Selasa, 21 Januari 2014

Bencana Ekologi dan Nasib Riset

Bencana Ekologi dan Nasib Riset

Siti Nuryati   ;   Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Penulis naskah film-film dokumenter
                                               SINAR HARAPAN,  21 Januari 2014                                              
                                                                                                                       


Bencana banjir yang melanda berbagai daerah di Tanah Air memunculkan seruan bernama “tobat ekologis”. Ya, bertobat atas segala dosa-dosa yang kita lakukan terhadap lingkungan hidup kita.

Bencana ini menjadi bahan renungan bagi kita semua, tentang bagaimana mencegah dan menyikapi bencana, serta membangun solusi untuk keluar dari persoalan bencana ini.

Salah satu aspek yang dibutuhkan untuk membangun solusi bencana adalah kekuatan penelitian/riset. Menarik apa yang dikatakan Mustaid Siregar, periset ekologi tentang minimnya riset ekologi di Tanah Air.  Hal tersebut dikatakannya merespons fenomena problem-problem ekologi di Tanah Air. Benarkah riset ekologi di Indonesia minim?

Kita yakin riset-riset ekologi yang dilakukan perguruan tinggi dan badan-badan litbang di Tanah Air jumlahnya mencapai ribuan. Problem yang terjadi sebenarnya bukanlah minimnya aktivitas riset, melainkan sudah sejauhmana hasil-hasil riset di bidang ekologi tersebut sudah coba dimanfaatkan.

Upaya kompilasi, sinkronisasi dan matrik-isasi menjadi agenda penting untuk dilakukan, agar hasil-hasil riset yang ada tak sekadar menjadi dokumen/arsip dan tak memberikan manfaat apa pun bagi upaya penyelesaian problem-problem ekologis di Tanah Air.

Memang tak bisa dihindari, problem-problem ekologis terus berkembang. Hal ini sebagai dampak dari pembangunan ekonomi termasuk pertanian, yang sedikit banyak telah menimbulkan kerusakan dan masalah ekologi, seperti pemanasan global, kerusakan lapisan ozon, deforestation, pemusnahan spesies, kerusakan/pencemaran air, toksifikasi global, erosi dan kerusakan tanah/lahan, maupun kerusakan budaya.  Ini berarti, ke depan riset-riset ekologi tidak boleh berhenti.

Satu hal penting yang harus disadari semua pihak adalah, krisis ekologi pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri atau independen, terhadap faktor-faktor lain khususnya krisis pangan, energi, dan kemiskinan sehingga untuk mengatasi krisis ekologi di Indonesia tidak hanya bertujuan mengerem laju kerusakan dan pencemaran lingkungan, tetapi juga mendorong terwujudnya pembangunan pertanian dan pedesaan yang berkeadilan, berkedaulatan, dan berkelanjutan.

Untuk itu, agenda riset ekologi di Tanah Air perlu difokuskan lagi pada kriteria-kriteria bahwa hasil riset haruslah berdampak luas pada peningkatan kesejahteraan orang banyak, khususnya kelompok miskin, memberi solusi atas krisis ekologi pada level lokal, nasional, dan/atau global, memberi sumbangan pemikiran terkait dengan keadilan lingkungan, berkontribusi terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, memberi sumbangan pemikiran terhadap kedaulatan petani dan bangsa, serta memberi sumbangan pemikiran terhadap kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Riset-riset ekologi yang perlu dikembangkan di Indonesia ke depan adalah; Pertama, riset untuk mempelajari kerentanan dan daya hidup spesies serta konservasi ekosistem. Riset-riset di lingkup ini meliputi eksplorasi dan identifikasi, adaptasi dan resiliensi, pemuliaan/perakitan varietas, serta konservasi spesies dan ekosistem.

Kedua, riset untuk mempelajari adaptasi dan mitigasi sistem sosial terhadap perubahan lingkungan. Riset-riset di lingkup ini meliputi aspek kebijakan pengelolaan sumber daya alam, manajemen/kelembagaan dalam pengelolaan agroekosistem, penguatan kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, serta teknologi (pengembangan permodelan, pengembangan teknologi aplikasi).

Dengan penyusunan agenda riset yang jelas serta upaya pemanfaatan hasil riset yang jelas pula. Kita berharap berbagai krisis ekologi saat ini dan mendatang dapat diatasi dengan baik, sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesejahteraan umat manusia.

“Research Attitude”

Jika peneliti di negara maju berpandangan, untuk meningkatkan pendapatan maka mereka akan melakukan peningkatan produktivitas penelitian, kondisi ini berbeda dengan di Indonesia.

Judul dan anggaran penelitian yang terbatas setiap tahunnya, serta perencanaan penelitian dengan sistem proyek yang cenderung terputus-putus, tak seidikit peneliti Indonesia yang dengan terpaksa mengambil jalan pintas, yakni “mencari rente”.

Pergeseran research attitude semacam ini telah mengakibatkan beberapa dampak serius dan mendasar.  Orientasi berpikir dan meneliti bergeser dari relevan problem solving (sesuai keilmuan/keahliannya) menjadi ada-tidaknya sponsor dan/atau besar-kecilnya dana yang disediakan.

Di sini terjadi pengabaian dua hal yakni integritas keilmuan dan penyelesaian permasalahan yang relevan. Akibatnya, peneliti akan berorientasi pada kepentingan industri dan perusahaan luar negeri sehingga kurang memperhatikan kepentingan industri/perusahaaan dalam negeri, bahkan mematikan industri/perusahaan dalam negeri jika penemuan penelitian itu berakibat menutup akses bagi yang lain (bentuk paten, misalnya).

Akibat yang lebih fatal adalah, penelitian mengabaikan potensi sumber daya alam yang khas lokal/nasional yang justru melimpah dan unggul.

Merintis penelitian yang menggarap sumber daya lokal/nasional menjadi tidak menarik karena tidak ada sponsornya. Terkait peneliti masih pula dijumpai persoalan masih rendahnya kemampuan pokok dari peneliti dalam merumuskan masalah, metodologi, analisis, dan sintesis.

Dengan demikian, kegiatan penelitian mungkin saja tinggi, tapi tidak berkontribusi terhadap penyelesaian masalah. Dampak negatif selanjutnya adalah karena tidak nyata kontribusinya, bidang itu dianggap tidak penting maka penelitiannya menjadi terputus.

Secara nasional, kegiatan penelitian di Indonesia bisa dikatakan belum cukup produktif dan efisien.  Persoalan kelembagaan memberi kontribusi nyata pada persoalan ini.

Lembaga-lembaga penelitian yang banyak di Tanah Air ini belum mau berkoordinasi secara nasional, belum mau menempatkan diri masing-masing sesuai kapasitas dan tanggung jawabnya dalam menjawab permasalahan nasional/lokal. Masih banyak terjadi overlap bidang garapan, masih saling berebut anggaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar