Turbulensi perekonomian global telah memorakporandakan
teori-teori di bidang ekonomi keuangan. Inilah yang dialami perekonomian
Indonesia sekarang. BI Rate telah naik, namun nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS tidak kunjung menguat.
Secara teoretis, seharusnya ketika suku
bunga naik, nilai tukar rupiah menguat karena peningkatan suku bunga
domestik relatif terhadap suku bunga luar negeri akan menarik modal masuk,
terutama modal portofolio, sehingga akan meningkatkan likuiditas dollar
yang akan bisa memperkuat nilai tukar rupiah.
Bank Indonesia telah memillih kebijakan
kontraksi dengan meningkatkan bunga. Ini dulu dikenal dengan nama kebijakan
uang ketat. Kenaikan BI Rate dinilai berbagai pihak memiliki sisi positif.
Dengan kenaikan BI Rate, diharapkan terdapat disinsentif bagi para spekulan
di pasar valuta asing sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap nilai
tukar rupiah.
Namun, apa yang terjadi? Saat ini rupiah
telah menembus angka 12.000 per dollar AS. Bagaimana pernyataan Bank
Indonesia mengenai ini? Bank Indonesia menyatakan pelemahan rupiah kali ini
disebabkan oleh banyaknya utang jatuh tempo di akhir tahun sehingga
permintaan terhadap dollar melonjak. Bank Indonesia juga menyatakan bahwa
pelemahan rupiah saat ini sudah sesuai dengan fundamental ekonomi
Indonesia.
Berbicara dari sudut pandang keilmuan
ekonomi moneter, fundamental nilai tukar akan ditentukan oleh beberapa hal.
Pertama, terms of trade, yaitu perbandingan antara harga barang luar negeri
dan harga barang domestik. Kedua, aset internasional yang kita miliki. Ketiga,
perbandingan pertumbuhan uang beredar di domestik dibandingkan dengan
pertumbuhan uang beredar luar negeri, yaitu pertumbuhan jumlah dollar.
Dilihat dari faktor pertama, Indonesia yang
bergantung pada produk komoditas saat ini cukup terpukul karena harga
komoditas di tingkat global relatif turun sehingga terms of trade kita
relatif memburuk. Dilihat dari faktor kedua, cadangan devisa saat ini
tergerus di tingkat 96 miliar dollar AS, padahal sebelumnya pernah mencapai
angka tertinggi 124 miliar dollar AS.
Dilihat dari faktor ketiga, pertumbuhan uang
beredar Indonesia relatif lebih ketat dibandingkan Amerika Serikat yang
menerapkan kebijakan quantitative easing. Dilihat dari berbagai sisi,
faktor pertama dan kedua menyebabkan nilai tukar rupiah cenderung melemah.
Faktor ketiga adalah respons untuk memperkuat nilai tukar rupiah dengan
kebijakan uang ketat.
Salah satu ilmu yang terkenal membahas nilai
tukar rupiah terhadap dollar adalah teori purchasing power parity atau
paritas daya beli. Jika hukum paritas daya beli berlaku, seharusnya 1
dollar di mana pun di seluruh dunia bisa membeli barang sama dengan jumlah
yang sama. Dalam kondisi tersebut, seharusnya nilai tukar bisa mencerminkan
perbandingan harga relatif di kedua negara.
Kita bisa melakukan analisis sederhana
dengan konsep Big Mac Pricing. Mengapa Big Mac? Karena Big Mac ada di
hampir seluruh penjuru dunia dan dianggap mewakili barang yang relatif
homogen. Karena asumsi penting dari purchasing power parity adalah barang
yang diteliti bersifat homogen.
Majalah The Economist secara rutin
menyajikan hasil penelitian di beberapa negara terkait teori paritas daya
beli menggunakan Big Mac Index. Per Juli tahun 2013 saja, The Economist
menilai bahwa Indonesia mengalami undervalue sekitar 25 persen. Ini artinya
nilai tukar rupiah kita yang aktual dinilai terlalu lemah dibandingkan
fundamental yang dinilai berdasarkan teori paritas daya beli.
Hal ini bisa sedikit menjelaskan pelemahan
nilai tukar yang terjadi sekarang walaupun memang teori ini mengandung
beberapa kelemahan, terutama dari asumsinya yang tidak bisa dipenuhi semua
dalam kenyataan.
Dengan pelemahan rupiah yang terus terjadi,
dikombinasikan dengan kenaikan BI Rate, dunia usaha menghadapi dua tekanan
sekaligus. Kenapa ini bisa terjadi? Karena kenaikan BI Rate belum mampu
memperkuat nilai tukar rupiah. Hasil penelitian penulis dengan menggunakan
data dari Januari 2005 sampai dengan Juni 2013 menunjukkan bahwa BI Rate
tidak signifikan dalam memengaruhi kurs.
Dunia usaha saat ini mengalami dua tekanan
sekaligus (double pressures), yaitu naiknya biaya dana dan melemahnya nilai
tukar rupiah. Dunia usaha yang paling tertekan yang banyak mengandalkan
pinjaman dari pembiayaan investasinya.
Demikian juga perusahaan yang bahan bakunya
banyak impor. Sektor-sektor yang diperkirakan akan tertekan antara lain
properti, keuangan termasuk perbankan, perusahaan pembiayaan, perusahaan
transportasi, dan perusahan lain yang sensitif terhadap bunga serta nilai
tukar rupiah.
Struktural
Kadin menyarankan agar pemerintah lebih
banyak menggunakan kebijakan struktural daripada hanya mengandalkan
instrumen moneter dan fiskal. Kondisi turbulensi global telah menyebabkan
beberapa instrumen moneter dan fiskal tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Kebijakan struktural dan nonkonvensional diperlukan untuk memecah
kebuntuan.
Permasalahan struktural kita adalah
perekonomian Indonesia yang terlalu bergantung pada asing sehingga terjadi
ketidakseimbangan eksternal. Defisit di sisi eksternal ini telah
berlangsung lebih-kurang 27 bulan sehingga dikatakan cukup persisten. Ini
tidak lepas dari perkembangan yang pesat dari pendapatan per kapita
penduduk dan tumbuhnya aktivitas investasi domestik yang melejitkan impor,
terutama bahan baku, mesin, barang modal, minyak, gas, serta pangan.
Kebijakan struktural tersebut memang
membutuhkan waktu lebih lama daripada kebijakan moneter dan fiskal. Namun,
perlu kerja keras lebih dan pemikiran out of the box untuk mempercepat
penyesuaian struktural ini. Kita berharap akan lahir kebijakan-kebijakan
baru untuk mengoreksi ketidakseimbangan eksternal maupun internal untuk
memperkuat dampak instrumen moneter dan fiskal.
Dengan demikian, perekonomian nasional dapat
kembali stabil dan loss yang dihasilkan dari kebijakan seminimal mungkin.
Ini adalah sebuah learning process, membuat Indonesia lebih matang dalam
pengalaman kebijakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar