Sabtu, 24 Agustus 2013

Legalitas yang Memenjarakan

Legalitas yang Memenjarakan
M Ali Zaidan ;    Doktor Ilmu Hukum, Dosen S-1 dan S-2 UPN dan S-2 UMP;
Mantan Anggota Komisi Kejaksaan RI (2006-2010)
KOMPAS, 23 Agustus 2013


”MASYARAKAT tanpa penjara adalah suatu kondisi ideal yang sangat menguntungkan secara spiritual dan material.”  Demikian pernah diungkapkan Prof Hazairin, Menteri Dalam Negeri 1953-1955.

Gambaran ideal yang terkesan utopis tersebut mengandaikan keadilan sosial dan kesejahteraan telah terwujud, tetapi relevan kembali diketengahkan saat ini di tengah hiruk-pikuk pengetatan remisi dan berbagai kerusuhan mulai dari Tanjung Gusta, Medan; Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batam; dan terakhir di LP Labuhan Ruku, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
Fenomena itu bertali-temali dengan berbagai faktor yang selama ini boleh jadi terabaikan.
Pertama ada kesan bahwa salah satu cara memerangi kejahatan adalah dengan penjara, artinya seseorang yang bersalah harus dihukum penjara. Pandangan itu mendominasi hampir seluruh ahli hukum kita terutama yang berpandangan positivistik.
Pidana penjara adalah ketentuan hukum formal yang secara legalistik diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian, tugas kita sekarang adalah melaksanakan undang-undang, dan tidak melaksanakannya berarti melanggar undang-undang. Pandangan ini merupakan warisan kolonial tanpa ada upaya mengkritisinya.
Dunia internasional melalui PBB sebenarnya telah memberikan perhatian serius soal pidana penjara ini. Banyak pula negara yang telah memperbarui sistem penitensier-nya masing-masing, tidak terkecuali Indonesia. Reglement  Kepenjaraan yang menyertai KUHP, setelah melalui perdebatan panjang, berbuah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.
Apakah konsep tentang penjara berubah total? Secara letterlijk, sistem penjara telah diganti dengan sistem pemasyarakatan. Namun, perlakuan terhadap narapidana (treatment of prisoners) hampir tidak berubah.
Pemegang kebijaksanaan belum melihat LP sebagai tempat mencetak manusia yang berguna. Bahkan, LP menjadi sarang berkembangnya berbagai kejahatan termasuk produksi dan perdagangan narkoba. Ironisnya baik oknum sipir maupun pejabat ikut terlibat.
Individualisasi pidana
Kriminolog seperti Bernes dan Teeters memandang bahwa penjara sesungguhnya merupakan tempat pencemaran (a place of contamination) karena bercampurnya penjahat kebiasaan (habitual criminal) dengan pendatang baru di dunia kejahatan (novices in crime) sehingga orang-orang baik pun ketika masuk penjara akan tertular menjadi penjahat pula. Maka gerakan untuk memanusiawikan rumah-rumah penjara terus diupayakan.
Clemmer menyatakan bahwa di dalam lingkungan penjara telah berkembang subkultur narapidana (inmate subculture), yang dalam skala makro berkembang menjadi budaya penjara (prisonisasi) dan stigmatisasi.
Melalui prisonisasi, individu-individu lewat pergaulan yang intens akan mempelajari modus-modus kejahatan dan nilai-nilai yang dipertahankan oleh kelompok itu. Ini yang berpotensi menjadikan orang baik menjadi jahat dan yang jahat menjadi lebih jahat lagi.
Aliran Neo-Klasik yang memandang pidana bukan merupakan pembalasan melainkan bersifat reformatif, rehabilitatif, dan perlindungan masyarakat telah menyimpulkan bahwa ”different criminal have different need” sehingga prinsip individualisasi pidana merupakan suatu keniscayaan.
KUHP pun kini masih didominasi oleh kepercayaan tentang pidana ”yang menjerakan”. Maka yang terjadi adalah ”let punishment fit the crime”, pidana yang hanya berorientasi kepada perbuatan.
Hukum pidana kemudian mendapat julukan bloedwark: Utang darah dibayar darah, utang mata dibayar mata, dan seterusnya, yang mencerminkan kebiadaban hukum pidana kala itu (daad strafrecht).
Aliran modern (dader strafrecht) ataupun neo-klasik (daad-daderstrafrecht) telah meninggalkan asumsi aliran klasik dan menggantinya dengan konsep individualisasi pidana.
Hukuman tidak hanya berorientasi kepada perbuatan, tetapi juga kepada pelaku dan bahkan kedua-duanya, yang kemudian dipadatkan dengan kalimat pemasyarakatan.
Tugas negara adalah membimbing pelaku kejahatan agar menyadari kesalahan dan kembali mengindahkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Fungsi LP adalah memulihkan kepercayaan pelanggar hukum akan nilai-nilai sosial yang pernah ia langgar.
Perubahan radikal
Untuk merealisasikan tujuan ideal pembinaan narapidana dibutuhkan suatu kultur hukum yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan/humanisme. Artinya tugas tersebut tidak cukup hanya dikembalikan pada teks peraturan saja.
Kontroversi seputar PP 99 tentang pengetatan pemberian remisi terhadap terpidana korupsi, terorisme, dan narkoba harus dikembalikan kepada sikap kita tentang penilaian seberapa jauh kejahatan tersebut dipandang sebagai kejahatan serius.
Bukan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang secara politik dan finansial mempunyai kekuasaan. Wajar kalau terhadap mereka harus diperlakukan selektif.
Perubahan radikal tersebut salah satunya untuk memaknai konsep individualisasi pidana dan treatment of offenders sesuai dengan paham neo-klasik. Perubahan radikal itu bukan dengan memperbanyak penjara, tetapi bagaimana social hygiene terbangun secara merata dan berkeadilan.
Negara kesejahteraan bukan sekadar wacana, tetapi harus direalisasikan. Fungsi pengayoman hukum harus dikedepankan, bukan pemidanaan belaka. Dan, semua itu adalah tugas pemerintah dan seluruh bangsa ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar