|
Ungkapan bahwa tanah tidak pernah bertambah, sedangkan
manusia terus bertambah menyebabkan tanah selalu menjadi topik permasalahan
akibat perilaku manusia itu sendiri. Baik sebagai individu, kelompok/badan
hukum maupun institusi bisa berimplikasi kepada aspek pidana, perdata, tata
usaha negara, niaga (pailit), dan agama. Masing-masing aspek adakalanya berdiri
sendiri, tetapi bisa juga terdapat duplikasi beberapa aspek atas sebidang tanah
sehingga mengakibatkan kompleksitas masalah.
Di areal perkotaan atau pinggiran kota yang harga tanahnya
tinggi, khususnya di lokasi yang status hukum tanahnya sedang vakum, misalnya,
aset PT KA yang tidak dikelola baik; atau hak guna usaha Perusahaan Perkebunan
yang sudah berakhir tetapi tidak dapat diperpanjang, biasanya selalu menjadi
sasaran (locus) para spekulan atau
mafia tanah. Ketidak-tertiban administrasi pertanahan di masa lalu atau mungkin
masa kini dijadikan celah oleh para spekulan dan mafia tanah dengan modus
merekayasa surat-surat tanah bodong, seperti sertifikat produk lama, girik,
bukti milik adat, grant sultan, surat tebas, surat pancang, surat garap, surat
transaksi fiktif serta surat lain yang sejenis.
Surat-surat tersebut sulit divalidasi dan diuji
autentikasinya karena arsip aslinya tidak tersimpan dan bisa juga instansi yang
mengeluarkannya sudah tidak ada. Keadaan bertambah runyam karena tidak adanya
ketentuan yang mengatur tentang kadaluwarsa surat tersebut. Kalaupun instansi
BPN meyakini bahwa surat-surat tersebut palsu setelah meneliti ciri-cirinya,
seperti riwayat tanah dan letak (lokasi) tanah tidak jelas, ejaan yang dipergunakan
tidak sesuai dengan tahun ejaan yang berlaku, jenis huruf (font) atau ketikan
tidak sinkron tahun dimulainya huruf, serta goresan tanda tangan pejabat atau
stempel yang dipergunakan tidak sesuai dengan per tanggal arsip, BPN sulit
melaporkan pelakunya kepada aparat berwenang. Dalam konteks delik aduan, BPN
tidak mempunyai pijakan hukum sebagai subjek pelapor, sehingga terpaksa
membiarkan peredaran surat-surat bodong.
Keadaan ini menjadikan posisi tawar para perekayasa,
spekulan atau mafia tanah seakan berada di atas angin sehingga bisa leluasa
mempergunakan surat-surat bodong tersebut sebagai alas hak yang handal untuk
klaim atas sebidang tanah dengan menjadikannya sebagai dasar untuk melakukan
transaksi. Apabila harga tanah yang menjadi objek spekulasi sangat prospektif
biasanya ada saja investor yang tergiur untuk membelinya walaupun dengan risiko
ada sengketa di kemudian hari, karena ada kalanya sengketa tersebut merupakan
komponen dari investasi. Pada tahap inilah masalah atau sengketa tanah mulai terajut.
Spekulan dan mafia tanah mencoba mengisi kevakuman status
hukum tanah tersebut dengan cara mengajukan permohonan hak. Tetapi, karena
surat bodong itu berbeda dengan data tanah riwayat yang ada di BPN, biasanya
permohonan itu diminta agar dilengkapi secara runtut sehingga sinkron dengan
riwayatnya. Namun demikian, yang namanya spekulan dan mafia tanah biasanya
tidak pernah kehilangan akal dalam mencari jalan keluar. Jika gagal
mempergunakan surat bodong secara prosedur administratif di BPN maka ia akan menggunakan
cara lain untuk mencari keadilan, kebenaran atau mencari pembenaran di lembaga
yudikatif (pengadilan).
Sistem hukum kita memungkinkan untuk mengacarakan jenis
gugatan seperti ini. Pihak tergugat bisa BPN, pemilik aset atau pihak lain,
gugatan bisa secara pidana, perdata, tata usaha negara atau agama jika
menyangkut warisan. Adakalanya penggugat dan tergugat di pengadilan adalah
sesama pemegang surat bodong. Andaikata putusannya mengabulkan gugatan
penggugat dan akhirnya mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) maka perkara tanah tersebut memasuki rajutan masalah
selanjutnya. Karena, di satu sisi, kita harus menghormati putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi di lain pihak, ada kendala
lain yang menjadi pembatas tindak lanjut putusan tersebut seperti UU BUMN atau
UU Perbendaharaan Negara.
Jika objek perkara masih terinventarisir sebagai aktiva
BUMN, maka pelepasannya harus dengan persetujuan Meneg BUMN dan jika objeknya
merupakan barang milik Negara atau Daerah tidak dapat disita atau harus dengan
persetujuan pejabat yang diberi wewenang. Tanpa prosedur tersebut, pelakunya
bisa disangkakan menghilangkan barang milik Negara atau Daerah, yang diancam
hukuman pidana. Tanah objek perkaranya akhirnya menjadi status quo dan saling
klaim para pihak tetap berlanjut. Akhirnya status hukum tanahnya tetap vakum
karena tersandera oleh disharmoni hukum.
Dari segi ekonomi, tanah tersebut menjadi aset beku yang
tidak memberikan nilai tambah. Dari segi sosial, tanah tersebut merangsang
pendudukan liar dari para tunawisma dan oportunis yang berpotensi menjadikan
kekumuhan suatu tempat akibat kevakuman status hukum tanah yang apat menjadi
embrio masalah baru. Akhirnya masalah demi masalah terajut bagaikan benang
kusut (sengkarut) sehingga sulit diurai.
Sungguh ironis. Di satu sisi, pemerintah terus berusaha
untuk menekan atau mengurangi masalah pertanahan. Tetapi, di lain pihak,
peluang untuk merekayasa masalah tanah masih terbuka. Apakah keadaan ini akan
dibiarkan terus?
Perlu disadari, apabila putusan perkara tersebut menjadi
yurisprudensi untuk rujukan perkara sejenis, bisa dibayangkan berapa banyak
aset BUMN yang merupakan kekayaan Negara terancam oleh para perekayasa
surat-surat bodong. Kita harus segera menciptakan harmonisasi hukum agar
perbuatan licik seperti ini tidak terulang. Tanpa langkah demikian, berarti
kita terus memelihara masalah.
Pada saat ini sedang disiapkan RUU Pertanahan di DPR RI.
Inilah saat yang tepat untuk mencegah rekayasa masalah, dengan harapan semoga
RUU Pertanahan tersebut dapat mengatur cara mengantisipasi rekayasa masalah
tanah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar