Segala fenomena di negara
raksasa khatulistiwa bernama Indonesia, adalah data yang bisa dikelola untuk
pengembangan segala bidang keilmuan.
Indonesia,
juga boleh berbangga hati karena menjadi negara demokrasi plural terbesar.
Tanggal 9 April lalu, kita, bangsa Indonesia telah membuktikan diri sebagai
kampiun demokrasi. Pemilu legislatif berjalan aman dan lancar dengan angka
partisipasi pemilih yang mengagumkan, di atas 70%. Sebuah pencapaian yang
layak mendapatkan apresiasi tinggi. Pemilu legislatif yang sesungguhnya
menjadi basis bagi pemilu presiden, melahirkan euforia sukacita sekaligus
haru biru. Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, setidaknya telah
memberikan gambaran awal peta kekuatan perpolitikan menuju RI 1.
Hal yang
menarik adalah betapa “nujum” beberapa lembaga survei ternyata meleset, atau
mungkin memang sengaja diplesetkan. Partai-partai Islam yang diprediksi
bakal, meminjam pelawak Asmuni almarhum, “wassalam”
karena gagal melampaui electoral
threshold, ternyata kompak menjadi partai kelas menengah dengan perolehan
suara yang cukup besar. Bahkan, PKS yang dihajar fitnah “Fathanah Effect”, ternyata bergeming di posisi tengah. Sementara
PDIP yang sempat jemawa dengan “Jokowi
Effect” yang diyakini bisa meraup 30% suara, ternyata hanya serupa bubble effect dengan perolehan di
bawah 20%.
Kalah
dengan “Rhoma Effect” dan “Machfud Effect”-nya PKB, atau lejitan suara Partai
Gerindra. Kondisi inilah yang membuat pertarungan politik di Indonesia
semakin sengit dan pelik. Peta dan perilaku politik di masyarakat yang
multikultur, etnik yang plural, multiagama, multipartai yang sangat rumit dan
terkadang sulit ditebak itulah, yang membuat Indonesia selalu menarik untuk
dikaji. Negeri ini benar-benar menjadi surga sekaligus laboratorium politik
terbesar di dunia, tempat segala macam realita, termasuk anomali demokrasi,
bisa saja terjadi.
Demokrasi Fisiologis
Di
negeri yang rakyatnya cerdas dan sejahtera, meminjam Abraham Maslow, berada
dalam tingkatan aktualisasi diri, demokrasi mungkin menjanjikan kebaikan.
Namun apabila dihelat di sebuah republik yang kebutuhan fisiologis berupa
sandang, pangan, dan papan belum sempurna tercukupi, taraf pendidikan
sebagian besar rakyatnya memprihatinkan, maka yang akan terlahir hanyalah
sebuah “demokrasi fisiologis” yang
liberal, nyaris tanpa fatsun dan etika. Meski mungkin terasa berat, marilah
kita berkenan melihat apa yang sesungguhnya terjadi dengan demokrasi di
negeri ini.
Membaca
Indonesia, dari pemilu ke pemilu, serasa kita tengah diajak berpetualang di
tengah belantara yang nyaris bebas nilai. Terasa jelas bahwa ada sesuatu yang
salah (something wrong) dalam
sistem perpolitikan dan demokrasi di negeri kita. Demokrasi kita bukan
demokrasi filosofis yang ideal, melainkan sekedar demokrasi fisiologis.
Pemilih kita sebagian masih memilih karena pertimbangan kebutuhan fisiologis
tingkat dasar. Suara rakyat yang konon adalah suara tuhan itu, tak lebih dari
sekadar sebuah komoditas yang bisa “diijon” obral dengan murah, sekadar untuk
makan.
Celakanya,
inilah wajah demokrasi kita. Sementara calon wakil rakyat yang mengikuti
kontestasi bernama pemilu, juga mencalonkan dirinya; sebagian untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis. Mencari pekerjaan dan kekuasaan guna mencari makan.
Bukan kehendak aktualisasi diri, mewakafkan kehidupannya untuk mengabdi pada
rakyat melalu jalur parlemen. Situasi ini adalah cacat yang serius dari
demokrasi yang mendamba kebaikan dan kesejahteraan segenap rakyat (bonnum publicum).
Kita
tidak akan pernah sampai pada tujuan bernegara sebagaimana dicitakan para
founding fathers negeri ini, karena wakil rakyat yang terpilih tidak
berkualitas dan pemerintahan yang terbentuk lemah serta tunduk pada
intervensi asing. Tidak perlu terlalu cerdas untuk tahu bahwa suara golput
adalah pemenang dalam pemilu. Kondisi ini mengindikasikan distrustyang kuat
terhadap perpolitikan kita. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih
merajalela, dengan aktor para legislator dan pejabat kotor, membuat sebagian
rakyat “ilfil”, lalu apatis dan bahkan benci demokrasi.
Dibalikangka
partisipasi pemilih yang mengagumkan dalam pileg 9 April lalu, mari kita
melihat realita jauh lebih dalam. Kecurangan di pemilu semakin nekat,
dilakukan oleh pemilih, partai peserta hingga penyelenggara pemilu (KORAN SINDO, 14/4). Politik uang,
mobilisasi massa, pembodohan, propaganda, premanisme, penggelembungan, dan
manipulasi suara masih saja terjadi. Marilah berkilas balik dengankampanye
yang semestinya digelar untuk mengenalkan pemilih dengan visi misi calon
legislator dan partai pengusung.
Sayangnya,
kampanye bagi sebagian besar partai ternyata tidak lebih dari kampanye
fisiologis, ajang hura-hura kelas rendah, panggung hiburan seronok yang
mengumbar syahwat, bagi-bagiduit, tawuran, dan konvoi ingar-bingar tak tentu
arah. Di sisi yang lain, apakah para pemilih mencoblos dengan berbekal
kecerdasan dan ketajaman nurani? Tengoklah pula realita ruang batin
masyarakat kita, khususnya kelas menengah ke bawah, yang adalah populasi
terbesar negeri ini, bagaimana mereka memaknai berdemokrasi. Tanyakan kepada
mereka, berapa amplop yang mereka terima, berapa isinya, dan kepada siapa
mereka lalu memberikan suaranya.
Apakah
mereka peduli dengan kualitas caleg yang harus mengemban tugas mahaberat,
melakukan fungsi legislasi, budgeting dan mengawasi jalannya pemerintahan dan
menjaga negeri ini? Pemilu dalam alam demokrasi fisiologis, terkadang tak
lebih dari sekedar sebuah elegi. Ia menjadi “pemiluan umum”, ketika rakyat sekedar menjadi objek transaksi
demokrasi “wani piro”. Para pemilih
tetap saja pilu, berkubang dengan kemiskinan. Persis mendorong mobil mogok.
Berat dan melelahkan. Tetapi setelah mesin berbunyi, mobil berlari kencang
dengan meninggalkan kepulan asap yang menyesakkan rakyat.
Tidak
ada jaminan tentang kualitas wakil rakyat di parlemen, sementara mereka
menuntut gelimang fasilitas dan kemewahan, namun abai dan alpa mendengar
keluh-kesah rakyat. Mereka yang menang biasanya “ngedan” (menggila), menjadi
mafia anggaran, suap, korupsi, kolusi menjadi modus untuk mengembalikan modal
politik. Adapun caleg yang kalah, tekor ratusan juta hingga miliaran rupiah,
akibat mahar demokrasi yang terlalu mahal. Akibatnya, ada yang bertebal muka,
menarik kembali sogokan pembeli suara. Sebagian terganggu psikisnya,
frustrasi, stres, depresi, mengamuk, psikosis (edan), bahkan bunuh diri.
Mereka menjadi tumbal demokrasi. Sungguh memilukan.
Agenda Pencerdasan
Demokrasi
fisiologis justru terhenti sebatas pemerolehan kekuasaan yang mengabdi pada
kepentingan pribadi, dan partai politik belaka. Demokrasi direduksi menjadi
sekedar transaksi atau seni memanipulasi pemilih dengan menghalalkan segala
cara yang tanpa etika. Kemiskinan, kebodohan dan ketidakmelekan politik,
membuat rakyat gampang sekali dibodohi oleh kelicikan, janji dan angin surga
para politikus. Situasi inilah yang justru akan terus dipelihara oleh para
politisi busuk penikmat demokrasi untuk dapat memanipulasi suara konstituen
agar mereka terpilih menjadi wakil rakyat.
Dalam
konteks inilah, pendidikan politik guna mencerdaskan masyarakat agar tidak
buta politik menjadi sebuah keharusan dan kewajiban bangsa ini. Sesungguhnya
hanya dari rakyat yang cerdas sajalah kita bisa berharap keterpilihan wakil
rakyat yang juga cerdas dan bijaksana. Legislator yang benar-benar di-“drive”
oleh spirit pengabdian pada negara dan rakyat, bukan mengabdi pada
kepentingan pribadi atau menghamba pada kepentingan partai. Partai politik
dengan demikian harus segera berbenah untuk meluruskan orientasi, visi dan
ideologi menyejahterakan rakyat.
Caleg
yang diajukan semestinya cerdas, berkualitas, dan berintegritas. Bukan caleg
gagap pemilu, penunggu pohon yang gambarnya terpaku di taman-taman kota, ikut
“ngetem” di kaca angkot, bertebaran di ruang publik, menjadi sampah visual
perusak estetika lingkungan. Aturan main pemilu yang tegas dan cerdas juga
sudah semestinya ditegakkan, guna memberikan efek jera bagi para pelaku
pembusukan politik. Senyampang masih ada waktu, mari kita berbenah. Sungguh,
negeri ini akan membusuk, apabila kita tidak bersegera meliberasi diri dari
praktik politik yang jumud dan demokrasi yang kotor.
Indonesia
harus menciptakan aura politik yang lebih dewasa dan santun. Indonesia butuh
legislator yang kritis, bukan legislator narsis yang hanya bermanis muka
dalam iklan liputan media. Legislator handal yang bekerja rasional, bukan
legislator supranatural yang gemar berburu dukun dan bersemedi di gua atau
kungkum (berendam) di tempuran kali. Indonesia sungguh rindu legislator dan
pemimpin pinter yang minterke (cerdas
dan mencerdaskan), bukan minteri
(sok menggurui), apalagi ngadali
(mengadali) rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar