|
SUARA
KARYA, 05 Juli 2013
Politik kita akhir-akhir ini cukup
ramai dengan simbol-simbol agama. Politisi kita bisa merekaya penampilan di
media massa agar tampak saleh. Citra kesalehan itu bermanfaat bagi politisi
setidaknya untuk meraih simpati.
Masih ingat dengan pengadilan
Angelina Sondakh? Ia kerap membawa tasbih di tangannya. Atau, Oktarina dan
Yulianis yang memakai cadar. Atau, Luthfi Hassan Ishaq yang tampak di kamera
menyempatkan berdzikir sebelum masuk ke mobil jemputan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Ingat juga tentang Maharani Sukoco
yang, setelah penangkapannya bersama Ahmad Fathoni di kamar hotel mewah di
Jakarta, tubuhnya tertutup rapat dan berkerudung. Ingat pula Dipta Anindita,
istri muda Irjen Djoko Susilo yang tersangkut kasus simulator SIM, datang ke
KPK dengan busana muslimah.
Presiden SBY pun belum lama
mengirim pesan singkat (SMS) kepada kader-kader Partai Demokrat di depan tempat
paling sakral bagi umat Islam, Ka'bah. Yang paling mutakhir, Anas Urbaningrum
menggelar pengajian (semaan Al-Quran) di rumahnya lebih sering semenjak jadi
tersangka. Ketika diwawancara dan disiarkan di televisi, Anas Urbaningrum
selalu duduk di tempat yang di belakangnya ada foto kakek dari istrinya, yakni
(alm) Kiai Ali Maksum, rais aam NU tahun 1980-an.
Simbol-simbol yang melekat pada
fenomena para terduga bahkan sudah diputuskan dalam kasus korupsi di atas
adalah bagian dari budaya yang bisa direproduksi maknanya.
Simbol itu telah mendapat makna
religius ketika, antara lain, mendapat legitimasi dari teks agama (jilbab,
kerudung, dan cadar). Atau, menyisakan jejak-jejak sakralitas pengemban agama
(tasbih dan Ka'bah), atau mendapat sentuhan spiritual dari figur terhormat
(kiai).
Simbol-simbol itu memproduksi
makna baru saat dibawa dalam konteks budaya yang lain 'stratanya'. Kajian budaya
populer mengistilahkannya dengan 'budaya tinggi' (nilai-nilai luhur yang kental
dengan spiritualitas dan intelektualitas) dan "budaya rendah"
(nilai-nilai yang tercermin dari emosi, persepsi massa, dan nalar populis).
Budaya massa kental dengan
imajinasi yang dipersepsikan dan diproduksi oleh pencitraan massa. Massa dan
media mengalami hubungan timbal balik, saling mencitrakan.
Imajinasi itu sendiri, menurut
Gilbert Ryle dalam The Concept of Mind
(1990:232) , merupakan struktur mental yang menyangkut bagaimana seseorang
memformat potret dunia (world picture):
konsepsi, representasi, rasa, logika, dan keyakinan tertentu.
Di sana terjadi simulasi. Yakni,
pembentuk utama kehidupan kontemporer, termasuk kehidupan keberagamaan.
Simulasi memerlukan tanda (signs).
Melalui tanda, realitas dipalsukan, direkayasa, dan dimanipulasi. Tanda
tersebut digunakan untuk mereduksi persepsi publik akan realitas.
Dalam konteks ini, dunia dan citra
mengalami proses pembingkaian. Citra itu membingkai dunia. Di sana ada proses
reduksionisme dalam produksi citra. Ketika dunia kehidupan dibingkai dalam
format citra, maka pandangan dunia dipengaruhi atau dicetak dalam bingkai citra
tersebut dengan segala sifat reduksionisme dan artifisalnya.
Simbol-simbol agama yang
dilekatkan oleh politisi itu kepada dirinya sendiri turut mengalami
pembingkaian citra. Simbol-simbol itu dibingkai dengan citra kesalehan.
Makna "saleh" inilah
yang ingin dituangkan sang tersangka ke hadapan khalayak untuk mereduksi
hujatan publik menjadi subyektifitas emosional.
Desakralisasi Simbol
Politik kesalehan semacam itu bisa
membawa imbas negatif. Pengaruhnya tercermin dalam bagaimana simbol agama itu
kemudian tercitrakan. Simbol agama akan mengalami pembingkaian logika massa dan
memproduksi makna budaya yang baru. Pembingkaian makna baru itu akan berlanjut
pada persepsi publik, sebagaimana terurai dalam bagian di bawah.
Pertama, fetisisme agama.
Fetisisme adalah fenomena budaya populer. Ia menggunakan berbagai pesona dan
daya pikat (charm) untuk memengaruhi
bahkan mengendalikan orang-orang atau massa. Dalam pengertian antropologis,
fetis mengacu pada kekuatan magis atau pesona di dalam obyek yang dipercayai
dan menjadi keyakinan karena dianggap memiliki kekuatan.
Kedua, dekonstruksi nilai kesucian
dari simbol itu. Simbol yang menjadi tameng kesucian untuk mengiba rasa simpati
justru membuat publik muak. Simbol yang suci itu bisa mengalami desakralisasi.
Dekonstruksi nilai kesucian itu tak ubahnya sama dengan ketika simbol-simbol
religi memasuki ruang komodifikasi agama, terutama saat bertepatan dengan
momen-momen tertentu (Ramadhan, Idul Fitri, Natal, dan lain-lain).
Ketiga, banalitas agama.
Politisasi simbol agama telah menciptakan suatu konsekuensi kultural. Yakni,
terbaurnya 'budaya luhur' dengan 'budaya rendah'.
Agama menjadi sesuatu yang murah.
Banalitas telah menciptakan sikap ketidakacuhan kepada kategorisasi nilai.
Banalitas menciptakan semacam imanensi keagamaan, kecenderungan memprofankan
hal-hal yang sebelumnya terkait erat dengan transendensi.
Simbol-simbol yang dipakai para
politisi itu melukai sakralitasnya. Pengibaan lebih baik diadukan kepada-Nya
secara privat, bukan dipertontonkan di hadapan publik. Mestinya para politisi
tidak memakainya sebagai 'tameng'. Bukannya iba yang diperoleh. Boleh jadi, justru
kesan jijik yang didapat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar