Sabtu, 24 Agustus 2013

Ketika Pesta Harus Berakhir

Ketika Pesta Harus Berakhir
Abdul Mongid ;    Dosen STIE Perbanas Surabaya,
Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
JAWA POS, 23 Agustus 2013



GEJALA terjadinya krisis keuangan mulai mengintip Indonesia. Dari Mei ke Agustus, rupiah jatuh dari Rp 9.870 ke Rp 11.400 per dolar dan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) anjlok sampai 10 persen dalam tiga hari. Seperti rezim Suharto dulu, semua pejabat di era kini, dari presiden sampai menteri, terkesan menafikan masalah di perekonomian. Optimisme berlebihan terus saja disampaikan. 

Kalau kita memahami bagaimana pasar valas beroperasi, depresiasi rupiah saat ini merupakan kejadian semestinya. Secara fundamental, ekonomi kita mengandung terlalu banyak kerawanan. Kita sedang menghadapi apa yang disebut sebagai "penyakit Belanda" (Dutch disease). Dulu Belanda mengalami masalah ini ketika ada penemuan gas di Laut Utara yang membuat apreasiasi mata uang gulden tidak wajar. Akibatnya, daya saing industri manufaktur yang sebelumnya menjadi fondasi ekonomi Belanda merosot.

Sebelum dan selama krisis keuangan global 2008, kita dipandang sebagai negara yang potensial menjadi kekuatan ekonomi baru. Rupiah menguat sampai Rp. 8.400 per dolar. Ini membuat imbal hasil investasi keuangan di Indonesia sangat tinggi. 

Sayangnya, pengaruh terhadap cadangan devisa dan ekspor oleh investasi yang masuk di Indonesia setelah naiknya peringkat kredit Indonesia menjadi kategori investasi (investment grade) juga tidak signifikan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis laporan bahwa asing telah menanamkan modal USD 16 miliar pada 2010 dan naik ke USD 19,5 miliar pada 2011. Pada 2012, investasi asing melonjak menjadi USD 24,6 miliar untuk 4.579 proyek. Ajaibnya, walaupun investasi asing naik, cadangan devisa per Desember 2012 juga tidak naik drastis karena jumlahnya hanya USD 112 miliar.

Kini ketika rupiah jatuh, barang, terutama yang diimpor, sebagai barang jadi maupun bahan baku, akan menjadi lebih mahal. Ini berarti publik harus siap dengan realitas baru bahwa pendapatan riil mereka akan turun. Gaji mungkin naik secara nomilal, tetapi nilai riilnya terhadap barang akan turun. 

Setelah inflasi yang tinggi pasca kenaikan harga BBM, kini disusul inflasi yang berasal dari impor (imported inflation). Gaya hidup kelas menengah akan terimbas. Saat ini mayoritas barang yang kita konsumsi sehari-hari betul-betul penuh komponen impor. Dari mi instan sampai mobil, komponen impornya sudah sangat besar. Perlu menerima kenyataan bahwa hidup akan makin sulit. 

Biaya trasportasi udara (tiket pesawat) juga bisa melonjak. Sebab, semua pesawat kita sebenarnya adalah pesawat utang dalam valuta asing. Untuk membayar angsuran dolar yang sama diperlukan rupiah yang lebih besar dan ini hanya bisa dilakukan dengan menaikkan harga tiket.

Bagi korporasi, sebenarnya situasi akan makin sulit karena kenaikan harga yang berasal dari impor akan membuat harga barang harus naik di tengah daya beli yang makin merosot. Keadan makin parah bagi perusahaan yang memiliki utang dalam valuta asing dengan orientasi pasar dalam negeri. 

Kabar baiknya, kemerosotan harga saham sebenarnya juga mengandung kesempatan bagi para investor domestik. Di tengah pelarian dana oleh investor asing, investor domestik memperoleh momentum untuk meningkatkan penguasaannya dengan lebih banyak membeli pada harga diskon yang berkisar 25 persen daripada tahun lalu. Artinya, dengan sedikit agak "deg-degan", investor yang kuat punya potensi memperoleh untung besar.

Yang penting, hindari kepanikan (panic behavior) yang memperburuk keadaan. Namun begitu, masyarakat perlu juga menyadari bahwa masa "pesta" dana murah, kredit gampang, dan harga saham selalu naik sudah berakhir.

Selain itu, bagi masyarakat awam, sebaiknya lebih cermat dalam konsumsi. Ketika pendapatan riil turun, respons atas kondisi ini adalah perlunya realokasi pendapatan. Restrukturisasi konsumsi merupakan keharusan bagi konsumen, terutama yang berpendapatan tetap, untuk bertahan di masa krisis. Intinya adalah mengubah kuantitas dan kualitas konsumsi demi melakukan tabungan.

Memang mengurangi konsumsi demi menabung secara personal sangat penting. Tetapi, secara makro, itu akan berdampak buruk kalau dilakukan secara bersamaan seluruh rakyat. Meski demikian, membatasi konsumsi barang impor akan menolong ekonomi Indonesia untuk menjadi kuat. Ekonomi kita sudah tergadai oleh barang impor. Selama ini pemerintah terlalu mengandalkan impor dan impor karena ini lebih mudah alias tanpa kerja. Ini diperkeruh dengan kasus suap impor. 

Sungguh tidak masuk akal cara pemerintah sepuluh tahun terakhir ini mengelola ekonomi. Komoditas yang seharusnya melimpah ternyata harus diimpor. Contohnya adalah cabe, bawang merah, dan beras. Makanya, jika semua pihak gagal mengelola tekanan pasar valuta asing dan pasar saham saat ini, dampaknya akan sangat buruk bagi perekonomian dan masyarakat secara umum. Sangat rasional jika publik menyiapkan diri menghadapi krisis ekonomi. 

Mungkin bisa dimaklumi pemerintah menampilkan sikap tenang. Tetapi, jangan tenang-tenang saja.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar