|
SEPERTI diberitakan, Tommy Hindratno,
pegawai Direktorat Pajak, diperberat hukumannya oleh Mahkamah Agung melalui
putusan kasasi; dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun penjara. MA juga
menghukum Zen Umar, Direktur Utama PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari
semula 5 tahun menjadi 15 tahun penjara.
Sejak ditetapkan sebagai kejahatan
yang luar biasa, tindak pidana korupsi seharusnya memang ditangani secara luar
biasa pula, baik oleh polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan,
maupun oleh advokat dan adresat hukum masyarakat. Enam komponen penegakan hukum
tersebut mesti bahu-membahu dalam pemberantasan korupsi melalui empat komponen
penegakannya: komponen substansi (UU); struktur (kelembagaan); kultur hukum;
serta kepemimpinan.
Pengadilan selama ini telah banyak
berubah filosofinya, dari benteng terakhir pencarian keadilan menjadi benteng
terakhir pencarian siapa yang menang dan kalah. Apa yang kurang dalam hal
penyediaan UU dan struktur penegakan hukum kita? Semua telah tersedia, tetapi
mengapa keadilan yang dicita-citakan tidak kunjung terwujud?
Ada dua hal penyebabnya: kultur
hukum aparat penegak hukum, khususnya hakim, dan kepemimpinannya. Dua hal ini
menjadi bahan bakar hukum itu dapat bekerja dengan baik atau tidak. Untuk
putusan MA atas kasus Hindratno dan Zen Umar jelas sangat kental dipengaruhi
faktor kultur hukum hakim dan kepemimpinan Artidjo sebagai Ketua Majelis Kasasi
MA yang menangani perkara ini. Putusan Artidjo seolah hendak menjawab bahwa
masih ada hakim MA yang ”hidup” hati nuraninya, setelah beberapa waktu lalu ada
hakim MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas perkara Sudjiono Timan
yang berada dalam status buronan.
Kultur hukum hakim sangat
berpengaruh dalam kegiatan pemeriksaan sekaligus dalam penyusunan
pertimbangan-pertimbangan hukumnya sebelum menjatuhkan putusan. Hakim yang
tidak responsif terhadap adanya krisis dalam tindak pidana korupsi akan
mengalami conflict of interest, bahkan terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan
lain di luar dirinya.
Namun, kultur hukum saja tidak akan
cukup membingkai karakter hakim-hakim untuk progresif dalam memutus perkara.
Persoalan kepemimpinan juga perlu dipertimbangkan. Selama ini masih banyak
hakim yang merasa masa bodoh dengan kreativitas dalam memutus perkara, apalagi
berwatak progresif.
Dalam hal ini perlu didorong terus
semangat agar hakim mau melakukan tindakan kreatif dan progresif dalam
menangani tindak pidana yang memang sudah ditetapkan sebagai kejahatan luar
biasa seperti tindak pidana korupsi. Siapa yang menjadi kunci pendorong itu
kalau bukan ketua MA dan juga ketua KY tempat para hakim bernaung secara
institusional.
Keadilan substantif
Para hakim tak boleh sekadar jadi
corong UU (la bouche de la loi) dan tradisi konvensional yang menghambat
kreativitas dalam mewujudkan keadilan. Bukankah keadilan itu mesti diutamakan
daripada kepastian hukum, seperti yang dikatakan oleh penggagasnya, Gustav
Radbruch?
Dalam literatur ditemukan jenis
keadilan yang disebut perfect
justice (Werner Menski, 2006).
Menurut Menski, pencarian terhadap keadilan melalui hukum telah dilakukan
dengan tiga pendekatan: pendekatan filosofis, hasilnya adalah keadilan ideal;
normatif positivis, hasilnya adalah keadilan formal; dan socio-legal, hasilnya adalah keadilan
materiil. Menski menawarkan jenis pendekatan keempat, yang disebut
pendekatan legal pluralism. Jenis
keadilan yang diharapkan lahir dari pendekatan legal
pluralism adalah perfect justice, yang dapat disetarakan dengan
keadilan substantif.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Menski bahwa melalui pendekatan legal pluralism ini seorang pengambil
keputusan hukum harus senantiasa memperhatikan kompleksitas perkara yang
dihadapi. Kompleksitas itulah yang dijadikan dasar konstruksi penalaran
hukumnya sebelum polisi, jaksa, dan hakim memutus kebijakan tertentu.
Dalam penanganan kasus-kasus hukum
di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, termasuk kasus korupsi,
tampaknya tidak cukup bagi hakim seperti Artidjo hanya menggunakan hukum negara
(state law) sebagai bahan dasar utama
untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras
untuk mengikutsertakan faset-faset hukum, selain faset hukum perundang-undangan.
Reformasi PT hukum
Apabila kultur hukum hakim dan
kepemimpinan di MA dan KY kurang mendukung kreativitas dan progresivitas hakim
dalam memutus perkara, masih adakah harapan menghadirkan keadilan kepada
masyarakat? Tentu masih ada, yakni melalui reformasi pendidikan tinggi hukum
(PTH). Hal ini perlu ditawarkan sebagai solusi mengingat PTH sebagai ibu asuh
bagi para hakim. Mereka digodok dan dilahirkan dari PTH ini.
Selama ini PTH kita cenderung
mengajarkan hukum hanya dalam satu faset, yaitu faset UU yang sebenarnya sangat
kering dari aspek moral, ethics,
dan religion sehingga keras,
kaku, dan dingin layaknya sebuah skeleton.
Tugas PTH adalah merohanikan ilmu hukum sehingga berwatak humanis dan
progresif, yakni (1) dengan kecerdasan spiritualnya seorang penegak hukum,
termasuk hakim, tidak terkungkung oleh peraturan apabila ternyata peraturan
hukum itu justru tidak menghadirkan keadilan; (2) penegak hukum mau melakukan
penemuan-penemuan hukum melalui pencarian makna yang lebih dalam dari suatu
teks dan konteks hukum sehingga tidak terjebak dengan makna-makna gramatikal
yang dangkal; dan (3) penegak hukum mau memiliki kepedulian dan keberpihakan
terhadap rakyat, pihak-pihak yang lemah yang harus dijamin dan dilindungi
hak-haknya.
PTH se-Indonesia mesti mau berbenah
dan berubah untuk tanggap terhadap adanya krisis dalam pemberantasan korupsi.
Putusan-putusan progresif hanya bisa dihasilkan oleh hakim-hakim yang
progresif. Hakim-hakim progresif hanya dapat dihasilkan oleh PTH yang progresif
pula, yang tanggap terhadap ketidakcukupan hukum yang hanya dipandang sebagai
peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, seharusnya mulai
dirintis perubahan kurikulum PTH serta perubahan pola pikir para dosen,
pengajar diklat profesi hukum, menuju kurikulum pendidikan progresif, tidak
lagi konvensional-legal positivistik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar