Minggu, 19 Januari 2014

Kapasitas Presiden 2014

Kapasitas Presiden 2014

Garin Nugroho  ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  19 Januari 2014
                                                                                                                        


Tidak lebih dari enam bulan ke depan Pemilihan Presiden 2014 akan berlangsung. Bisa diduga, undangan berbicara terkait Presiden 2014 cukup padat. Undangan tersebut memaksa saya untuk mendeskripsikan banyak hal tentang kapasitas presiden 2014 untuk mentransformasi persoalan utama bangsa, yang saya coba uraikan di bawah ini.

Pertama, kapasitas mentransformasi pemerintahan bincang-bincang dan berpusat kepada presiden menjadi pemerintahan efisien efektif berbasis kebersamaan kerja para menteri serta lembaga birokrasi. Berbagai penanganan masalah penting dewasa ini, sebutlah kenaikan harga elpiji, menunjukkan demokrasi lebih sebagai pameran proses berdemokrasi daripada pelaksanaan demokrasi, melahirkan komunikasi politik simpang siur. Di sisi lain, dikarenakan berbagai masalah senantiasa dijawab langsung presiden, maka kinerja dan sosok menteri hampir tidak dikenal di masyarakat, terkecuali menteri bermasalah yang diliput berita televisi.

Kedua, mentransformasi euforia kekuasaan menjadi pelayanan rakyat. Data dan fakta keteladanan kepemimpinan yang tidak lebih dari 5 persen ditambah beragam kasus elite politik menunjukkan euforia politik masih untuk kenikmatan kekuasaan, bukan pengorbanan untuk pelayanan rakyat.

Ketiga, mentransformasi kebebasan tanpa etika dan tanpa rasa takut menjadi kebebasan dengan pengetahuan dan nilai respek. Harus dicatat, militerisme menggerakkan pemerintahan dengan ketakutan, maka demokrasi bisa berjalan tanpa kekacauan serba banal apabila ketakutan mampu ditransformasi menjadi nilai respek di berbagai perspektif berbangsa.

Keempat, mentransformasi kebijakan manajemen pangan dan energi menjadi ketahanan pangan dan energi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pemecahan masalah ekonomi Indonesia selain dengan sumber daya alam dan pajak lebih pada keterampilan gali lubang tutup lubang berbasis konsumerisme jumlah penduduk dengan beragam kebijakan pragmatis, sebutlah impor 39 jenis hasil bumi dari garam hingga beras. Namun, tidak pada kebijakan ketahanan pangan dan energi, yakni strategi mendorong produktivitas lokal sebagai ciri negara ekonomi modern yang mampu bersaing dan kuat. Alhasil, deindustrialisasi marak, cermin tidak produktifnya manusia Indonesia.

Kelima, mentransformasi pendidikan dan kesehatan yang cenderung sebagai bisnis menjadi strategi pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat sipil sebagai nilai keutamaan persaingan sumber daya manusia menuju era keterbukaan.

Keenam, mentransformasi ruang publik konsumtif dan kekerasan menjadi ruang publik produktif serta santun. Contoh menyedihkan adalah menjamurnya mal. 
Padahal, di negara penuh adab, mal besar hanya boleh dibangun di luar kota dan terbatas jumlahnya untuk menjaga perilaku konsumerisme warga. Di sisi lain, gelanggang remaja yang produktif, baik untuk keterampilan, relaksasi, olahraga, hingga seni dan organisasi, nyaris tidak bertumbuh di negeri ini.

Ketujuh, mentransformasi paradoks pembangunan sangat memusat sekaligus desentralisasi tanpa kendali menjadi strategi pembangunan berbasis nilai utama sebagai negara kesatuan dengan perencanaan pembangunan berbasis strategi pembangunan bupati-bupati hingga walikota.

Kedelapan, kapasitas mentransformasi komunikasi politik serba rating menjadi panduan komunikasi masyarakat sipil yang sehat dan kritis. Sesungguhnya nilai rendah pemerintahan pasca 1998 adalah tidak lahirnya strategi komunikasi nilai-nilai publik. Yang muncul adalah komunikasi lewat berbagai bentuk jasa dan hiburan (televisi hingga internet) yang hanya berlomba menarik perhatian tiap detiknya, yang mendorong komunikasi sosial yang banal, olok-olok, vulgar, konsumtif, dan dangkal, melahirkan masyarakat emosional, vulgar, serta massa dangkal sekaligus transaksional.

Sekiranya presiden 2014 mempunyai kapasitas melakukan kerja transformasi di atas, maka warga yang selama ini dijadikan warga konsumen dan warga massa politik dangkal serta transaksional (bukan diperlakukan sebagai warga negara) akan bertransformasi menjadi warga negara sebagai masyarakat sipil produktif, profesional penuh etika yang menjadi syarat pertumbuhan dan persaingan antarbangsa. 

Sementara politik kenikmatan kekuasaan dan kemasan berubah menjadi politik pelayanan berbasis nilai utama pertumbuhan berbangsa. Situasi ini disertai strategi komunikasi panduan publik untuk nilai-nilai pertumbuhan masyarakat sipil yang sehat dan kritis yang menjadi tuntutan era ekonomi terbuka 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar