Jumat, 18 Oktober 2013

Pesan dari Oslo

Pesan dari Oslo
Bre Redana  ;  Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 18 Oktober 2013


DALAM perkembangan kota dan urbanisme di mana semua orang menuju, apakah yang kita butuhkan? Inilah gagasan kota masa depan: mampu menampung ledakan penduduk sekaligus menjadi lingkungan berkualitas.
Kita butuh dekat dengan keluarga, teman, tempat sekolah, tempat kerja, dan lain-lain. Sisi inilah yang paling disoroti dalam Oslo Architecture Triennale. Berlangsung di Oslo, Norwegia, pekan terakhir September 2013, acara tiga tahunan dunia arsitektur ini menampilkan kegiatan pameran, workshop, ceramah, dan konferensi. Acara ini juga berkoinsidensi dengan acara-acara penting di kota yang menyenangkan ini di musim gugur, antara lain, pameran besar memperingati 150 tahun pelukis Edvard Munch, yang lukisannya berjudul ”The Scream” menjadi ikon seni rupa modern—semacam Monalisa di zamannya.
Meski ini pameran arsitektur, jangan harap bakal menemukan contoh bangunan ”modern minimalis” (?) seperti dijajakan para pengembang di televisi dan media kita. Kalau istilah-istilah dari Marx dan kelompok-kelompok kiri baru atau new left, banyak. Fokus seluruh kegiatan adalah keberlangsungan (sustainability) kehidupan bersama. Di situlah hendak dicari keseimbangan, semacam persimpangan di mana tiga hal bertemu, yakni ekologi, ekonomi, dan kesamaan (equity).
Contoh praktis, misalnya, bagaimana lingkungan hunian yang mencakup itu semua terselenggara. Melalui foto-foto dan teks dipamerkan sebuah hunian kolektif di pinggiran kota Kopenhagen, Denmark. Terdiri dari 54 rumah, semuanya tersambung jadi rumah panjang berbentuk melingkar. Di tengah adalah halaman luas mirip lapangan, berfungsi sebagai tempat bermain, kebun, dan lain-lain. Ada dapur umum, dilengkapi ruang makan besar. Kebersamaan sebagai komunitas inilah yang mereka kembangkan.
”Alam itu sebenarnya hukumnya bebrayatan,” kata Marco Kusumawijaya, arsitek Indonesia dan Direktur Rujak Center for Urban Studies yang hadir di acara ini. ”Beberapa suku kita di Indonesia, kan, juga punya rumah panjang,” lanjutnya.
Pemikiran-pemikiran alternatif inilah yang dikembangkan dalam triennale itu. Dalam kehidupan kontemporer, seperti mereka contohkan, gerakan-gerakan di akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an banyak memberikan alternatif di bidang kebudayaan. Periode itu menjadi semacam momen historis yang diam-diam memengaruhi pemikiran tentang ”keberlangsungan” dalam praktik arsitektur dan desain kontemporer serta masyarakat secara luas.
Apa itu gerakan-gerakan alternatif di bidang kebudayaan di tahun 1960-an/1970-an? Antara lain tentu kehidupan komunal hippies pada waktu itu. Artefak- artefak generasi masa itu masih bisa dijumpai saat ini, selain di dunia desain dan arsitektur juga musik, fashion, dan lain-lain, sampai ke pemikiran yang dikenal dengan counter culture.
Soal etik
Acara ini menjadi ajang kritik bagi praktik dunia arsitektur sekarang, yang menurut para partisipan dianggap telah terlalu didikte oleh modal. Pembicara yang amat tajam menyoroti ini adalah Alfredo Brillembourg, pendiri Urban-Think Tank di Caracas, Venezuela. Dia menjadi salah satu pembicara kunci dalam seminar bertema ”The Future of Comfort”. Retorika-retorikanya memikat.
Sebagaimana pembicara lain, ia mempertanyakan kemewahan-kemewahan pada zaman ini. Menurut dia, arsitek sekarang harus beranjak dari sekadar membikin gedung dan rancangan-rancangan yang diharapkan menjadi ikon dunia arsitektur. Arsitektur bukan hanya masalah estetik, melainkan juga etik. Bicara tentang kota adalah bicara tentang manusia. Kalau kita mengabaikan manusia sebagai obyek sekaligus subyek dalam arsitektur, yang tertinggal hanyalah bata dan semen.
Melalui foto-foto yang diproyeksikan ke layar lebar, ia perlihatkan hunian kumuh di sejumlah kota besar di dunia. Sebutannya slum. Dia mengajak kita melihat slum dengan cara berbeda.
”Apa yang kalian sebut slum, kami menyebutnya rumah kami,” kata Alfredo, mengutip seorang ketua komunitasslum. Hunian informal ini dalam beberapa hal mencoba mengolah kemungkinan-kemungkinan yang bisa dimanfaatkan dari situ, termasuk sampah. ”Sudah tentu banyak problem di situ. Hanya saja, saya ingin mengajak untuk melihat slum bukan sebagai problem, melainkan sebagai solusi,” ucap Alfredo.
Dia tunjukkan konsumsi berlebihan sebagian kecil masyarakat dunia, yang dalam tema konferensi ini berhubungan dengan ”kenyamanan” (comfort). Kenyamanan, termasuk penciptaan zona nyaman, menurut dia adalah soal berbagi atau sharing.
Lagi-lagi, ini sebenarnya bagian dari hukum alam. Ruang dan waktu. Ruang milik bersama, waktu tergantung putaran yang hendak Anda ikuti. Terseret arus percepatan teknologi dan nafsu produktivitas industri, lama-lama Anda tersengal-sengal, kena serangan jantung. Mengikuti ruang dan waktu alam, Anda menemukan harmoni. Termasuk hidup bebrayatan tadi. Itulah sebagian pesan dari Oslo.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar