Minggu, 19 Januari 2014

Haruskah Kita Mewacanakan Arsitektur?

Haruskah Kita Mewacanakan Arsitektur?

David Hutama  ;   Arsitek
KOMPAS,  19 Januari 2014
                                                                                                                        


Tanggal 9 November 2011, Ikatan Arsitek Indonesia bersama Museum Nasional, Jakarta, menyelenggarakan Sayembara Arsitektur untuk Rancangan Skematik Perluasan Museum Nasional. Sayembara ini banyak menarik perhatian para arsitek untuk berpartisipasi. Kenapa?

Paling tidak karena tiga hal. Pertama, Museum Nasional adalah bangunan publik yang penting, baik itu karena koleksinya maupun fungsinya sebagai museum. Kedua, rasanya belum ada satu bangunan museum pun yang dibangun dari nol, kebanyakan adalah renovasi bangunan lama. Ketiga, dari sudut pandang arsitektural, museum adalah tipologi yang menarik karena sifatnya sebagai landmark dan berpotensi untuk mempunyai ruang dan bentuk yang ikonik. Sayembara ini akhirnya dimenangi oleh kantor konsultan arsitektur ABODAY dan saat ini proses perancangan tahap selanjutnya sedang berlangsung.

Dari fenomena ini, beberapa pertanyaan dengan mudah muncul. Seberapa banyak masyarakat Jakarta yang tahu tentang sayembara ini, padahal obyeknya adalah salah satu bangunan museum terpenting di Indonesia? Dan jika tahu, apakah ada ketertarikan untuk mengikuti proses sayembara ini? Sejauh ini memang di berbagai perhelatan arsitektur, partisipannya selalu dari kalangan arsitektur juga. Padahal, arsitektur pada hakikatnya adalah selalu mempunyai nilai publik walau dengan tingkat kepublikan yang berbeda-beda. Jadi, seharusnya publik punya hak dan peran untuk melakukan kritik dan pengawasan dari hadirnya sebuah arsitektur di sebuah tempat.

Saat ini, arsitektur memang jarang dibicarakan dalam konteksnya yang utuh. Bahwa arsitektur bukan sekadar bangunan yang sengaja dibuat menarik, melainkan punya dampak lebih. Keberadaannya tidak hanya membuat si pengguna nyaman dan puas, tetapi juga akan berdampak terhadap manusia dan lingkungan tempatnya berdiri. 

Salah satu kasus yang kerap disinggung dalam sejarah perkembangan arsitektur adalah dirobohkannya rumah susun Pruitt-Igoe di Amerika Serikat pada Desember 1971. Rumah susun yang terletak di St Louis, Amerika Serikat, karya arsitek Minoru Yamasaki ini dirobohkan karena dianggap memberikan dampak sosial yang buruk bagi penghuninya. Kejadian ini diangkat sebagai sebuah pernyataan dan wacana yang kuat dan tajam oleh Charles Jencks. Jencks, seorang arsitek lanskap tetapi lebih dikenal sebagai kritikus dan teoris arsitektur, menyatakan, robohnya Pruitt-Igoe adalah tanda dari kegagalan arsitektur modern yang dianggap terlalu mengutamakan efisiensi dan universalitas ruang tanpa peduli dimensi sosial dan budaya penghuninya.

Terlepas dari fakta banyaknya masalah sosial di situ, label yang diberikan sebagai tanda runtuhnya arsitektur modern adalah sebuah wacana yang dibuat dan diargumentasikan oleh Charles Jencks dengan tujuan untuk menjelaskan dan membentuk pemahaman masyarakat tentang fenomena tersebut. Wacana-wacana seperti ini kerap ditulis oleh orang-orang yang disebut oleh kritikus arsitektur. 

Beberapa yang cukup populer adalah Witold Rybczynski, Herbert Muschamp, Ada Louis-Huxtable, Paul Goldberger, dan banyak lagi. Mereka mengulas dan membedah arsitektur agar terjadi sebuah kesepahaman antara publik, arsitektur, dan arsiteknya. Hal ini yang masih langka di Indonesia. Akibatnya, jika kita mendengar kata ”arsitektur”, yang langsung terlintas adalah rupa dan bentuk bangunan yang eksentrik semata.

Dalam sebuah tulisan berjudul ”What Should a Museum be?” yang diterbitkan di harian New York Times, 8 Mei 1960, Ada Louis-Huxtable menulis sebuah kritik tentang bagaimana berlimpahnya proyek-proyek museum pada masa itu mempunyai dampak kebanalan yang juga bertambah. Arsitek seperti kehilangan prioritas dalam merancang proyek-proyek museum ini. Bentuk dan skala yang monumental melupakan fungsi-fungsi yang penting yang harus direncanakan dengan baik agar sebuah museum bisa berfungsi.

Fungsi edukasi

Fungsi edukasi menjadi pekerjaan rumah kita semua, bukan hanya untuk arsitek, melainkan juga media dan pemerintah. Jika pemahaman akan apa dan bagaimana sebuah arsitektur dinilai mulai merata di khalayak ramai, saya percaya dengan sendirinya lingkungan kita akan membaik dengan sendirinya. Sebuah sistem kontrol publik akan terjadi sehingga arsitektur tidak hanya milik eksklusif arsitek. Mewacanakan arsitektur (baca: membicarakan arsitektur) adalah upaya paling awal agar fungsi edukasi ini berjalan.

Dalam 10 tahun terakhir, perlahan upaya untuk mewacanakan arsitektur di Indonesia mulai ramai walau masih sangat jauh dari baik jika melihat keberagaman budaya dan luasnya negara kita. Sebagai awalan ini adalah sesuatu yang positif. Beberapa pameran arsitektur mulai diselenggarakan di ruang publik, seperti pameran ”Kulit Kedua” Budi Pradono di Gedung Arsip (2006), ”20.10.10 Budi Pradono: In Process” di Museum Mandiri (2010), dan pameran Andra Matin ”Andra Matin: Sebuah Sekuel” di Galeri Seni Dia.Lo.Gue (2012). Buku-buku yang mengulas pemikiran dan ide arsitekur juga mulai ramai, misalnya Baskoro Tedjo: Extending Sensibilites through Design oleh Baskoro Tedjo (penerbit IMAJI), Arsitetur yang Lain karya Avianti Armand (penerbit Gramedia), dan Relativitas: Arsitek di Ruang Angan & Kenyataan karya Adi Purnomo (penerbit Borneo). Semua ini adalah upaya agar arsitektur menjadi lebih dekat dan lebih dikenal publik.

Tahun depan adalah untuk pertama kalinya Indonesia diundang ke salah satu pameran arsitekur prestisius di dunia, Venice Architecture Biennale 2014 di Venesia, Italia. Menjadi sesuatu yang janggal jika kita diundang untuk mewacanakan perkembangan arsitektur di Indonesia, tetapi masyarakat kita sendiri pun sebetulnya masih enggan dan berjarak.

Jadi, haruskah kita mewacanakan arsitektur? Jawabnya harus. Sebab, arsitektur bukan sekadar tentang bangunan, melainkan bagaimana lingkung bina manusia menjadi lebih baik atau lebih buruk karenanya. Dengan mewacanakan arsitektur, perlahan kita bersama-sama menjadi sadar, menjaga, dan membangun lingkung bina yang baik dan lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar