Selasa, 21 Januari 2014

Memperluas Lensa Antikorupsi

Memperluas Lensa Antikorupsi

Widodo Dwi Putro  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram
KOMPAS,  20 Januari 2014
                                                                                                                       


SELAMA ini lensa antikorupsi hanya ditujukan kepada penyelenggara kekuasaan negara dengan mempertimbangkan unsur kerugian negara. Bila pemberantasan korupsi hanya sekadar urusan mengontrol pejabat publik, korupsi bisa tetap saja subur, terutama di arena kekuasaan lain, yaitu bisnis.

Berawal dari Colbert, menteri keuangan masa Louis XIV di Perancis, yang menulis kepada seorang pengusaha-pedagang dengan pertanyaan: ”Que fault-il faire pour vous aider?” (Bagaimana kami bisa menolong Anda?). Sang pengusaha-pedagang menjawab pendek: ”Nous lassez faire” (Biarkan kami sendiri).

Jawaban itu sangat populer dalam dunia merkantilis dan kemudian memengaruhi perkembangan hukum liberal, yakni pemisahan antara sektor publik dan privat.
Dalam pandangan hukum liberal, negara tidak mempunyai kewenangan memeriksa sektor privat jika ada penyimpangan.

Pandangan hukum liberal ini dapat kita temukan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001). Pasal 3 UU No 31/1999 menyebutkan, ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”.

Syarat terpenuhinya unsur korupsi hanya pada ”kerugian keuangan negara” menunjukkan adanya semacam garis batas antara publik dan privat.
Jika ada malapraktik sektor privat yang merugikan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat memaksakan pemeriksaan.
Ajaran hukum liberal yang memisahkan secara total antara sektor publik dan privat tidak bisa kita terima.

Bagaimana mungkin perusahaan swasta yang mengelola tabungan masyarakat, berurusan dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, pembangunan infrastruktur, dan menyangkut hajat hidup orang banyak lainnya masih disebut sektor privat? Praktik bisnis telah merambah kawasan publik sehingga seharusnya tidak steril dari akuntabilitas publik.

Masih ingat skandal korupsi di tubuh Enron, Merck, Tyco International, Adelphia, Disney, Xerox, WorldCom, Imclone, dan Global Crossing?

Skandal itu tidak hanya menyebabkan prahara di pasar bursa, tetapi juga ribuan warga kehilangan pekerjaan. Amerika Serikat yang propasar bebas dan hukum liberal akhirnya mengusut korupsi di korporasi swasta.

Kasus yang menerpa perusahaan raksasa itu membuka mata bahwa korupsi bukan monosentris, melainkan polisentris. Malapraktik bisnis di Indonesia sesungguhnya lebih ganas dari apa yang terjadi di AS, misalnya kasus megakorupsi BLBI yang melibatkan pejabat teras.

Kita selama ini menganggap akar korupsi hanya pada aparatur negara, padahal berkelindan ke mana-mana. Kasus daging sapi impor, suap yang menjerat Ketua MK, izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan, serta penggelapan pajak selalu ada kekuatan bisnis yang mengatur.

Partisipasi masyarakat

Target pemberantasan korupsi semestinya tidak hanya pada kekuasaan negara, tetapi juga pada setiap bentuk kekuasaan yang mempunyai konsekuensi pada kehidupan masyarakat. Kita sekarang hidup di zaman ketika bisnis menjadi locus kekuasaan raksasa baru.

Kalau lensa pemberantasan korupsi ”gelombang pertama” lebih fokus pada penyelenggara negara dan kerugian keuangan negara, ”gelombang kedua” sekaligus juga diarahkan pada malapraktik bisnis.

Argumentasi yuridis pemberantasan korupsi ”gelombang kedua” tidak hanya semata-mata karena ”kerugian keuangan negara”, tetapi diperluas ”kerugian masyarakat”.
Indonesia telah lama meratifikasi United Nations Against Corruption (Konvensi PBB 
Menentang Korupsi) 2003 melalui UU No 7/2006. Pasal 21 dan 22 dalam konvensi tersebut, mengategorikan korupsi ”bribery in the private sector” (peyuapan di sektor swasta) dan ”embezzlement of property in the private sector” (penggelapan kekayaan dalam sektor swasta).

Ratifikasi ini dapat digunakan sebagai bahan penting dalam mengamandemen Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memperluas ”unsur kerugian keuangan negara” dengan menambahkan ”kerugian masyarakat”, baik oleh aparatur negara maupun swasta.

Dengan menambahkan ”unsur kerugian masyarakat” dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ruang partisipasi masyarakat tidak hanya melaporkan dugaan korupsi, tetapi juga aktif melakukan gugatan perdata terhadap perkara korupsi.

Jika suap-menyuap dalam tender proyek merugikan masyarakat, misalnya kerusakan lingkungan, buruknya sarana, dan fasilitas publik, masyarakat dapat menggunakan Pasal 98 KUHAP yang mengatur penggabungan pidana dan perdata yang dalam praktik masih konvensional: jaksa hanya menuntut pidana dan subsider uang pengganti dengan menyita aset koruptor. Uang yang disita itu masuk ke kas negara, bukan ke masyarakat yang dirugikan.

Cara baru pihak ketiga (masyarakat) yang dirugikan bisa bersama-sama jaksa memasukkan kerugian dalam dakwaan.

Tuntutan ganti rugi terhadap perkara korupsi yang dikabulkan hakim nanti dapat digunakan untuk kepentingan publik, misalnya memperbaiki sekolah dan membangun jembatan.

Seorang ibu bisa mengatakan kepada anaknya: ”Sekolahmu yang bocor telah diperbaiki dari dana kemenangan masyarakat melawan koruptor di pengadilan.”

Jika pemberantasan korupsi dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, tidak hanya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif mengontrol korupsi, tetapi juga masyarakat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar