Jumat, 18 Oktober 2013

Pengadilan Tipikor Antidemokrasi

Pengadilan Tipikor Antidemokrasi
Hasrul Halili  ;  Dosen dan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
KOMPAS, 17 Oktober 2013


Bisakah kualitas demokrasi suatu negara dinilai dari performa pengadilannya? Kajian mutakhir ternyata memungkinkannya. De- ngan menyelisik berbagai proses di pengadilan hingga hasil kepu- tusannya, diperoleh parameter dalam menakar kualitas demo- krasi suatu negara. Singkatnya, cara pengadilan bekerja merupakan refleksi dari kualitas demokrasi di suatu negara.

Logika berpikirnya, dalam demokrasi, salah satu hal yang dijunjung tinggi adalah prinsip rule of law (supremasi hukum), di mana di dalam prinsip tersebut terdapat bagian law enforcement (penegakan hukum). Pengadilan diandaikan sebagai institusi pelaksana penegakan hukum. Namun, dalam pelaksanaannya, pengadilan bisa berperilaku konsisten atau tidak konsisten dengan semangat demokrasi.
Ekspresi konsistensi dalam penegakan hukum yang dianggap ”beraroma” demokrasi, antara lain, dilihat dari kapasitas pengadilan menyerap rasa keadilan masyarakat menjadi bagian dari rasa keadilan hakim melalui putusan pengadilan. Jika putusan pengadilan mencerminkan rasa keadilan masyarakat, berarti pengadilan demokratis. Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan, patut diduga bahwa pengadilan berwatak antidemokrasi.
Jadi indikator
Marijke Malsch pernah melakukan kajian dengan pendekatan model ini dan membukukannya menjadi Democracy in the Court: Lay Participation in European Criminal Justice Systems (2009). Malsch menggunakan instrumen demokrasi: representasi, deliberasi, dan partisipasi, sebagai alat untuk menilai kecenderungan demokratis tidaknya beberapa pengadilan negara di Eropa.
Fokus telaahnya adalah apakah pengadilan di beberapa negara Eropa sudah merepresentasikan apa yang dipersepsikan oleh masyarakat ketika merumuskan keadilan, melakukan proses deliberatif saat pembuatan putusan, serta memberikan fasilitas berpartisipasi secara luas kepada lay person (orang kebanyakan) dalam proses peradilan.
Dalam beberapa hal, pendekatan Malsch bisa digunakan untuk menakar kapasitas dan komitmen pengadilan tipikor di Indonesia dalam menyerap aspirasi publik, terutama terhadap harapan terciptanya momentum optimalisasi pemidanaan bagi koruptor.
Jika kapasitas dan komitmen pengadilan dengan harapan publik berjalan paralel, berarti pengadilan tipikor telah bekerja dalam spirit demokrasi. Namun, jika kontradiktif, stigma antidemokrasi kemungkinan akan dinisbatkan kepada pengadilan tipikor.
Situasi Indonesia
Bagaimana situasi pengadilan tipikor saat ini?
Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sinyal ”darurat” mengenai pengadilan tipikor. Dalam hasil penelitiannya pada Juli 2013, ICW mengidentifikasi, sejak tahun pendiriannya, 2009, pengadilan tipikor ternyata tidak maksimal dalam hal penjatuhan vonis kepada koruptor.
ICW memantau 344 kasus dengan 756 terdakwa. Hasilnya, 143 orang divonis bebas, 185 orang divonis di bawah 1 tahun, 167 orang dihukum 1 tahun 1 bulan hingga 2 tahun, dan 217 orang dihukum 2 tahun 1 bulan hingga 5 tahun. Hanya 35 terdakwa yang dihukum di atas 5 tahun dengan maksimal 10 tahun penjara dan hanya 5 orang yang divonis di atas 10 tahun.
Meneguhkan temuan ICW, putusan pengadilan tipikor pada kasus Djoko Susilo ternyata setali tiga uang. Terdakwa yang terbukti korupsi menerima uang Rp 32 miliar dan melakukan tindak pidana pencucian uang divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Padahal, jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Putusan itu tentu saja meninggalkan tanda tanya besar bagi publik, melukai rasa keadilan masyarakat, dan sekaligus membangkitkan sikap skeptis terhadap komitmen pengadilan tipikor dalam memaksimalkan hukuman bagi koruptor.
Putusan paradoks
Kasus Djoko Susilo menjadi paradoks ketika disandingkan dengan putusan pengadilan tipikor pada kasus jaksa Urip Tri Gunawan. Pada kasus suap senilai Rp 6,1 miliar, putusannya 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan.
Ada juga yang mengontraskan putusan Djoko Susilo dengan putusan Pengadilan Tipikor Yogyakarta yang menjatuhkan vonis 2 bulan penjara dan denda Rp 2 juta kepada terdakwa Saidi (pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gunung Kidul) pada kasus suap senilai Rp 120.000. Pengadilan tipikor hanya bertaji di kasus ecek-ecek, tetapi tidak berdaya di kasus kakap.
Perhatikan pula putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang menganulir hukuman 15 tahun penjara atas Sudjiono Timan, yang awalnya dinyatakan terbukti melakukan korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun dan dalam posisi daftar pencarian orang.
Pada kasus tersebut, pengadilan PK tidak hanya ganjil karena menyidangkan terpidana yang melarikan diri, tetapi juga memperlihatkan aksi menjilat ludah sendiri ketika mengacuhkan Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2012 yang melarang pengadilan secara in absentia.
Temuan ICW menunjukkan, pengadilan tipikor telah mencederai aspirasi publik yang amat berharap koruptor dihukum seberat-beratnya. Dalam perspektif demokrasi, pencederaan semacam itu tidak boleh dilokalisasi hanya sebatas isu penegakan hukum, tetapi juga perlu dibaca sebagai ancaman serius terhadap demokrasi.
Tidak berlebihan kiranya jika orang mulai khawatir bahwa pengadilan tipikor sudah menjelma menjadi mahkamah antidemokrasi! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar