Salah Paham Pemilu Serentak
Didik Supriyanto ; Ketua Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS,
24 Januari 2014
MAHKAMAH Konstitusi
akhirnya membuat keputusan bersejarah. Mulai Pemilu 2019, penyelenggaraan
pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilaksanakan serentak. Namun,
sejauh ini masih ada kesalahpahaman terkait konsep pelaksanaan pemilu
serentak tersebut.
Salah paham pertama
adalah anggapan bahwa pemilu serentak merupakan pemilu untuk memilih beberapa
jabatan yang dilaksanakan bersamaan waktunya. Maksudnya, ketika memasuki bilik suara, pemilih membawa
dua atau lebih surat suara, dan setiap surat suara menunjukkan adanya satu
jabatan yang hendak dipilih.
Anggapan itu tak sepenuhnya salah
jika ditilik praktik pemberian suara. Namun
secara konsep, pemilu serentak merupakan penggabungan pemilu legislatif dan
pemilu eksekutif dalam satu hari-H pemilihan (Lijphart: 1992, Linz and Valenzuela: 1994, Payne: 2002, Cheibub: 2007).
Jadi, kalau pemilu legislatif saja, atau pemilu eksekutif saja, lalu
digabungkan pelaksanaannya, tidak tepat disebut pemilu serentak. Itu
sebabnya, pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, atau pemilu
legislatif tidak disebut pemilu serentak. Rencana penggabungan pilkada dalam
satu hari-H pemilihan tentunya juga tak tepat disebut pemilu serentak.
Konsep pemilu serentak hanya
dikenal di negara-negara pengguna sistem presidensial. Sebab, di sini anggota
legislatif dan pejabat eksekutif sama-sama dipilih melalui pemilu. Berbeda
dengan penganut sistem parlementer, di mana hanya dibutuhkan satu pemilu
parlemen, selanjutnya parlemen mengangkat perdana menteri dan kabinet.
Salah paham kedua
yang menjangkiti para perancang undang-undang, yang kemudian diamini para
pengamat pemilu, adalah obsesi untuk menjadikan pemilu serentak sekadar cara
menghemat biaya.
Soal ini tidak perlu diperdebatkan sebab 65 persen biaya pemilu untuk
membayar honor petugas. Padahal, para petugas itu dibayar
berdasarkan event pemilu, bukan berdasarkan volume pekerjaan.
Saat ini dalam kurun lima tahun
bisa digelar tujuh event pemilu: legislatif, presiden putaran
pertama, presiden putaran kedua, gubernur putaran pertama, gubernur putaran
kedua, bupati/wali kota putaran pertama, dan bupati/wali kota
putaran kedua. Itu artinya honor petugas harus dibayarkan tujuh kali meskipun
beban pekerjaan masing-masing pemilu berbeda. Jelas sekali, kalau
pemilu-pemilu itu digabungkan jadi satu atau dua maka akan terjadi
penghematan luar biasa.
Demi efektivitas
Menghemat biaya bukanlah tujuan
utama pemilu serentak. Tujuan pemilu serentak
adalah untuk menciptakan pemerintahan kongruen, di mana pejabat eksekutif
terpilih mendapat sokongan mayoritas legislatif agar pemerintahan kuat dan
efektif. Di sinilah pemilu serentak memanfaatkan coattail effect demi mengejar
efektivitas pemerintahan sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.
Lebih jelasnya, dalam pemilu
serentak, kemenangan calon pejabat eksekutif dari Partai A cenderung diikuti
perolehan kursi mayoritas parlemen oleh Partai A atau koalisi yang di
dalamnya terdapat Partai A. Coattail
effect ini terjadi karena pemilih ataupun partai berpandangan sama:
jabatan eksekutif lebih penting daripada legislatif. Inilah yang mendorong
partai-partai membangun koalisi jauh hari sebelum pemilu.
Dalam jangka pendek, pemilu
serentak—di satu pihak—menciptakan koalisi pemerintahan solid karena proses
pembentukannya lama dan matang; di lain pihak, koalisi yang kalah
memperebutkan kursi presiden terpaksa menjadi oposisi. Bandingkan dengan
proses pembentukan koalisi saat ini, di mana semua partai menunggu hasil
pemilu legislatif, yang jaraknya hanya satu bulan dari jadwal pencalonan
presiden.
Proses pembentukan koalisi saat
ini pun bertahap: koalisi sebelum pemilu presiden, lalu ada partai bergabung
menjelang pemilu presiden putaran kedua, dan ada partai masuk lagi seusai
pemilu presiden. Akibatnya, koalisi yang dihasilkan pun rapuh. Partai
yang pertama bergabung merasa berhak mendapatkan kursi kabinet lebih banyak;
sementara partai lain, meskipun bergabung belakangan, juga merasa memiliki
hak serupa karena punya kursi besar di parlemen. Lalu, mereka menggunakan
anggotanya di legislatif untuk merecoki pemerintahan di mana mereka ikut dalam
koalisi.
Dalam jangka panjang, pemilu
serentak dapat menyederhanakan sistem kepartaian karena koalisi—baik yang
menang maupun yang kalah—cenderung bertahan. Tentu ada partai yang berubah
kawan koalisi, tapi perilaku ini hanya pinggiran. Partai-partai utama
cenderung dalam posisi sama dalam berkoalisi. Selain itu, coattail effect juga cenderung
menggerus partai yang tak pernah punya calon presiden hebat.
Masalahnya adalah model pemilu
serentak macam apa yang hendak kita pilih? Effendi Gazali (Kompas, 23/11/2013)
memilih model pemilu serentak lima kotak: memilih DPD, DPR, DPRD provinsi,
DPRD kabupaten/kota, serta presiden dan wakil presiden dalam satu hari-H
pemilihan. Ini praktis dan hemat. Juga, katanya, dikehendaki pembuat
konstitusi.
Masalahnya, secara teknis pemilu
lima kotak itu bisa membikin pemilih mabuk. Jangankan pemilu lima kotak,
pemilu empat kotak (pemilu legislatif) telah sukses membuat pemilih tidak
bersikap rasional. Bagaimana bisa rasional kalau untuk memilih empat lembaga
(DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota), pemilih harus menghadapi
600 sampai 1.800 calon saat di bilik suara pada Pemilu 2009?
Jumlah partai peserta pemilu pada
Pemilu 2014 memang berkurang signifikan sehingga calon yang dihadapkan pada
pemilih turun menjadi 125 sampai 450 calon. Namun, jumlah calon itu pun
masih terlalu banyak buat pemilih untuk mampu bersikap rasional. Inilah
pemilu paling berat di dunia yang dihadapi pemilih. Jadi, akan bertambah
berat buat pemilih jika pemilu legislatif harus ditambah dengan memilih
presiden.
Pemilu nasional dan daerah
Sejak 2006, saat pemerintah
menyusun draf RUU Pemilu, saya bersama Prof Ramlan Surbakti, Prof Syamsuddin
Haris, dan Pipit Kartawijaya mengusulkan model pemilu nasional (memilih DPR,
DPD, serta presiden dan wakil presiden) dan pemilu daerah (memilih DPRD dan
kepala daerah). Kelebihan model ini adalah kemampuannya dalam menciptakan
pemerintahan kongruen secara horizontal (hubungan legislatif-eksekutif)
sehingga terbentuk pemerintahan kuat dan efektif.
Model ini juga akan menghindari
pemerintahan terputus secara vertikal (hubungan pusat-daerah). Gambaran
konkret pemerintahan terputus adalah presiden RI dari Partai Demokrat,
gubernur Jawa Tengah dari PDI Perjuangan, bupati Pekalongan dari Partai
Golkar. Dengan peta politik seperti itu, sulit diharapkan pemerintah nasional
dan daerah efektif menjalankan program-programnya. Bisa saja terjadi
persamaan program, tetapi sulit dikerjakan bersama karena masing-masing punya
kepentingan politik berbeda.
Nah, pemilu nasional dan pemilu
daerah bisa mengatasi problem efektivitas pemerintahan secara horizontal dan
vertikal, yang selama 10 tahun terakhir ini selalu dikeluhkan. Sebab, jika
pemilu serentak nasional diikuti pemilu serentak daerah dua tahun sesudahnya,
koalisi nasional cenderung bertahan pada pemilu daerah.
Demikian
juga coattail effect pemilu nasional juga akan berpengaruh terhadap
hasil pemilu daerah, di samping coattail effectyang terjadi pada setiap
daerah.
Apakah pemilu nasional dan pemilu
daerah melanggar konstitusi? Berbeda dengan Fajrul Falakh (Kompas,
27/11/2013), saya sependapat dengan Prof Saldi Isra bahwa UUD 1945 hanya
mengatur jenis-jenis pemilu, sama sekali tidak mengatur jadwal pemilu. Akan
tetapi, masa jabatan presiden dibatasi lima tahun sehingga pemilu presiden
bisa jadi patokan, sementara pemilu-pemilu lain dapat menyesuaikan. Oleh
karena itu, jika pembuat undang-undang berkehendak mengatur jadwal pemilu, itu
masuk wilayah legal policy-nya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar