Jumat, 24 Januari 2014

Salah Paham Pemilu Serentak

Salah Paham Pemilu Serentak

Didik Supriyanto   ;    Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) 
KOMPAS,  24 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
MAHKAMAH  Konstitusi akhirnya membuat keputusan bersejarah. Mulai Pemilu 2019, penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilaksanakan serentak. Namun, sejauh ini masih ada kesalahpahaman terkait konsep pelaksanaan pemilu serentak tersebut.

Salah paham pertama adalah anggapan bahwa pemilu serentak merupakan pemilu untuk memilih beberapa jabatan yang dilaksanakan bersamaan waktunya. Maksudnya, ketika memasuki bilik suara, pemilih membawa dua atau lebih surat suara, dan setiap surat suara menunjukkan adanya satu jabatan yang hendak dipilih.

Anggapan itu tak sepenuhnya salah jika ditilik praktik pemberian suara. Namun secara konsep, pemilu serentak merupakan penggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari-H pemilihan (Lijphart: 1992, Linz and Valenzuela: 1994, Payne: 2002, Cheibub: 2007). Jadi, kalau pemilu legislatif saja, atau pemilu eksekutif saja, lalu digabungkan pelaksanaannya, tidak tepat disebut pemilu serentak. Itu sebabnya, pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, atau pemilu legislatif tidak disebut pemilu serentak. Rencana penggabungan pilkada dalam satu hari-H pemilihan tentunya juga tak tepat disebut pemilu serentak.  

Konsep pemilu serentak hanya dikenal di negara-negara pengguna sistem presidensial. Sebab, di sini anggota legislatif dan pejabat eksekutif sama-sama dipilih melalui pemilu. Berbeda dengan penganut sistem parlementer, di mana hanya dibutuhkan satu pemilu parlemen, selanjutnya parlemen mengangkat perdana menteri dan kabinet.

Salah paham kedua yang menjangkiti para perancang undang-undang, yang kemudian diamini para pengamat pemilu, adalah obsesi untuk menjadikan pemilu serentak sekadar cara menghemat biaya. Soal ini tidak perlu diperdebatkan sebab 65 persen biaya pemilu untuk membayar honor petugas. Padahal, para petugas itu dibayar berdasarkan event pemilu, bukan berdasarkan volume pekerjaan.

Saat ini dalam kurun lima tahun bisa digelar tujuh event pemilu:  legislatif, presiden putaran pertama, presiden putaran kedua, gubernur putaran pertama, gubernur putaran kedua,  bupati/wali kota putaran pertama, dan  bupati/wali kota putaran kedua. Itu artinya honor petugas harus dibayarkan tujuh kali meskipun beban pekerjaan masing-masing pemilu berbeda. Jelas sekali, kalau pemilu-pemilu itu digabungkan jadi satu atau dua maka akan terjadi penghematan luar biasa.

Demi efektivitas

Menghemat biaya bukanlah tujuan utama pemilu serentak. Tujuan pemilu serentak adalah untuk menciptakan pemerintahan kongruen, di mana pejabat eksekutif terpilih mendapat sokongan mayoritas legislatif agar pemerintahan kuat dan efektif. Di sinilah pemilu serentak memanfaatkan coattail effect demi mengejar efektivitas pemerintahan sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.

Lebih jelasnya, dalam pemilu serentak, kemenangan calon pejabat eksekutif dari Partai A cenderung diikuti perolehan kursi mayoritas parlemen oleh Partai A atau koalisi yang di dalamnya terdapat Partai A. Coattail effect ini terjadi karena pemilih ataupun partai berpandangan sama: jabatan eksekutif lebih penting daripada legislatif. Inilah yang mendorong partai-partai membangun koalisi jauh hari sebelum pemilu.

Dalam jangka pendek, pemilu serentak—di satu pihak—menciptakan koalisi pemerintahan solid karena proses pembentukannya lama dan matang; di lain pihak, koalisi yang kalah memperebutkan kursi presiden terpaksa menjadi oposisi. Bandingkan dengan proses pembentukan koalisi saat ini, di mana semua partai menunggu hasil pemilu legislatif, yang jaraknya hanya satu bulan dari jadwal pencalonan presiden.

Proses pembentukan koalisi saat ini pun bertahap: koalisi sebelum pemilu presiden, lalu ada partai bergabung menjelang pemilu presiden putaran kedua, dan ada partai masuk lagi seusai pemilu presiden.  Akibatnya, koalisi yang dihasilkan pun rapuh. Partai yang pertama bergabung merasa berhak mendapatkan kursi kabinet lebih banyak; sementara partai lain, meskipun bergabung belakangan, juga merasa memiliki hak serupa karena punya kursi besar di parlemen. Lalu, mereka menggunakan anggotanya di legislatif untuk merecoki pemerintahan di mana mereka ikut dalam koalisi.

Dalam jangka panjang, pemilu serentak dapat menyederhanakan sistem kepartaian karena koalisi—baik yang menang maupun yang kalah—cenderung bertahan. Tentu ada partai yang berubah kawan koalisi, tapi perilaku ini hanya pinggiran. Partai-partai utama cenderung dalam posisi sama dalam berkoalisi. Selain itu, coattail effect juga cenderung menggerus partai yang tak pernah punya calon presiden hebat.

Masalahnya adalah model pemilu serentak macam apa yang hendak kita pilih? Effendi Gazali (Kompas, 23/11/2013) memilih model pemilu serentak lima kotak: memilih DPD, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta presiden dan wakil presiden dalam satu hari-H pemilihan. Ini praktis dan hemat. Juga, katanya, dikehendaki pembuat konstitusi.

Masalahnya, secara teknis pemilu lima kotak itu bisa membikin pemilih mabuk. Jangankan pemilu lima kotak, pemilu empat kotak (pemilu legislatif) telah sukses membuat pemilih tidak bersikap rasional. Bagaimana bisa rasional kalau untuk memilih empat lembaga (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota), pemilih harus menghadapi 600 sampai 1.800 calon saat di bilik suara pada Pemilu 2009?

Jumlah partai peserta pemilu pada Pemilu 2014 memang berkurang signifikan sehingga calon yang dihadapkan pada pemilih  turun menjadi 125 sampai 450 calon. Namun, jumlah calon itu pun masih terlalu banyak buat pemilih untuk mampu bersikap rasional. Inilah pemilu paling berat di dunia yang dihadapi pemilih. Jadi, akan bertambah berat buat pemilih jika pemilu legislatif harus ditambah dengan memilih presiden.

Pemilu nasional dan daerah

Sejak 2006, saat pemerintah menyusun draf RUU Pemilu, saya bersama Prof Ramlan Surbakti, Prof Syamsuddin Haris, dan Pipit Kartawijaya mengusulkan model pemilu nasional (memilih DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden) dan pemilu daerah (memilih DPRD dan kepala daerah). Kelebihan model ini adalah kemampuannya dalam menciptakan pemerintahan kongruen secara horizontal (hubungan legislatif-eksekutif) sehingga terbentuk pemerintahan kuat dan efektif.

Model ini juga akan menghindari pemerintahan terputus secara vertikal (hubungan pusat-daerah). Gambaran konkret pemerintahan terputus adalah presiden RI dari Partai Demokrat, gubernur Jawa Tengah dari PDI Perjuangan, bupati Pekalongan dari Partai Golkar. Dengan peta politik seperti itu, sulit diharapkan pemerintah nasional dan daerah efektif menjalankan program-programnya. Bisa saja terjadi persamaan program, tetapi sulit dikerjakan bersama karena masing-masing punya kepentingan politik berbeda.

Nah, pemilu nasional dan pemilu daerah bisa mengatasi problem efektivitas pemerintahan secara horizontal dan vertikal, yang selama 10 tahun terakhir ini selalu dikeluhkan. Sebab, jika pemilu serentak nasional diikuti pemilu serentak daerah dua tahun sesudahnya, koalisi nasional cenderung bertahan pada pemilu daerah. 
Demikian juga coattail effect pemilu nasional juga akan berpengaruh terhadap hasil pemilu daerah, di samping coattail effectyang terjadi pada setiap daerah.

Apakah pemilu nasional dan pemilu daerah melanggar konstitusi? Berbeda dengan Fajrul Falakh (Kompas, 27/11/2013), saya sependapat dengan Prof Saldi Isra bahwa UUD 1945 hanya mengatur jenis-jenis pemilu, sama sekali tidak mengatur jadwal pemilu. Akan tetapi, masa jabatan presiden dibatasi lima tahun sehingga pemilu presiden bisa jadi patokan, sementara pemilu-pemilu lain dapat menyesuaikan. Oleh karena itu, jika pembuat undang-undang berkehendak mengatur jadwal pemilu, itu masuk wilayah legal policy-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar