Pilihan
Nyonya Pilatus
BS Mardiatmadja ; Pengajar di STF Driyarkara, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 23 April 2014
Jarang
seorang nyonya memainkan peran di kalangan pejabat romawi zaman kuno. Di
banyak negara masa kini, peran “ibu negara” juga jarang mencolok, walau
diakui, Angela Merkel malah merupakan satu pemimpin pemerintahan yang paling
berpengaruh di dunia sekarang.
Beberapa
waktu yang lalu, kita berkenalan dengan Margaret Thatcher, nyonya perkasa
dari London. Namun, Nyonya Pilatus dalam banyak kisah dianggap menjadi wakil
suara hati yang memilih memengaruhi keputusan Pilatus, sang suami, yang
akhirnya mengabaikan nasihat istrinya.
Pilatus
mengambil keputusan pengecut, “Hukumlah menurut hukummu.” Padahal, para
pejabat Yahudi jelas-jelas menyerahkan keputusan pada penguasa Kerajaan
Romawi, yaitu dirinya, Pilatus.
Masalahnya
dipaparkan secara rinci oleh penulis injil secara sedikit berbeda dari
beberapa penulis skenario dan sutradara film. Ada yang sekadar memperlihatkan
seorang pejabat Romawi yang mengambil pilihan berlindung di balik bahaya
kerusuhan Yahudi, yang sangat mungkin menyebabkan bos di Roma menegurnya
dengan keras.
Ada
pula yang menggambarkan pergulatan batin Pilatus antara logika hukum Romawi
(melepaskan orang “tak bersalah”) dengan cara berpikir transaksional
politikus picik (“kompromi yuridis” agar melunakkan nafsu berontak pemuka
agama fanatik).
Lainnya
lagi melukiskan personifikasi discernment politis Pilatus untuk memilih “yang
terbaik”, dengan menghadirkan Nyonya Pilatus yang menyarankan sang suami
tidak mencampurkan urusan politik dengan debat agama di lingkungan orang
Yahudi.
Dalam
discernment menurut Pilatus, pilihannya sebenarnya tidaklah sekadar antara
yang benar dan yang salah, tetapi antara “yang secara politis paling tepat”
dengan “yang secara politis tepat, secara yuridis benar, dan secara sosial
juga aman, maupun secara pribadi menenteramkan hati”.
Banyak
perempuan memang tidak menampilkan diri berlebih-lebihan, apabila pasangannya
mengambil tempat penting secara publik. Namun, kebanyakan perempuan yang
bijaksana, seperti dihidangkan di antara keturunan Ibrahim dan Musa, memilih
menjadi instansi pembanding tatkala diperlukan oleh situasi publik.
Kita
kenal perempuan yang membuka mata dan telinga, mengenai perilaku etis dan
moral para pejabat negara dan menyampaikannya kepada sang suami yang kemudian
memberi sanksi politis kepada suami-suami yang menyeleweng secara moral,
serta mungkin saja membahayakan perilaku politisnya.
Dalam
posisi itu, maupun dalam posisi seperti Margaret Thatcher atau Angela Merkel,
seorang perempuan dapat menjadi suara hati yang mengambil keputusan politis
dengan discernment yang sehat.
Dalam
konstelasi global, yang mengizinkan pendirian seakan-akan politik hanyalah
perebutan kuasa yang menipiskan pertimbangan moral. Sangat diperlukan bahwa
masyarakat memilih menciptakan pelatihan dan integrasi discernment batin di
dunia politik.
Hal
ini sangat penting saat pergulatan ketat sekitar pemilihan pemimpin negara. Discernment yang dimaksudkan adalah
kemampuan memilah pelbagai fakta, motivasi, serta tujuan perjuangan untuk
kemudian memilih cermat suatu keputusan.
Discernment
itu perlu diletakkan dalam konteks politik praktis, namun harus diterangi
kesehatan suara hati bagi kebaikan bersama (bonum commune) menuju sasaran
bersama yang diterangi cakrawala ideologi negara yang sudah disepakati
bersama. Itu adalah Pancasila dengan kerangka kerja Mukadimah UUD 1945.
Dalam
lingkup keyakinan tersebut, para perempuan dapat memilih menjadi wujud suara
hati yang mendampingi langkah-langkah pejabat publik, yang sering digambarkan
tegap dan mau tegar, namun sungguh membutuhkan kejernihan discernment yang
memperjuangkan bonum commune secara
total.
Di
situ, hak asasi manusia, kesetaraan warga negara, kesejahteraan bersama,
serta jaminan kebaikan bersama khususnya bagi yang kecil dan lemah disinari
iman pada yang mahakuasa, dihadirkan secara nyata.
Kalau
demikian, peringatan Ibu Kartini, Cut Nyak Dien, serta tokoh-tokoh lain dapat
dilakukan dengan afeksi tinggi, seraya diintegrasikan dalam pendidikan
politis yang praktis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar