Memperluas
Lensa Antikorupsi
Widodo Dwi Putro ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram
|
KOMPAS,
20 Januari 2014
SELAMA
ini lensa antikorupsi hanya ditujukan kepada penyelenggara kekuasaan negara
dengan mempertimbangkan unsur kerugian negara. Bila pemberantasan korupsi
hanya sekadar urusan mengontrol pejabat publik, korupsi bisa tetap saja
subur, terutama di arena kekuasaan lain, yaitu bisnis.
Berawal dari Colbert, menteri
keuangan masa Louis XIV di Perancis, yang menulis kepada seorang
pengusaha-pedagang dengan pertanyaan: ”Que fault-il faire pour vous aider?”
(Bagaimana kami bisa menolong Anda?). Sang pengusaha-pedagang menjawab
pendek: ”Nous lassez faire” (Biarkan kami sendiri).
Jawaban itu sangat populer dalam
dunia merkantilis dan kemudian memengaruhi perkembangan hukum liberal, yakni
pemisahan antara sektor publik dan privat.
Dalam pandangan hukum liberal,
negara tidak mempunyai kewenangan memeriksa sektor privat jika ada
penyimpangan.
Pandangan hukum liberal ini dapat
kita temukan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (UU No 31
Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001). Pasal 3 UU No 31/1999 menyebutkan,
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara...”.
Syarat terpenuhinya unsur korupsi
hanya pada ”kerugian keuangan negara” menunjukkan adanya semacam garis batas
antara publik dan privat.
Jika ada malapraktik sektor privat
yang merugikan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat
memaksakan pemeriksaan.
Ajaran hukum liberal yang memisahkan
secara total antara sektor publik dan privat tidak bisa kita terima.
Bagaimana mungkin perusahaan
swasta yang mengelola tabungan masyarakat, berurusan dengan pelayanan
kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, pembangunan infrastruktur, dan menyangkut
hajat hidup orang banyak lainnya masih disebut sektor privat? Praktik bisnis
telah merambah kawasan publik sehingga seharusnya tidak steril dari
akuntabilitas publik.
Masih ingat skandal korupsi di
tubuh Enron, Merck, Tyco International, Adelphia, Disney, Xerox, WorldCom,
Imclone, dan Global Crossing?
Skandal itu tidak hanya
menyebabkan prahara di pasar bursa, tetapi juga ribuan warga kehilangan
pekerjaan. Amerika Serikat yang propasar bebas dan hukum liberal akhirnya
mengusut korupsi di korporasi swasta.
Kasus yang menerpa perusahaan
raksasa itu membuka mata bahwa korupsi bukan monosentris, melainkan
polisentris. Malapraktik bisnis di Indonesia sesungguhnya lebih ganas dari
apa yang terjadi di AS, misalnya kasus megakorupsi BLBI yang melibatkan
pejabat teras.
Kita selama ini menganggap akar
korupsi hanya pada aparatur negara, padahal berkelindan ke mana-mana. Kasus
daging sapi impor, suap yang menjerat Ketua MK, izin eksplorasi dan
eksploitasi pertambangan, serta penggelapan pajak selalu ada kekuatan bisnis
yang mengatur.
Partisipasi masyarakat
Target pemberantasan korupsi
semestinya tidak hanya pada kekuasaan negara, tetapi juga pada setiap bentuk
kekuasaan yang mempunyai konsekuensi pada kehidupan masyarakat. Kita sekarang
hidup di zaman ketika bisnis menjadi locus kekuasaan raksasa baru.
Kalau lensa pemberantasan korupsi
”gelombang pertama” lebih fokus pada penyelenggara negara dan kerugian
keuangan negara, ”gelombang kedua” sekaligus juga diarahkan pada malapraktik
bisnis.
Argumentasi yuridis pemberantasan
korupsi ”gelombang kedua” tidak hanya semata-mata karena ”kerugian keuangan
negara”, tetapi diperluas ”kerugian masyarakat”.
Indonesia telah lama meratifikasi United Nations Against Corruption
(Konvensi PBB
Menentang Korupsi) 2003 melalui UU No 7/2006. Pasal 21 dan 22
dalam konvensi tersebut, mengategorikan korupsi ”bribery in the private
sector” (peyuapan di sektor swasta) dan ”embezzlement
of property in the private sector” (penggelapan kekayaan dalam sektor
swasta).
Ratifikasi ini dapat digunakan sebagai
bahan penting dalam mengamandemen Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang memperluas ”unsur kerugian keuangan negara” dengan menambahkan
”kerugian masyarakat”, baik oleh aparatur negara maupun swasta.
Dengan menambahkan ”unsur kerugian
masyarakat” dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ruang
partisipasi masyarakat tidak hanya melaporkan dugaan korupsi, tetapi juga
aktif melakukan gugatan perdata terhadap perkara korupsi.
Jika suap-menyuap dalam tender
proyek merugikan masyarakat, misalnya kerusakan lingkungan, buruknya sarana,
dan fasilitas publik, masyarakat dapat menggunakan Pasal 98 KUHAP yang
mengatur penggabungan pidana dan perdata yang dalam praktik masih
konvensional: jaksa hanya menuntut pidana dan subsider uang pengganti dengan
menyita aset koruptor. Uang yang disita itu masuk ke kas negara, bukan ke
masyarakat yang dirugikan.
Cara baru pihak ketiga
(masyarakat) yang dirugikan bisa bersama-sama jaksa memasukkan kerugian dalam
dakwaan.
Tuntutan ganti rugi terhadap
perkara korupsi yang dikabulkan hakim nanti dapat digunakan untuk kepentingan
publik, misalnya memperbaiki sekolah dan membangun jembatan.
Seorang ibu bisa mengatakan kepada
anaknya: ”Sekolahmu yang bocor telah
diperbaiki dari dana kemenangan masyarakat melawan koruptor di pengadilan.”
Jika pemberantasan korupsi dapat
dinikmati langsung oleh masyarakat, tidak hanya lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang aktif mengontrol korupsi, tetapi juga masyarakat luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar