Rabu, 02 Oktober 2013

Sengkarut Masalah Tanah

Sengkarut Masalah Tanah
Normansjah  ;  Pemerhati Masalah Pertanahan
SUARA KARYA, 01 Oktober 2013o


Ungkapan bahwa tanah tidak pernah bertambah, sedangkan manusia terus bertambah menyebabkan tanah selalu menjadi topik permasalahan akibat perilaku manusia itu sendiri. Baik sebagai individu, kelompok/badan hukum maupun institusi bisa berimplikasi kepada aspek pidana, perdata, tata usaha negara, niaga (pailit), dan agama. Masing-masing aspek adakalanya berdiri sendiri, tetapi bisa juga terdapat duplikasi beberapa aspek atas sebidang tanah sehingga mengakibatkan kompleksitas masalah.

Di areal perkotaan atau pinggiran kota yang harga tanahnya tinggi, khususnya di lokasi yang status hukum tanahnya sedang vakum, misalnya, aset PT KA yang tidak dikelola baik; atau hak guna usaha Perusahaan Perkebunan yang sudah berakhir tetapi tidak dapat diperpanjang, biasanya selalu menjadi sasaran (locus) para spekulan atau mafia tanah. Ketidak-tertiban administrasi pertanahan di masa lalu atau mungkin masa kini dijadikan celah oleh para spekulan dan mafia tanah dengan modus merekayasa surat-surat tanah bodong, seperti sertifikat produk lama, girik, bukti milik adat, grant sultan, surat tebas, surat pancang, surat garap, surat transaksi fiktif serta surat lain yang sejenis.

Surat-surat tersebut sulit divalidasi dan diuji autentikasinya karena arsip aslinya tidak tersimpan dan bisa juga instansi yang mengeluarkannya sudah tidak ada. Keadaan bertambah runyam karena tidak adanya ketentuan yang mengatur tentang kadaluwarsa surat tersebut. Kalaupun instansi BPN meyakini bahwa surat-surat tersebut palsu setelah meneliti ciri-cirinya, seperti riwayat tanah dan letak (lokasi) tanah tidak jelas, ejaan yang dipergunakan tidak sesuai dengan tahun ejaan yang berlaku, jenis huruf (font) atau ketikan tidak sinkron tahun dimulainya huruf, serta goresan tanda tangan pejabat atau stempel yang dipergunakan tidak sesuai dengan per tanggal arsip, BPN sulit melaporkan pelakunya kepada aparat berwenang. Dalam konteks delik aduan, BPN tidak mempunyai pijakan hukum sebagai subjek pelapor, sehingga terpaksa membiarkan peredaran surat-surat bodong.

Keadaan ini menjadikan posisi tawar para perekayasa, spekulan atau mafia tanah seakan berada di atas angin sehingga bisa leluasa mempergunakan surat-surat bodong tersebut sebagai alas hak yang handal untuk klaim atas sebidang tanah dengan menjadikannya sebagai dasar untuk melakukan transaksi. Apabila harga tanah yang menjadi objek spekulasi sangat prospektif biasanya ada saja investor yang tergiur untuk membelinya walaupun dengan risiko ada sengketa di kemudian hari, karena ada kalanya sengketa tersebut merupakan komponen dari investasi. Pada tahap inilah masalah atau sengketa tanah mulai terajut.

Spekulan dan mafia tanah mencoba mengisi kevakuman status hukum tanah tersebut dengan cara mengajukan permohonan hak. Tetapi, karena surat bodong itu berbeda dengan data tanah riwayat yang ada di BPN, biasanya permohonan itu diminta agar dilengkapi secara runtut sehingga sinkron dengan riwayatnya. Namun demikian, yang namanya spekulan dan mafia tanah biasanya tidak pernah kehilangan akal dalam mencari jalan keluar. Jika gagal mempergunakan surat bodong secara prosedur administratif di BPN maka ia akan menggunakan cara lain untuk mencari keadilan, kebenaran atau mencari pembenaran di lembaga yudikatif (pengadilan).

Sistem hukum kita memungkinkan untuk mengacarakan jenis gugatan seperti ini. Pihak tergugat bisa BPN, pemilik aset atau pihak lain, gugatan bisa secara pidana, perdata, tata usaha negara atau agama jika menyangkut warisan. Adakalanya penggugat dan tergugat di pengadilan adalah sesama pemegang surat bodong. Andaikata putusannya mengabulkan gugatan penggugat dan akhirnya mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) maka perkara tanah tersebut memasuki rajutan masalah selanjutnya. Karena, di satu sisi, kita harus menghormati putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi di lain pihak, ada kendala lain yang menjadi pembatas tindak lanjut putusan tersebut seperti UU BUMN atau UU Perbendaharaan Negara.

Jika objek perkara masih terinventarisir sebagai aktiva BUMN, maka pelepasannya harus dengan persetujuan Meneg BUMN dan jika objeknya merupakan barang milik Negara atau Daerah tidak dapat disita atau harus dengan persetujuan pejabat yang diberi wewenang. Tanpa prosedur tersebut, pelakunya bisa disangkakan menghilangkan barang milik Negara atau Daerah, yang diancam hukuman pidana. Tanah objek perkaranya akhirnya menjadi status quo dan saling klaim para pihak tetap berlanjut. Akhirnya status hukum tanahnya tetap vakum karena tersandera oleh disharmoni hukum.

Dari segi ekonomi, tanah tersebut menjadi aset beku yang tidak memberikan nilai tambah. Dari segi sosial, tanah tersebut merangsang pendudukan liar dari para tunawisma dan oportunis yang berpotensi menjadikan kekumuhan suatu tempat akibat kevakuman status hukum tanah yang apat menjadi embrio masalah baru. Akhirnya masalah demi masalah terajut bagaikan benang kusut (sengkarut) sehingga sulit diurai.

Sungguh ironis. Di satu sisi, pemerintah terus berusaha untuk menekan atau mengurangi masalah pertanahan. Tetapi, di lain pihak, peluang untuk merekayasa masalah tanah masih terbuka. Apakah keadaan ini akan dibiarkan terus?

Perlu disadari, apabila putusan perkara tersebut menjadi yurisprudensi untuk rujukan perkara sejenis, bisa dibayangkan berapa banyak aset BUMN yang merupakan kekayaan Negara terancam oleh para perekayasa surat-surat bodong. Kita harus segera menciptakan harmonisasi hukum agar perbuatan licik seperti ini tidak terulang. Tanpa langkah demikian, berarti kita terus memelihara masalah.


Pada saat ini sedang disiapkan RUU Pertanahan di DPR RI. Inilah saat yang tepat untuk mencegah rekayasa masalah, dengan harapan semoga RUU Pertanahan tersebut dapat mengatur cara mengantisipasi rekayasa masalah tanah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar