|
KEHIDUPAN politik di Indonesia saat
ini telah dicederai oleh suatu kejahatan publik yang meluas dan meningkat
cepat, yaitu korupsi.
Gejala ini meluas karena hampir segala lapisan masyarakat,
dan khususnya lapisan birokrasi pemerintahan, telah dihinggapi oleh
kecenderungan korupsi. Dikatakan meningkat karena korupsi bukanlah sekadar
gejala kurangnya pendapatan untuk hidup seseorang atau masalah every man’s
need, sebagaimana dikatakan M Gandhi, melainkan masalah melemahnya kontrol dan
lumpuhnya pengekangan diri atau, dalam kata-kata Gandhi, masalah every
man’s greed. Meningkatnya praktik korupsi tidak saja terlihat dari kian
besarnya dana publik yang dikorupsi, tetapi juga meningkatnya posisi dan status
pejabat publik dan politisi yang melakukannya.
Kita dapat menyebut beberapa contoh. Pejabat publik yang
terlibat korupsi atau disangka terlibat. Dari kalangan legislatif ada anggota
DPR, dari kalangan eksekutif ada menteri, wakil menteri, gubernur, bupati, atau
wali kota, serta dari kalangan yudikatif para hakim (dalam proses pengadilan
dipanggil Yang Mulia) dan bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang keputusannya
bersifat final dan harus dilaksanakan. Dari kalangan parpol, beberapa ketua
umum partai terlibat dugaan kasus korupsi dalam ukuran besar.
Bahaya korupsi
Dirumuskan dalam bentuk negatif, meluasnya praktik korupsi
adalah identik dengan absennya rasa takut dan hilangnya rasa malu untuk
melakukan kejahatan. Orang semakin berani dan nekat berspekulasi melakukan
korupsi karena ringannya hukuman untuk koruptor kakap, di samping meluasnya
perasaan umum bahwa tertangkap atau tidak tertangkap adalah soal
untung-untungan. Tidak semua koruptor ditangkap itu diadili dan dihukum. Hanya
yang bernasib sial masuk perangkap hukum, yang kalaupun diadili dan dihukum,
hukumannya sering jauh lebih ringan dari besarnya kejahatan yang dilakukannya,
sementara kekayaan negara yang dirampas masih dapat dijadikan modal untuk hidup
nyaman setelah bebas.
Rupanya sudah waktunya mempertanyakan dengan sungguh-sungguh
mengapa korupsi tidak dianggap bahaya yang dapat menjadi ancaman terhadap
negara. Ini tidak saja gejala masa Reformasi, tetapi sudah berlangsung jauh
sebelumnya. Dalam masa Orde Baru, setiap gerakan politik dalam ukuran yang
kecil saja, seperti Gerakan Soewito atau Petisi 50, dihadapi dan ditindak
langsung oleh Presiden Soeharto, sering kali dengan menghilangkan hak-hak sipil
dari mereka yang dianggap terlibat. Dalam masa sekarang, tiap pernyataan yang
merugikan citra Presiden SBY ditanggapi secara cepat, keras, dan publik seperti
kasus Bunda Putri.
Sebaliknya, kasus korupsi Ketua MK hanya membuat Presiden
terkejut meski peristiwa itu jelas membuat kepastian hukum goyah dan limbung.
Hukuman mati yang mengancam 265 TKI di luar negeri tak membuat Presiden dan
seluruh jajaran pemerintah risau, tertantang, dan mengambil tindakan cepat
untuk menyelamatkan warganya yang sering dislogankan sebagai pahlawan devisa.
Pada titik ini, terlihat apa yang dianggap berbahaya dalam
politik Indonesia adalah tindakan yang merugikan kekuasaan politik, mengancam
ketenangan penguasa, serta menyinggung kewibawaan dan legitimasi pemerintahan.
Sementara, kita tahu, eksistensi suatu negara dan solidnya suatu bangsa tak
hanya ditentukan oleh kelangsungan yang aman dari kekuasaan politik, tetapi
juga dari kesejahteraan rakyat yang dipimpin, perbaikan kondisi dan taraf hidup
mereka, keyakinan bahwa mereka diperlakukan secara adil dan bermartabat, yang
pada gilirannya akan mengundang kepercayaan rakyat terhadap keabsahan dan
kemampuan kekuasaan yang memerintah mereka dan terhadap penggunaan kekuasaan
secara bertanggung jawab oleh pemegang kekuasaan.
Politik Indonesia disibukkan oleh perlombaan gila-gilaan
untuk memperoleh kekuasaan dengan mengeluarkan biaya besar, tetapi tak ada
kompetisi untuk memperlihatkan kemampuan menggunakan kekuasaan atas cara yang
menguntungkan rakyat. Yang lebih sering terdengar, kekuasaan yang sudah
diperoleh kemudian digunakan sebagai alat mempertukarkan kekuasaan politik
dengan keuntungan ekonomi bagi seorang pemegang jabatan publik. Orang tak perlu
mempelajari Sosiologi Pierre Bourdieu untuk memahami bahwa modal politik dapat
dipertukarkan dengan modal ekonomi sehingga politikus dapat memperoleh
keuntungan ekonomi dan seorang pengusaha dapat memperoleh keuntungan politik.
Namun, tidak setiap pertukaran adalah transaksi yang halal. Dalam kasus kolusi,
yang terjadi adalah pertukaran yang berlangsung dalam pasar gelap tanpa
pengawasan dari mana pun dan tanpa berpegang pada norma mana pun.
Korupsi dan kejahatan ekonomi lain, seperti suap, mark up, kolusi, dan permainan alokasi
anggaran dalam birokrasi, barangkali saja tak langsung menyinggung keamanan
kekuasaan politik, tidak membahayakan posisi penguasa secara langsung dan
karena itu tak segera memancing reaksi cepat dan keras dari penguasa dan tak
dihukum berat oleh pengadilan. Di sini praktik korupsi tak dipersepsikan
sebagai ancaman terhadap negara, tetapi dilihat sebagai kekacauan administrasi
atau penyelewengan disipliner. Namun, jelas bahwa kejahatan ekonomi dalam
bentuk apa pun akan merugikan kesejahteraan umum, melukai rasa keadilan dalam
masyarakat dengan memperbesar kesenjangan antara kemakmuran yang tak wajar
segelintir elite dan kemiskinan yang juga tak wajar dari rakyat yang berhak
hidup layak dalam suatu negara merdeka yang harus melindunginya.
Alam pikiran ini, yaitu pandangan bahwa yang dianggap sebagai
kejahatan adalah perbuatan yang menentang kekuasaan yang sah, serta pelanggaran
dan penyelewengan tak lain artinya dari tindakan yang tak menghormati martabat
penguasa, rupanya merupakan suatu sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan
dalam budaya politik Indonesia, sebagai peninggalan dari patrimonialisme masa
lalu, tatkala yang diperlakukan sebagai subyek hanyalah patron, sementara
rakyat atau para kawula hanya harta milik atau paling banter hamba dan pelayan
patronnya, dan nasib mereka tergantung kebaikan atau kemurkaan sang patron.
Dalam kaitan itu, penerapan demokrasi dalam politik membawa
perubahan yang amat mendasar yang menjungkirbalikkan pandangan lama secara
radikal. Kedudukan patron dan rakyatnya disetarakan oleh hukum. Kekuasaan
patron dianggap tak berasal dari sumber-sumber di luar dunia, tetapi berasal
dari rakyat yang mendelegasikannya kepada pemimpin mereka. Dengan demikian,
pelanggaran dan kejahatan terhadap kesejahteraan dan hak-hak rakyat sama
berbahayanya dengan pelanggaran terhadap kekuasaan politik. Konsep kepemimpinan
pun turut berubah. Pemimpin yang baik bukanlah seorang panutan yang punya bakat
dan kebajikan etis yang lebih banyak dari rakyat yang dipimpinnya serta membawa
dalam dirinya suatu superioritas moral yang membuatnya jadi pribadi panutan
yang harus dicontoh begitu saja oleh rakyatnya. Dalam demokrasi, pemimpin
bukanlah manusia unggul, melainkan manusia biasa yang dipercaya rakyat untuk
memimpin mereka, dan kualitas kepemimpinannya sangat tergantung interaksinya
dengan mereka yang dipimpinnya.
Kontrol sosial
Pemimpin yang baik adalah seorang yang mengakui kerentanannya
terhadap kelemahan seorang manusia yang berada dalam kekuasaan, dan siap
diawasi dan dikoreksi oleh mereka yang dipimpinnya. Kekuasaan memang selalu
cenderung kepada penyelewengan, tetapi rakyat yang matang akan selalu mengawasi
bahwa seandainya pun pemimpinnya ingin menyelewengkan kekuasaan, kesempatan
penyelewengan itu harus ditutup rapat oleh kontrol sosial. Pemimpin yang baik
dan berhasil adalah dia yang membuka diri untuk diawasi, dan kepemimpinan yang
diawasi kembali mengilhami dan menggairahkan rakyat yang dipimpinnya.
Pandangan baru ini memerlukan waktu untuk diterima dalam
penghayatan publik dan membutuhkan sosialisasi yang terus-menerus. Namun,
sosialisasi itu tidak cukup hanya berupa pengetahuan baru yang diperoleh
melalui ceramah, kursus, dan nasihat-nasihat, tetapi harus dialami dalam
praksis politik. Masyarakat perlu mengalami dalam kenyataan politik bahwa
subversi ekonomi melalui korupsi dan penyelewengan ekonomi sama berbahayanya
untuk negara dibandingkan dengan subversi politik, yang bertujuan menggulingkan
pemerintahan yang sah. Karena, subversi ekonomi mengkhianati kesejahteraan dan
kepentingan rakyat, melukai keadilan umum, memperlemah kepercayaan rakyat
terhadap kemampuan dan kesungguhan pemegang kekuasaan, dan atas cara itu
membuat legitimasi politik menjadi rapuh, cepat atau lambat.
Salah satu sosialisasi yang efektif adalah bentuk dan
beratnya hukuman terhadap koruptor dan calon koruptor. Usul menghukum koruptor
dengan memotong jari tangan tak ada manfaatnya untuk masyarakat yang dirugikan,
kecuali memberi sedikit kepuasan emosional. Hukuman yang bermanfaat dapat mengambil
dua bentuk. Pertama, korupsi dan penyelewengan dana publik perlu dihadapi
dengan sanksi ekonomi bagi pelaku dengan prosedur pemiskinan melalui putusan
pengadilan, dengan cara melipatgandakan ganti rugi bagi uang negara yang
dikorupsi. Seorang yang korupsi Rp 1 miliar harus membayar kembali 2-3 tiga
kali lipat dari dana yang telah diambilnya. Pelipatgandaan ganti rugi itu
bertujuan mengembalikan uang negara yang dikorupsi dan membayar kerugian
nonmateril yang timbul karena tiap tindakan korupsi dengan sendirinya
menyebarluaskan kebiasaan buruk di antara warga negara.
Kedua, berkurangnya kesejahteraan masyarakat karena perbuatan
korupsi harus dikompensasi oleh ”kerja bakti” untuk memulihkan kesejahteraan
masyarakat, dengan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat yang dirugikan,
tanpa menerima bayaran. Mereka bisa disuruh membersihkan jalan-jalan dalam
kota, mengangkut sampah dari pasar, membersihkan gorong-gorong dan parit,
merapikan taman kota, mengecat gedung-gedung pemerintah yang telah lusuh
catnya, memperbaiki kabel listrik dan kabel telepon yang rusak dan beragam
pekerjaan lain yang bermanfaat bagi masyarakat. Kerja sosial ini diharap dapat
menghidupkan kembali rasa malu (dan rasa bersalah) dalam diri para koruptor,
melalui demonstration effect hukumannya. Korupsi yang meluas secara
ganas hanya dapat dihadapi dengan tindakan punitif yang sama kerasnya. Kalau
tidak, dia akan hidup subur dalam suatu impunitas karena tiadanya kemauan dan
keberanian politik untuk menghentikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar