|
betul bahwa kampus yang belum memiliki akreditasi
institusi perguruan tinggi (AIPT) tidak bisa memberikan gelar akademik, akan
ada lebih dari 3.000 PT yang mengalami kesulitan meluluskan. Jawa Pos (14/10)
memberitakan, pemerintah akan memberlakukan pasal 28 ayat (3) UU No 12/2012
tentang Pendidikan Tinggi mulai 10 Agustus tahun depan.
Saat ini ada 3.218 perguruan tinggi swasta (PTS), 93 perguruan tinggi negeri (PTN), serta 614 perguruan tinggi agama (negeri dan swasta) dan PTN kedinasan. Akibat keterbatasan anggaran dan minimnya tenaga asesor, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) hanya bisa mengakreditasi kurang dari 10 persen PT dalam setahun (sampai tahun ini kurang dari 120 PT). Sisanya menunggu giliran, bahkan belum diproses.
Dalam pandangan pesimistis, kebijakan tersebut memang menjadi ancaman serius. Masyarakat tentu saja emoh masuk ke sebuah PT jika ijazah lulusannya tidak diakui alias dianggap bodong. Jika konsisten, PTN pun terancam tidak bisa menghasilkan lulusan bila gagal memenuhi deadline akreditasi. Pun dikhawatirkan PT-PT hanya akan mengejar akreditasi formalistik dan menomorsekiankan kualitas serta martabat pendidikan tinggi.
Kegalauan PTS bisa berlipat ganda karena citranya tidak seindah PTN. Banyak yang masih beranggapan akreditasi PTN tidak perlu dilirik, sedangkan PTS yang sudah terkareditasi pun masih sering dilihat sebelah mata. Padahal, PTS juga harus bekerja keras mengupayakan dana mandiri untuk memperjuangkan akreditasi, sedangkan PTN didanai negara. Artikel Saudara Akh. Muzakki (Jawa Pos, 16/10) tepat bahwa masyarakat seharusnya melihat akreditasinya, bukan status negeri maupun swastanya.
Sebaliknya, jika dilihat secara optimistis, kebijakan tersebut merupakan langkah maju dalam persaingan global agar mampu berkompetisi dengan PT asing. Salah satu ciri modernisasi atau kemajuan adalah adanya standardisasi untuk mengurangi uncertainty (ketidakpastian). Pemberlakuan standardisasi bisa menjamin lahirnya lulusan dengan mutu yang setara pula.
Namun, harus diakui, standardisasi selalu memunculkan kontroversi. Hal itu terkait dengan kredibilitas lembaga pengukur standar, instrumen yang digunakan, serta kondisi objektif disparitas antar-PT karena keterbatasan akses dan kesulitan SDM. Kontroversi itu perlu disikapi secara positif oleh PTS agar tidak ciut nyali. Prestasi tiga PTS, yakni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan Universitas Islam Indonesia (UII), meraih nilai A atau kategori ''sangat baik'' untuk AIPT membuktikan bahwa PTS bisa sangat kompetitif.
Meminjam istilah Saudara Muzakki, mereka ''telah berada pada garis prestasi akreditasi yang sama'' dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan belakangan ditambah Universitas Diponegoro (Undip).
Tidak hanya perlu perjalanan panjang dan berliku, UMM juga melakukan usaha yang strategis, tapi bukan demi akreditasi semata. Dalam teknis pengawasan mutu pelayanan akademik, SDM, tata kelola termasuk IT, penelitian dan pengabdian masyarakat, pembinaan kemahasiswaan, serta kerja sama internasional, misalnya, sejak awal UMM membentuk berbagai badan khusus yang menangani. Untuk keperluan akreditasi, tim task force mengintegrasikan berkas dari badan-badan tersebut dengan melibatkan seluruh unit di universitas. Tim itu bekerja sepanjang tahun karena selain mempersiapkan AIPT juga untuk akreditasi prodi.
Selain itu, perlu sebuah corporate culture yang dibangun dari habit kolektif-kolegial. Yakni, menjaga martabat pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, membentuk watak, sekaligus mengasah otak yang cemerlang. Karena itu, diperlukan etos kerja keras secara cerdas dan penuh ikhlas.
Alhasil, bukan hanya pengakuan BAN-PT yang bisa diraih UMM. Kampus swasta terbesar di Jatim itu juga mempertahankan status sebagai universitas paling unggul pilihan Anugerah Kampus Unggul (AKU) Kopertis VII selama enam tahun berturut-turut sejak 2008. Selain itu, berdasar pengakuan QS Stars World University Ranking, baik untuk kategori universitas maupun by subject, UMM berada pada posisi menggembirakan.
Merujuk pemberlakuan pasal 28 ayat (3) UU Pendidikan Tinggi yang dimulai tahun depan dan tingkat kesulitan PTS, perlu dipertimbangkan beberapa hal. Pertama, demi tercapainya akreditasi ganda (institusi sekaligus prodi), selain dari BAN-PT, pemerintah bisa mengakui lembaga akreditasi asing yang kredibel. Atau, mempersilakan asosiasi PT membentuk badan akreditasi seperti usul Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (Aptisi) dengan nama Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM).
Kedua, karena standarnya sudah jelas dan relatif bersifat kuantitatif, semestinya PTN dan PTS secara simultan memperbaiki mutu, bukan semata-mata untuk meraih akreditasi. Sejak awal mendirikan dan mengelola PT, semua program pengembangan diarahkan untuk memenuhi standar tersebut. Toh, tidak ada salahnya jika standar itu dipenuhi.
Ketiga, bukan zamannya lagi mempersoalkan PTN atau PTS, tapi soal kualitas. Toh, ukuran standarnya sama, yakni akreditasi, baik institusi maupun prodi. Soal biaya? Sekarang PTS belum tentu lebih mahal daripada PTN. Beberapa PTS justru lebih inovatif membangun income center yang akuntabel demi menunjang finansial kampus tanpa semata menunggu pemasukan dari mahasiswa. ●
Saat ini ada 3.218 perguruan tinggi swasta (PTS), 93 perguruan tinggi negeri (PTN), serta 614 perguruan tinggi agama (negeri dan swasta) dan PTN kedinasan. Akibat keterbatasan anggaran dan minimnya tenaga asesor, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) hanya bisa mengakreditasi kurang dari 10 persen PT dalam setahun (sampai tahun ini kurang dari 120 PT). Sisanya menunggu giliran, bahkan belum diproses.
Dalam pandangan pesimistis, kebijakan tersebut memang menjadi ancaman serius. Masyarakat tentu saja emoh masuk ke sebuah PT jika ijazah lulusannya tidak diakui alias dianggap bodong. Jika konsisten, PTN pun terancam tidak bisa menghasilkan lulusan bila gagal memenuhi deadline akreditasi. Pun dikhawatirkan PT-PT hanya akan mengejar akreditasi formalistik dan menomorsekiankan kualitas serta martabat pendidikan tinggi.
Kegalauan PTS bisa berlipat ganda karena citranya tidak seindah PTN. Banyak yang masih beranggapan akreditasi PTN tidak perlu dilirik, sedangkan PTS yang sudah terkareditasi pun masih sering dilihat sebelah mata. Padahal, PTS juga harus bekerja keras mengupayakan dana mandiri untuk memperjuangkan akreditasi, sedangkan PTN didanai negara. Artikel Saudara Akh. Muzakki (Jawa Pos, 16/10) tepat bahwa masyarakat seharusnya melihat akreditasinya, bukan status negeri maupun swastanya.
Sebaliknya, jika dilihat secara optimistis, kebijakan tersebut merupakan langkah maju dalam persaingan global agar mampu berkompetisi dengan PT asing. Salah satu ciri modernisasi atau kemajuan adalah adanya standardisasi untuk mengurangi uncertainty (ketidakpastian). Pemberlakuan standardisasi bisa menjamin lahirnya lulusan dengan mutu yang setara pula.
Namun, harus diakui, standardisasi selalu memunculkan kontroversi. Hal itu terkait dengan kredibilitas lembaga pengukur standar, instrumen yang digunakan, serta kondisi objektif disparitas antar-PT karena keterbatasan akses dan kesulitan SDM. Kontroversi itu perlu disikapi secara positif oleh PTS agar tidak ciut nyali. Prestasi tiga PTS, yakni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan Universitas Islam Indonesia (UII), meraih nilai A atau kategori ''sangat baik'' untuk AIPT membuktikan bahwa PTS bisa sangat kompetitif.
Meminjam istilah Saudara Muzakki, mereka ''telah berada pada garis prestasi akreditasi yang sama'' dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan belakangan ditambah Universitas Diponegoro (Undip).
Tidak hanya perlu perjalanan panjang dan berliku, UMM juga melakukan usaha yang strategis, tapi bukan demi akreditasi semata. Dalam teknis pengawasan mutu pelayanan akademik, SDM, tata kelola termasuk IT, penelitian dan pengabdian masyarakat, pembinaan kemahasiswaan, serta kerja sama internasional, misalnya, sejak awal UMM membentuk berbagai badan khusus yang menangani. Untuk keperluan akreditasi, tim task force mengintegrasikan berkas dari badan-badan tersebut dengan melibatkan seluruh unit di universitas. Tim itu bekerja sepanjang tahun karena selain mempersiapkan AIPT juga untuk akreditasi prodi.
Selain itu, perlu sebuah corporate culture yang dibangun dari habit kolektif-kolegial. Yakni, menjaga martabat pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, membentuk watak, sekaligus mengasah otak yang cemerlang. Karena itu, diperlukan etos kerja keras secara cerdas dan penuh ikhlas.
Alhasil, bukan hanya pengakuan BAN-PT yang bisa diraih UMM. Kampus swasta terbesar di Jatim itu juga mempertahankan status sebagai universitas paling unggul pilihan Anugerah Kampus Unggul (AKU) Kopertis VII selama enam tahun berturut-turut sejak 2008. Selain itu, berdasar pengakuan QS Stars World University Ranking, baik untuk kategori universitas maupun by subject, UMM berada pada posisi menggembirakan.
Merujuk pemberlakuan pasal 28 ayat (3) UU Pendidikan Tinggi yang dimulai tahun depan dan tingkat kesulitan PTS, perlu dipertimbangkan beberapa hal. Pertama, demi tercapainya akreditasi ganda (institusi sekaligus prodi), selain dari BAN-PT, pemerintah bisa mengakui lembaga akreditasi asing yang kredibel. Atau, mempersilakan asosiasi PT membentuk badan akreditasi seperti usul Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (Aptisi) dengan nama Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM).
Kedua, karena standarnya sudah jelas dan relatif bersifat kuantitatif, semestinya PTN dan PTS secara simultan memperbaiki mutu, bukan semata-mata untuk meraih akreditasi. Sejak awal mendirikan dan mengelola PT, semua program pengembangan diarahkan untuk memenuhi standar tersebut. Toh, tidak ada salahnya jika standar itu dipenuhi.
Ketiga, bukan zamannya lagi mempersoalkan PTN atau PTS, tapi soal kualitas. Toh, ukuran standarnya sama, yakni akreditasi, baik institusi maupun prodi. Soal biaya? Sekarang PTS belum tentu lebih mahal daripada PTN. Beberapa PTS justru lebih inovatif membangun income center yang akuntabel demi menunjang finansial kampus tanpa semata menunggu pemasukan dari mahasiswa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar