Selasa, 21 Januari 2014

Bencana Ekologis dan Seruan Moral

Perspektif Pembangunan Berkelanjutan Pascabanjir

Bencana Ekologis dan Seruan Moral

Thomas Koten   ;   Direktur Social Development Center
                                             MEDIA INDONESIA,  21 Januari 2014                                           
                                                                                                                        


BENCANA ekologis berupa banjir kini melanda sejumlah kawasan di Tanah Air. Manado ialah salah satu kawasan yang kini dilanda banjir bandang hingga ribuan rumah warga tergenang. Sejumlah kawasan di Jakarta pun kini digenangi banjir yang menenggelamkan ratusan rumah warga dan memacetkan lalu lintas sehingga kerugian ekonomi yang diderita warga pun tak terkirakan.

Lebih daripada itu akan datangnya banjir yang lebih besar lagi cukup menghantui pemikiran warga mengingat adanya prediksi tentang hal tersebut karena musim hujan tahun ini belum sampai puncaknya. Menurut pengalaman dan prediksi tahunan dari Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (National Oceanic and Atmos pheric Administration/NOAA), banjir besar di Jakarta dan di berbagai kawasan di Tanah Air selalu terjadi pada akhir Januari dan berpuncak pada Februari dan awal Maret.

Jika dikerling secara saksama, bukan hanya banjir, melainkan tanah longsor juga kerap menyergap dan menerjang perkampungan warga di banyak kawasan di Tanah Air. Di samping itu, areal terjangan banjir setiap tahun semakin luas, menjangkau areal yang selama ini bukan menjadi langganan banjir dan tanah longsor itu. Tragisnya, banjir yang kerap terjadi itu bukan saja menenggelamkan kawasan pemukiman warga dan merusak segala fasilitas warga serta menghanyutkan harta benda, melainkan juga menelan korban jiwa.

Fenomena itu jelas menyingkap persoalan kerusakan ekologi yang telah mencapai taraf kritis. Pengeksploitasian lingkungan yang tanpa batas, dan konservasi fungsi lahan resapan air menjadi permukiman warga dan industri, itulah melahirkan monster ekologi pemangsa kehidupan di bumi pertiwi ini. Krisis ekologi yang demikian parah itulah kemudian melahirkan bencana ekologis bukan saja banjir, melainkan juga bencana kekeringan yang berefek pada kesulitan air bersih dan petani tidak bisa lagi mengairi lahan pertanian mereka.

Pembangunan berkelanjutan

Persoalan bahwa fenomena kerusakan ekologi yang kini telah mencapai taraf kritis itu tidak bisa dibiarkan terus berlanjut, tanpa upaya serius untuk mencegah dan melestarikannya kembali alam yang telah rusak itu untuk kehidupan berkelanjutan. Maka, yang dibutuhkan ialah suatu kesadaran, ik tikad baik, kemauan keras, sikap yang tegas, dan political will dari pemerintah untuk mengendalikan lingkungan alam yang rusak dan merealisasikan tindakan pelestarian alam yang rusak itu.

Ada sebuah kesadaran yang berlandaskan pada pemikiran bahwa pembangunan harus berkelanjutan, dan kehidupan anak cucu kita tidak bisa didasarkan atau berpijak pada keadaan alam atau ekologi beserta segala ekosistem yang telah rusak. Untuk kelestarian ekologi, demi masa kini dan akan datang, pohon yang dite bang harus diganti agar tetap lestari, sumber daya hutan harus selalu diperbarui. Singkatnya, kerusakan bumi harus diperbaiki.

Dalam arti, pembangunan yang berkelanjutan harus berwawasan lingkungan yang dibarengi dengan penjagaan dan pemeliharaan terhadap alam yang juga harus berkelanjutan. Seperti dalam laporan Brundtland, Our Common Future, 1987, tertulis, `Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Tujuan inti proses pembangunan berkelanjutan ialah keberlanjutan kehidupan manusia di atas bumi. Ingat, jumlah manusia boleh bertambah, sedangkan alam atau ekologi memiliki keterbatasan'.

Dengan demikian, ada dua konsep yang ter kandung dalam pemba ngunan yang berkelan jutan berwawasan lingkungan. Pertama, konsep kebutuhan (needs), bagi seenap umat manusia harus diprioritaskan dalam setiap jejak langkah pembangunan. 
Kedua, ide keterbatasan kemampuan lingkungan memiliki keterkaitan dengan kebutuhan manusia pada masa sekarang dan akan datang disebabkan penggunaan teknologi dan aktivitas organisasi sosial yang menyangkut kepedulian terhadap alam.

Keberlanjutan pemenuhan kebutuhan manusia di masa depan merupakan perkara yang amat serius yang harus dianti sipasi. Kesalahan antisipasi bisa bermuara pada ketidakber dayaan manusia memenuhi kebutuhannya, terutama pangan dan energi. Apalagi ditambah dengan persoalan krusial yang dihadapi oleh manusia saat ini yang berbarengan dengan keadaan ekologi. Ada perkembangan teknologi dan gaya hidup manusia yang boros, kian konsumtif serta keadaan lingkungan yang kian rusak.

Kerusakan ekologi dapat kita lihat dari erosi yang naik dan air tanah semakin surut. Kerusakan ekologi juga ditandai erosi tanah akibat hutan yang dibabat habis. Tanah juga dieksploitasi berlebihan sehingga menyedot habis lapisan tanah yang subur dan meninggalkan kapur, pasir, dan tanah liat. Belum lagi isi tanah yang harus digali, dikuras, dan tanah ditinggalkan begitu saja, tidak dimanfaatkan, sehingga berserakanlah lubang-lubang tanah bekas penambangan sebagai bopengan di bumi.

Ketika jumlah manusia masih cukup memungkinkan seperti sekarang ini, yakni sekitar 7 miliar jiwa, efek kerusakan atau krisis ekologi barangkali belum terlalu terasa. Namun, pada abad yang akan datang ketika jumlah manusia sudah mendekati 9 atau 10 miliar, tekanan penduduk pada bumi, jelas sudah terasa.

Bagaimana jadinya jika jumlah manusia terus bertambah dus cara-cara perusakan lingkungan juga terus berlanjut dan tidak terkendalikan, yang diiringi juga dengan peningkatan teknologi yang menciptakan kerusakan lingkungan yang kian cepat pula?

Selain itu, tantangan perubahan iklim yang begitu mengerikan di depan mata kita dan telah menjadi tantangan terbesar abad ini. Karena perubahan iklim yang terus terjadi, ratusan juta manusia kini mulai menderita akibat gagal panen, banjir, angin topan, badai, penyakit tropis yang semakin merajalela, berkurangnya cadangan air bersih, dan kekeringan.

Seruan Moral

Karena itu, yang diperlukan kini ialah pengendalian perusakan ekologi dengan jalan merombak cara dan isi pembangunan demi mencegah kematian prematur kehidupan di Bumi Pertiwi. Pembangunan tidak boleh diarahkan pada pengeksploitasian sumber daya alam secara habis-habisan, tetapi harus dilakukan dengan cara dan prinsip berkelanjutan dengan mengindahkan ambang batas. Pengeksploitasian lingkungan tanpa mengindahkan ambang batas ialah dosa besar generasi sekarang terhadap generasi yang akan datang. Dosa adalah sumber kehancuran manusia. Banjir besar ialah cermin dosa-dosa manusia sekarang.

Karena itu, bencana ekologis berupa banjir harus dilihat sebagai bentuk gugatan moral sehingga yang diperlukan ialah kesadaran moral dan tanggung jawab manusia untuk memelihara makhluk hidup dan segala sumber daya alam semesta. Karena itu, segala kerusakan di alam semesta ini bukan semata isu politik dan ekonomi, melainkan tantangan moral dan spiritual bagi seluruh umat manusia yang harus dihadapi bersama. Jadi, untuk menggalang pembangunan berkelanjutan, bukan saja perbaikan praktik kekuasaan dan politik, melainkan pada penggalangan seruan moral publik sekaligus pertobatan ekologis untuk mencegah kerusakan ekologi yang kian parah.

Dengan kesadaran dan tanggung jawab moral yang dibangun dengan seruan-seruan moral, diharapkan lahir pula generasi mendatang yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral dalam mengelola lingkungan dan memanfaatkan isi bumi dan alam semesta. Dengan demikian, kelestarian alam dan terawatnya isi bumi atau isi alam semesta tetap terjaga secara berkelanjutan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar