|
POLITIK pencitraan berbasis survei
makin populer karena dua hal. Pertama, kemampuan rekayasa dan analisis olah
realitas melalui ”angka”, seperti produk survei dan polling atas suatu
kandidat. Kedua, pemanfaatan media massa yang masif dengan membangun citra,
mampu merebut ruang ”diskursus”.
Politik
pencitraan berbasis survei biasanya juga mengandalkan bumbu analisis bombastis,
melampaui realitas sesungguhnya. Cara semacam itu masih terus digandrungi
banyak politisi dan tim sukses dalam meraup dukungan dalam elektoral.
Namun, politik
pencitraan berbasis survei atau polling yang ngetren itu
juga memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, pola itu tidak mampu mengubah
harapan demokrasi yang berkualitas. Itu karena kekuasaan yang terbangun hasil
”olah angka” biasanya tak sehebat yang dicitrakan: kenyataan tak seindah tafsir
angka. Kedua, pemilih yang kian jenuh dalam menyaksikan kepalsuan politik.
Mereka kadang memiliki nalar yang berbeda dengan politisi, terutama ketika
menemukan alternatif baru dalam figur perubahan.
Atas dasar
itulah, kemungkinan pada Pemilu 2014 akan banyak muncul tanda-tanda ”kehausan”
politik berkualitas berbasis pemilih berdaya. Dalam cara pandang kritis,
tantangan untuk menjawab pembenahan elektoral dan demokrasi makin relevan
dijawab, yakni perlunya menyajikan pendekatan baru atau metodologi yang lebih
emansipatif dalam membangun politik pencitraan. Dengan begitu, jika akan terus
dipakai, politik pencitraan sebagai gejala umum modernisasi kampanye harus
mampu menjawab tuntutan orientasi pemilu yang berkualitas dan demokrasi yang
bermakna. Ini boleh disebut ”pencitraan plus”.
Ada beberapa
asumsi dasar yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada kecenderungan
ketidakpercayaan masyarakat kepada politisi dan parpol makin terasa dan tidak
bisa dibantah. Fenomena tersebut ditandai dengan pragmatisme pemilih, bahkan
apatisme.
Hal itu jadi
masalah serius, melihat tren pemilu dan pilkada di mana partisipasi pemilih
makin menyusut. Kedua, keengganan parpol mereformasi diri jadi problem krusial
yang berdampak perluasan penyakit oligarki, korupsi, dan perpecahan dalam
organisasi politik itu.
Pendekatan baru
Jika
dikalkulasi berdasarkan kesempatan untuk membenahi keadaan, lebih penting
memprioritaskan membenahi pemilih dibandingkan dengan berharap parpol berubah.
Tujuannya adalah menjadikan pemilih sebagai subyek yang cerdas, memiliki
kemampuan kritis saat memanfaatkan hak partisipasi pemilu. Bahkan meyakinkan
kembali bahwa seburuk apa pun kondisi demokrasi kita, pemilu tetap harus
dimanfaatkan dengan cara baru, berbeda dibandingkan dengan sebelumnya, agar
suara pemilih tidak sia-sia.
Konsekuensi
atas itu semua, metodologi membangun pencitraan harus bertumpu pada penggalian
nalar, perspektif dan persepsi, serta kualitas argumen pemilih dalam
memanfaatkan hak mereka atas suara dalam pemilu. Di sinilah pentingnya
mengeksplorasi dan menelaah pengetahuan dan cara pandang pemilih atas situasi
politik, figur, atau parpol dan segala seluk-beluk elemen demokrasi. Termasuk
melakukan riset mendalam untuk membangun pencitraan berbasis konstruksi sosial
pemilih, dengan segala harapan yang melekat di dalamnya, dengan kedalaman bukti
dan argumen.
Untuk pemilu
presiden misalnya, tidak lagi kita melulu mendiagnosis dengan potret cepat atas
lapis permukaan pemilih, atau cara kilat survei model polling yang di
dalamnya sekadar menguantifikasi harapan, juga pilihan dan orientasi yang bisa
dijawab dengan instan atas kandidat. Hasil semacam itu hanya menemukan derajat
popularitas dan elektabilitas.
Sebaliknya,
yang diperlukan lebih dari itu, yaitu penggalian kualitatif, melacak nalar
pemilih, menggali, dan menganalisis alasan-alasan kunci dengan temuan lebih
dalam dan lengkap. Itu yang disebut menembus jantung pikiran dan hati rakyat
sebagai pemilih. Rakyat perlu diketahui dan dipahami sebagai subyek pemilu.
Cara ini tentu
lebih berbobot karena cenderung tidak serampangan atau generik. Tantangan
metodologi penggalian nalar ini adalah kebutuhan data, waktu, dan kapasitas
analisis yang tidak asal-asalan. Namun, pendekatan inilah yang justru mampu
menghasilkan narasi bermakna yang dapat dimanfaatkan membenahi demokrasi ke
depan, bahkan mampu menemukan potret sesungguhnya pemilih dengan segala argumen
dukungan.
Pemilih sebagai subyek
Beberapa waktu
lalu Lembaga Intrans sempat merilis pendekatan argumen pemilih mirip gagasan
tersebut. Adalah pendekatan kualitatif dalam membangun citra politik dalam
pemilu. Jika menemukan narasi berisi nalar dan argumen pemilih, kemungkinan
menghasilkan perdebatan yang lebih substansial.
Terkait dengan
hal itu, poin kunci yang perlu diperdalam, di antaranya, pertama, bagaimana
memetakan pemilih di Indonesia yang beragam dan tentu memiliki derajat
kesadaran dan pengetahuan politik tidak sama. Kita perlu data yang cukup baik
dan memadai sebagai modal atau dasar awal untuk melacak mereka lebih jauh. Hal
ini membutuhkan metode, tools, atau instrumen yang memadai.
Kedua,
perumusan dan penyusunan konsep dan indikator persepsi pemilih atas kandidat
harus mencerminkan konstruksi berpikir dan realitas sosial pemilih, tidak
sekadar dibangun dengan cara-cara nalar asumsi dari sekadar sang peneliti, tim
sukses, atau kandidat.
Ketiga,
perspektif dan kerangka analisis yang mampu menjadikan pemilih sebagai subyek
sangat diperlukan. Ini akan menentukan, apakah hasil riset itu mencerminkan
potret dan narasi yang mendalam atas situasi nyata ataukah dangkal sama sekali.
Konteks itu
menjadi dasar perlunya membawa orientasi pada perspektif baru mendorong
diskursus substansial tentang elektoral dan bahkan kekuasaan ke depan.
Bagaimanapun, kegalauan situasi politik saat ini bisa berulang jika tidak
beranjak dan mengubah diri dari cara lama yang makin dangkal itu, yang
kebetulan digandrungi karena mudah dikerjakan.
Ke depan, jika
metodologi persepsi, cara pandang, dan orientasi pemilih atas kandidat ini bisa
dioperasikan dengan baik dan pandangan kritis, hal ini akan menjadi sumbangan
berharga atas kegalauan politik yang kian dangkal. Pemilih harus diposisikan
sebagai subyek, pendekatan emansipasi agar warga kian berdaya dalam pemilu.
Itulah dasar
utama terjadinya transformasi politik warga yang bermakna, salah satu penanda
demokrasi substansial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar