Kedangkalan
dalam Keberlimpahan
Budi Widianarko ; Rektor Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 23 April 2014
SAATini,
kita hidup dalam suatu masa yang paling menarik dalam perjalanan peradaban
manusia. Kita beruntung mengalami kemajuan teknologi komunikasi dan informasi
(TIK) yang luar biasa cepat. Sejak introduksi komputer pribadi kepada
kalangan terbatas di negeri ini tahun 1980- an, kini jumlah kepemilikan
peranti TIK melesat bak meteor.
Perangkat
TIK, dalam bentuk komputer pribadi, laptop, ponsel, dan tablet bukan hanya
mengalami evolusi radikal dalam bentuk dan ukuran, melainkan juga dalam
fungsi. Begitu pula perkembangan teknologi internet yang belakangan diikuti
oleh ledakan pertumbuhan media sosial dan penggunanya.
Dalam
perkembangannya, kita dikejutkan oleh kenyataan tiba-tiba Indonesia menjadi
salah satu pusat pengguna internet dan media sosial. Hampir 30 juta orang di
negeri ini adalah pengguna Twitter, menempati peringkat kelima sedunia.
Jakarta bahkan dinobatkan sebagai Ibu Kota Media Sosial Dunia (’’The Social Media Capital of the World’’).
Tahun
2013 tercatat 2,4% kicauan Twitter dunia berasal dari Jakarta. Jakarta juga
menjadi kota dengan pengguna Facebook terbanyak kedua (lebih dari 11,6 juta)
di dunia, diapit oleh Bangkok dan Sao Paulo. Angka-angka yang fantastik itu,
di satu sisi merupakan cermin kemajuan tapi bukan berarti tanpa risiko.
Kemajuan
pesat dalam konsumsi produk TIK menghadapkan penggunanya pada keberlimpahan
informasi. Dalam lingkungan sekolah dan universitas kondisi itu menghasilkan
paradoks mati ayam dalam lumbung (paradox
of plenty).
Di
lumbung informasi yang begitu melimpah para pembelajar justru ìkandasî dalam
kedangkalan. Perilaku potong dan tempel (cut
and paste), bahkan ìpencurianî sebagian atau seluruh karya orang lain (plagiarim) menjadi modus yang makin
menakutkan. Sebagai salah satu akibat dari perkembangan TIK tersebut kondisi
pembelajaran siswa dan mahasiswa sekarang memiliki ciri khas, dibanding apa
yang dialami para pendahulu mereka.
Kini
pencarian bahan pelajaran dan informasi ilmiah mengandalkan mesin pencari (search engine). Google, mesin pencari
yang paling populer di kalangan mahasiswa, sampai-sampai mendapat julukan Mbah Google. Si Mbah tersebut mampu
mencarikan informasi nyaris tentang apa saja.
Akibatnya
siswa, terutama mahasiswa, lebih banyak menenteng gadget daripada buku.
Memang lingkungan pembelajaran di sekolah dan universitas telah meninggalkan
beberapa ciri ketradisionalannya.
Reproduksi Kedangkalan
Sayang,
kemajuan teknologi informasi, sebagai wajah kekinian, telah melahirkan sebuah
paradoks. Keberlimpahan informasi ternyata hanya mereproduksi kedangkalan.
Keragaman sumber belajar (diversity of
learning resources) yang tersedia saat ini menghadirkan tantangan baru
bagi proses pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi.
Ledakan
informasi dalam jaringan atau daring
(online contents) telah
menjerumuskan para pembelajar untuk cenderung mencecap kedangkalan tanpa
mencerna kedalaman.
Bahkan
lebih parah lagi, kelimpahan informasi juga mendorong para pelaku pendidikan
atau pembelajar untuk mengambil jalan pintas, melakukan tindak plagiasi.
Joseph S Nye Jr, pereka cipta istilah softpower
10 tahun yang lalu menulis, ’’ ...an
explosion of information, one that has produced a paradox of plenty’.
Plenty of information leads to
scarcity-of attention. When people are overwhelmed with the volume of
information confronting them, they have difficulty discerning what to focus
on. Menurutnya, keberlimpahan, atau lebih tepatnya,
ledakan informasi menghasilkan sebuah paradoks mati ayam dalam lumbung. Makin
melimpah-ruahnya informasi maka makin langka perhatian yang dicurahkan.
Para
pencari informasi atau pengetahuan mengalami kesulitan untuk memusatkan
perhatian, dan hasilnya adalah kedangkalan semata. Alih-alih melakukan
pengendapan atau refleksi atas pengetahuan yang didapat, para pembelajar
digital bahkan tidak sempat untuk melakukan pembacaan secara cepat -
skimming. Mereka hanya mampu melakukan pemindaian - scanning.
Jika
kini sebagian besar orang sudah terjerumus dalam jebakan digital ini maka
beruntunglah mereka yang masih memilih cara konservatif tanpa harus
mengabaikan panggilan zaman untuk mulai merdeka dari kertas. Mengamini dalil
information is power yang ditawarkan Joseph S Nye Jr maka saat ini
keberhasilan seseorang ditentukan oleh kemampuannya untuk bisa menguasai
informasi secara mendalam.
Dengan
kata lain, mereka yang mampu bergeser pindah dari kondisi attention deficit ke attention surplus akan berhasil dalam
hidup profesionalnya. Perhatian menjadi barang langka di tengah keberlimpahan
informasi. Kemampuan untuk menguasai dan mengunyah informasi itulah yang
dikenal sebagai softpower. Inilah
tantangan dunia pendidikan kita saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar