|
AKHIR-akhir
ini cukup sering terjadi kecelakaan lalu lintas dengan akibat kematian bukan
satu orang, melainkan beberapa orang.
Yang mengejutkan, yang mengemudikan mobil bukan orang dewasa
yang barangkali telah mengonsumsi narkoba atau alkohol. Yang menyetir ialah
seorang anak di bawah umur dengan kecepatan tinggi pula. Akibat mengerikan
sudah dapat dibayangkan. Siapakah yang harus bertanggung jawab?
Berdasarkan ketentuan undang-undang, si anak tidak akan
dibebani pidana. Orangtua lalu mencuci tangan dengan beragam argumentasi yang
acap kali terlalu dicari-cari. Bagaimana nasib dan masa depan anak-anak yang
telah kehilangan ayah mereka yang ditabrak mati itu?
Tentu soalnya tidak melulu mengenai makan setiap bulan,
tetapi mengenai sekolah beberapa tahun mendatang dan masa depan mereka. Ini
yang harus dipikirkan dan diselesaikan secara hukum. Soal ini jangan
diselesaikan dengan berbagai alasan klasik yang sudah ketinggalan zaman.
Vicarious liability adalah konsep hukum Anglo Saxon yang
berbunyi that a supervisory party
(such as an employer) bears for the actionable conduct of a subordinate or
associate (such as an employee) because of the relationship between the two
parties. Dialihbahasakan secara bebas, ungkapan itu berarti ”bahwa pihak pengawas (seperti seorang
pengusaha) menanggung (akibat) perilaku dari bawahan atau rekannya (seperti
seorang mitra kerjanya) karena adanya hubungan antara kedua belah pihak”.
Berpikir
majulah!
Meskipun menggunakan interpretasi futuristik atau fungsional,
mungkin masih ada penegak hukum yang tidak setuju dengan konsep hukum tersebut.
Jika terjadi hal demikian, mari kita dengar Kranenburg yang pernah menulis het zijn juristen die als wormen van het
rotte hout leven, ’mereka (para
sarjana hukum) ibarat cacing-cacing yang hidup dari kayu busuk’.
Di Belanda, yang sistem hukumnya serupa dengan sistem hukum
di Indonesia, pada 1919 terjadi sengketa perdata antara Lindenbaum dan Cohen.
Pada suatu hari pegawai Lindenbaum dibajak dengan iming-iming uang agar pindah
kerja di perusahaan sejenis dari Cohen. Singkat cerita, Mahkamah Agung Belanda
(HR) memutuskan pada 31 Desember 1919 bahwa perbuatan Cohen melanggar hukum
pidana dengan membatalkan putusan perdata Hof Amsterdam. Jadi, semula perdata
Pasal 1365 BW (Belanda 1401 BW), tetapi kemudian dinyatakan sebagai sifat
melawan hukum perbuatan pidana.
Secara mutatis
mutandis juga demikian dalam De Zutfense Juffrouw Arrest (HR
1911). Yang paling maju dalam putusan HR adalah dalam kasus Arrest, dokter
hewan dari kota Huizen, pada 20 Februari 1933. Putusan-putusan tersebut pasti
telah dipelajari dan diketahui para sarjana hukum di negeri ini ketika belajar
di fakultas hukum. Lalu, apa kaitannya dengan vicarious liability?
Dunia sudah makin sempit. Ada konsep-konsep hukum dari Anglo
Saxon yang sudah diambil alih secara sadar atau tidak, tanpa diatur di
Indonesia sebagai aturan hukum positif. Misalnya dissenting opinion dan whistleblower. Dengan
interpretasi futuristik, orangtua si anak yang menabrak mati beberapa orang di
jalan tol itu dapat dipidana dan dituntut ganti kerugian berupa deposito di
bank agar anak-anak yang kini sudah yatim piatu terjamin hidup di masa depan.
Hai, para penegak hukum, berpikirlah yang maju dan progresif.
Jangan seperti cacing-cacing hukum yang hidup dari kayu-kayu busuk hukum.
Itulah yang diharapkan dari penegakan hukum Pancasila. Semoga hati nurani Anda
masih berfungsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar