Minggu, 07 Juli 2013

Menentukan Awal Ramadhan

Menentukan Awal Ramadhan
Amirul Ulum ;   Esais dan Sekretaris Lajnah Hisab Falak
PP Al-Anwar Rembang, Jateng
SUARA KARYA, 05 Juli 2013


Dalam menentukan awal Ramadhan, satu Syawal dan awal Dzulhijah, syariat Islam mempunyai aturan tersendiri. Metode yang digunakan adalah, melihat hilal dengan mata kepala (rukyatul hilal bilfi'li ).
Cara inilah yang sudah diwariskan dari Rasulullah SAW yang kemudian dilestarikan oleh para sahabat, ulama salaf, khalaf dan menjadi pendapat mayoritas ulama, termasuk Madzahibul Arba'ah.

Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat dan tabi'in tidak pernah terjadi perbedaan di dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah.

Semua didasarkan atas rukyatul hilal bil fi'li atau istikmal (menggenapkan bulan Syaban dan Ramadhan menjadi 30 hari) jika rukyatul hilal tidak berhasil disebabkan karena adanya cuaca mendung atau faktor lainnya.

Rasulullah SAW bersabda, "Berpuasalah kalian karena telah melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) kalian sebab telah melihatnya pula. Jika (hilal) terhalang (awan) hingga kalian tidak dapat melihatnya, maka genapkanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari" (HR Bukhari).

Dewasa ini sering sekali terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan puasa. Hal ini salah satunya disebabkan karena adanya faktor tempat. Satu daerah melihat hilal dan daerah lain tidak melihat hilal. Polemik semacam ini sering membuat awal bulan puasa berbeda-beda. Terkadang selisihnya satu hari, dua hari bahkan sampai tiga hari.

Sehingga, seolah-olah umat Islam di Indonesia ini tidak bersatu dalam menjalankan ibadahnya padahal ini masih dalam satu wilayah negara.

Untuk meredam kemelut awal bulan puasa, karena hal ini masih dalam koridor ijtihad, maka turun tangan dari waliyul amri atau imam (dalam hal ini adalah Kementerian Agama) sangat dominan untuk menentukan kemaslahatan bagi umatnya supaya mereka tidak berselisih antara satu dengan yang lain.

Ironisnya, meskipun Kementerian Agama sudah ikut campur dalam masalah menentukan awal bulan Ramadhan, masih saja ada fraksi yang tidak menyetujui karena mereka mengamalkan metode sendiri yang dinamakan hisab. Metode ini diusung oleh Mutharif bin Asy Syahr, Ibnu Suraij, Ibnu Qutaibah, Rasyid Ridha, Ahmad Muhammad Syakir, Mustofa Zarqo dan Dr Yusuf Qordowy.

Statement menggunakan metode ilmu hisab (ilmu falak) baginya bertujuan agar penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal terjadi serempak, tidak terjadi perbedaan meskipun berbeda dalam segi mathlaknya (tempatnya).

Ulama-ulama pengusung metode hisab ini berdalih salah satunya dengan hadis, "Sesungguhnya sebulan itu lamanya 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sehingga melihat hilal, dan janganlah kalian berlebaran sehingga melihat hilal. Maka, apabila hilal tertutup oleh awan sehingga kalian tidak dapat melihatnya, maka perkirakanlah untuknya (faqduruu lahu).” (HR Muslim dari Ibnu Umar ra)

Lafal faqduruu lahu dalam hadis Ibnu Umar di atas, menurutnya mempunyai arti maka kira-kirakanlah dengan ilmu hisab atau hisablah dengan hisabul manzilah (hitunglah dengan perjalanan bulan).
Tentunya jika kita mau menelaah lebih mendalam tentang arti hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara gamblang, maka kita akan mendahulukan rukyatul hilal dibandingkan dengan hisab meskipun Lafal faqduruu lahu dipaksa untuk digiring kepada ilmu hisab. Sebab, perintah rukyah datangnya lebih dahulu dibandingkan dengan faqduruu lahu (hisab) yang menjadi alternatif jika tidak bisa rukyah sebab adanya penghalang seperti awan atau mendung.

Jadi, lafal fain ghumma 'alaikum faqduruu lahu (maka apabila hilal tertutup oleh awan sehingga kalian tidak dapat melihatnya, maka perkirakanlah untuknya) masih bersifat general sehingga membutuhkan indikasi dari hadis lain supaya maknanya akan menjadi lebih terarah. Seperti indikasi dari hadis,

"Sebulan itu adalah sekian dan sekian. Kemudian Rasulullah SAW ibu jarinya pada perkataan yang ketiga, maka berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah (mengakhiri puasa) kamu karena melihat hilal. Jika hilal tertutup oleh awan, maka pastikanlah bilangan hari pada bulan itu lamanya menjadi 30 hari" (HR Muslim dari Ibnu Umar ra).

Dari pengusung metode hisab, ada juga yang berdalih kalau umat Islam yang hidup di zaman menggunakan rukyatul hilal itu disebabkan mereka adalah umat yang ummi (buta huruf), yang tidak bisa ilmu tulis dan menghitung. Sehingga, jika alasan ummi sudah bisa ditanggulangi, maka mereka menggiring menggunakan metode hisab. Hisab baginya lebih eksak dan empiris. Sedangkan syahadah atau khabar masih bersifat dhan (hipotesis).

Mereka bertendensi dengan hadis, "Kita adalah umat buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pandai berhitung. Sebulan itu adalah sekian dan sekian (maksudnya kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari)," (HR Bukhari).

Perlu diketahui, bahwa kata ummi jika disandarkan dengan Rasulullah SAW, itu merupakan sebuah mukjizat yang luar biasa. Apabila disandarkan pada umatnya di zaman itu, tidak semua sahabat Rasulullah SAW itu ummi.

Buktinya, ada sebagian dari sahabat yang bisa menulis, seperti katibnya (juru tulisnya) Rasulullah SAW yang terdiri dari beberapa sahabat telah diberi kepercayaan untuk menulis Al-Quran dan surat-surat yang akan diberikan kepada para raja.

Juga, banyak ajaran Islam yang disandarkan pada hitungan yang sudah diimplementasikan mulai dari zaman sahabat ketika menyertai Rasulullah SAW seperti jumlah hitungan nisab zakat, iddahnya seorang wanita, bilangan salat dan pembagian ghanimah (harta rampasan perang) yang sesuai dengan kadar bagiannya.


Akhirnya, dapat dikatakan metode rukyatul hilal merupakan suatu cara yang mutawatir (turun temurun) dari Rasulullah SAW hingga diamalkan oleh mayoritas ulama yang mendapatkan legalitas dari shahibus syariah (Rasulullah SAW). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar