|
Bisakah kualitas demokrasi suatu
negara dinilai dari performa pengadilannya? Kajian mutakhir ternyata
memungkinkannya. De- ngan menyelisik berbagai proses di pengadilan hingga hasil
kepu- tusannya, diperoleh parameter dalam menakar kualitas demo- krasi suatu
negara. Singkatnya, cara pengadilan bekerja merupakan refleksi dari kualitas
demokrasi di suatu negara.
Logika
berpikirnya, dalam demokrasi, salah satu hal yang dijunjung tinggi adalah
prinsip rule of law (supremasi
hukum), di mana di dalam prinsip tersebut terdapat bagian law enforcement (penegakan hukum).
Pengadilan diandaikan sebagai institusi pelaksana penegakan hukum. Namun, dalam
pelaksanaannya, pengadilan bisa berperilaku konsisten atau tidak konsisten
dengan semangat demokrasi.
Ekspresi
konsistensi dalam penegakan hukum yang dianggap ”beraroma” demokrasi, antara
lain, dilihat dari kapasitas pengadilan menyerap rasa keadilan masyarakat
menjadi bagian dari rasa keadilan hakim melalui putusan pengadilan. Jika
putusan pengadilan mencerminkan rasa keadilan masyarakat, berarti pengadilan
demokratis. Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan, patut diduga bahwa
pengadilan berwatak antidemokrasi.
Jadi indikator
Marijke Malsch
pernah melakukan kajian dengan pendekatan model ini dan membukukannya menjadi Democracy in the Court: Lay Participation in
European Criminal Justice Systems (2009). Malsch menggunakan instrumen
demokrasi: representasi, deliberasi, dan partisipasi, sebagai alat untuk
menilai kecenderungan demokratis tidaknya beberapa pengadilan negara di Eropa.
Fokus telaahnya
adalah apakah pengadilan di beberapa negara Eropa sudah merepresentasikan apa
yang dipersepsikan oleh masyarakat ketika merumuskan keadilan, melakukan proses
deliberatif saat pembuatan putusan, serta memberikan fasilitas berpartisipasi
secara luas kepada lay person (orang
kebanyakan) dalam proses peradilan.
Dalam beberapa
hal, pendekatan Malsch bisa digunakan untuk menakar kapasitas dan komitmen
pengadilan tipikor di Indonesia dalam menyerap aspirasi publik, terutama
terhadap harapan terciptanya momentum optimalisasi pemidanaan bagi koruptor.
Jika kapasitas
dan komitmen pengadilan dengan harapan publik berjalan paralel, berarti
pengadilan tipikor telah bekerja dalam spirit demokrasi. Namun, jika
kontradiktif, stigma antidemokrasi kemungkinan akan dinisbatkan kepada
pengadilan tipikor.
Situasi Indonesia
Bagaimana
situasi pengadilan tipikor saat ini?
Indonesia Corruption Watch (ICW)
memberikan sinyal ”darurat” mengenai pengadilan tipikor. Dalam hasil
penelitiannya pada Juli 2013, ICW mengidentifikasi, sejak tahun pendiriannya,
2009, pengadilan tipikor ternyata tidak maksimal dalam hal penjatuhan vonis
kepada koruptor.
ICW memantau
344 kasus dengan 756 terdakwa. Hasilnya, 143 orang divonis bebas, 185 orang
divonis di bawah 1 tahun, 167 orang dihukum 1 tahun 1 bulan hingga 2 tahun, dan
217 orang dihukum 2 tahun 1 bulan hingga 5 tahun. Hanya 35 terdakwa yang
dihukum di atas 5 tahun dengan maksimal 10 tahun penjara dan hanya 5 orang yang
divonis di atas 10 tahun.
Meneguhkan
temuan ICW, putusan pengadilan tipikor pada kasus Djoko Susilo ternyata setali
tiga uang. Terdakwa yang terbukti korupsi menerima uang Rp 32 miliar dan
melakukan tindak pidana pencucian uang divonis 10 tahun penjara dan denda Rp
500 juta subsider 6 bulan kurungan. Padahal, jaksa penuntut umum sebelumnya
menuntut 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Putusan itu
tentu saja meninggalkan tanda tanya besar bagi publik, melukai rasa keadilan
masyarakat, dan sekaligus membangkitkan sikap skeptis terhadap komitmen
pengadilan tipikor dalam memaksimalkan hukuman bagi koruptor.
Putusan paradoks
Kasus Djoko
Susilo menjadi paradoks ketika disandingkan dengan putusan pengadilan tipikor
pada kasus jaksa Urip Tri Gunawan. Pada kasus suap senilai Rp 6,1 miliar,
putusannya 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan.
Ada juga yang
mengontraskan putusan Djoko Susilo dengan putusan Pengadilan Tipikor Yogyakarta
yang menjatuhkan vonis 2 bulan penjara dan denda Rp 2 juta kepada terdakwa
Saidi (pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gunung Kidul) pada kasus suap
senilai Rp 120.000. Pengadilan tipikor hanya bertaji di kasus ecek-ecek, tetapi
tidak berdaya di kasus kakap.
Perhatikan pula
putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang menganulir hukuman 15
tahun penjara atas Sudjiono Timan, yang awalnya dinyatakan terbukti melakukan
korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun dan dalam posisi daftar
pencarian orang.
Pada kasus
tersebut, pengadilan PK tidak hanya ganjil karena menyidangkan terpidana yang
melarikan diri, tetapi juga memperlihatkan aksi menjilat ludah sendiri ketika
mengacuhkan Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2012 yang melarang pengadilan secara in
absentia.
Temuan ICW
menunjukkan, pengadilan tipikor telah mencederai aspirasi publik yang amat
berharap koruptor dihukum seberat-beratnya. Dalam perspektif demokrasi,
pencederaan semacam itu tidak boleh dilokalisasi hanya sebatas isu penegakan
hukum, tetapi juga perlu dibaca sebagai ancaman serius terhadap demokrasi.
Tidak
berlebihan kiranya jika orang mulai khawatir bahwa pengadilan tipikor sudah
menjelma menjadi mahkamah antidemokrasi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar